Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Anak-anak Rohingya Terancam Putus Sekolah

UNICEF berupaya mengadaptasi kurikulum bagi anak-anak pengungsi.

19 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yasmin, pengungsi Rohingya yang dikeluarkan dari SMA Leda, membantu adiknya belajar di kamp Leda, Teknaf, Bangladesh, 5 Maret lalu. REUTERS/Mohammad P

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COX’S BAZAR - Kefayat Ullah, pelajar berusia 16 tahun, berjalan ke sekolahnya di Bangladesh selatan, seperti yang dia lakukan setiap hari selama enam tahun. Meskipun menjadi salah satu siswa terbaik di kelasnya, Ullah dikeluarkan dari sekolahnya pada Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kepala sekolah memanggil kami ke kantornya dan memberi tahu kami bahwa ada perintah siswa Rohingya tidak berhak belajar lagi di sini," ucap remaja dengan rambut cepak dan kumis tipis itu, seperti dilansir Reuters, kemarin. "Kami pulang sambil menangis."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ullah dikeluarkan bersama puluhan teman sekelasnya yang juga etnis Rohingya. Mereka menjadi bagian dari minoritas muslim yang kebanyakan tidak memiliki status kewarganegaraan dari Myanmar. Selama bertahun-tahun, sekolah-sekolah Bangladesh diam-diam mengakui beberapa orang Rohingya. Mereka hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp di pantai selatan Bangladesh, di perbatasan dengan Myanmar.

Kemudian jumlah mereka membengkak sejak kekerasan terjadi pada 2017. Hal ini juga yang membuat pemerintah Bangladesh menerapkan kontrol yang lebih ketat terhadap mereka. Insiden pengusiran yang dialami Ullah menyoroti perjuangan ratusan ribu anak Rohingya yang putus asa mendapatkan fasilitas belajar. Mereka berisiko kehilangan tahun-tahun penting untuk mendapatkan pendidikan formal.

Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah serangan militer pada akhir 2017, yang dianggap sebagai "niat genosida" oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Myanmar membantah tudingan tersebut dan menyatakan serangan ditujukan kepada milisi, bukan warga.

Myanmar mengatakan siap menyambut kembali para pengungsi, tapi di Negara Bagian Rakhine utara, tempat asal mereka, masih terbebani oleh ketegangan etnis dan kekerasan. Repatriasi juga urung dilakukan karena masalah kewarganegaraan. PBB juga menyatakan kondisi tersebut tidak tepat bagi mereka untuk kembali.

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan sejak gelombang pengungsi membengkak, negaranya tidak mampu lagi mengintegrasikan para pengungsi. Di beberapa negara, pemerintah mengizinkan pengungsi belajar di sekolah-sekolah lokal sehingga memungkinkan mereka mendapatkan kualifikasi pendidikan yang diakui atau mengizinkan lembaga-lembaga di kamp-kamp untuk mengajarkan kurikulum nasional. Namun Bangladesh belum mengakui sebagian besar warga Rohingya sebagai pengungsi. Pemerintah juga tidak mengeluarkan akta kelahiran bagi mereka yang lahir di kamp, sehingga status hukum mereka menjadi tidak jelas.

Karen Reidy, pegawai komunikasi di UNICEF, badan PBB yang menangani anak-anak, mengatakan bahwa berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengadaptasi kurikulum negara-negara lain ke dalam "kerangka belajar" bagi anak-anak pengungsi. "Ada risiko di kamp-kamp tersebut bahwa kita akan melihat generasi anak yang hilang jika tidak berhasil memberikan mereka pendidikan, keterampilan, dan pelatihan pada titik kritis dalam kehidupan mereka ini," ujar dia, yang juga memimpin program pendidikan di kamp-kamp pengungsi.

Di Nayapara, salah satu kamp pengungsi, para siswa yang diusir menceritakan kisah yang mereka alami dari tahun ke tahun selama proses belajar yang dianggap "terlarang" di sekolah-sekolah Bangladesh. Ullah menuturkan beberapa teman sekelasnya dianggapnya kejam. "Mereka menggunakan kata ‘Rohingya’, ‘Burma’ untuk menggoda kami. Tapi kami ‘senang’ saja. Kami membutuhkan pendidikan."

Di kamp-kamp itu, banyak anak belajar sendiri dari buku-buku pelajaran yang compang-camping yang dibawa dari Myanmar atau dibeli di pasar lokal. Sejumlah kios menjual buku-buku pelajaran dengan kurikulum Myanmar. "Kami melakukan ini sehingga kami dapat membantu mereka," kata Nurul Ansur, 20 tahun, pemilik toko yang khusus menyediakan buku teks.

Di kantor Kepala Leda High School, tumpukan buku teks bertulisan nama-nama dari 64 siswa yang dikeluarkan telah ditumpuk di sudut. "Kami menyesal dan kecewa atas keputusan itu. Pemerintah menyediakan segalanya untuk Rohingya, mengapa tidak pendidikan?" ujar kepala sekolah, Jamal Uddin. REUTERS | BDNEWS24.com | SUKMA LOPPIES


Myanmar Bentuk Pengadilan Militer

YANGON - Tentara Myanmar menyatakan telah membentuk pengadilan militer untuk menyelidiki tindakan personelnya dalam serangan pada 2017. Serangan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, mengakibatkan 730 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, mengatakan bahwa pengadilan tersebut terdiri atas seorang mayor jenderal dan dua kolonel. Mereka akan menyelidiki peristiwa di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, pada Agustus 2017. "Informasi yang dirilis menyatakan bahwa pengadilan investigasi dibentuk oleh orang-orang seperti yang disebutkan tadi untuk meneliti lebih lanjut dan mengkonfirmasi adanya insiden," demikian keterangan militer yang diunggah di situs jenderal senior itu, kemarin.

Pengadilan akan menanggapi tuduhan yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta kelompok hak asasi, Amnesty International dan Human Rights Watch. Mereka menuduh militer melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran. Adapun militer Myanmar menegaskan bahwa serangan mereka di Negara Bagian Rakhine untuk menanggapi serangkaian serangan oleh milisi Rohingya yang menyerang pos-pos keamanan di dekat perbatasan Bangladesh.

Tim pencari fakta pada tahun lalu mengatakan bahwa serangan militer dirancang dengan "niat genosida" dan merekomendasikan agar Jenderal Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya dituntut dengan tuduhan di bawah hukum internasional.

Myanmar membantah tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan pelanggaran lainnya oleh pasukannya, meskipun Jenderal Min Aung Hlaing pada bulan lalu mengatakan "sejumlah petugas keamanan mungkin terlibat".

Nicholas Bequelin, Direktur Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, mengatakan bahwa pengadilan baru ini adalah "manuver yang buruk" untuk menangkis tekanan internasional. "Militer dituduh melakukan kejahatan paling berat di bawah hukum internasional dan tidak menunjukkan tanda-tanda reformasi," kata dia. Menurut Bequelin, gagasan bahwa Tatmadawnama lain militer Myanmardapat menyelidiki dirinya sendiri serta memastikan keadilan dan akuntabilitas adalah berbahaya dan delusi. REUTERS | MYANMAR TIMES | SUKMA LOPPIES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus