Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FRONT Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (KPNLF) mengharapkan
bantuan senjata dari sejumlah negara Eropa Barat dan AS. Tapi
semua sudah menolak membantu front (nonkomunis) itu. Kendati
demikian, Presiden KPNLF Son Sann masih berada di Washington
dalam usaha meyakinkan pejabat Amerika akan pentingnya dukungan
militer melawan pendudukan (200 ribu tentara) Vietnam di
Kampuchea.
Sikap serupa juga dikemukakan lima Menlu ASEAN yang
menyelenggarakan pertemuan tidak resmi (10 Desember) di Pattaya,
Muangthai. ASEAN, menurut Menlu Filipina Carlos Romulo, bukanlah
suatu organisasi militer macam SEATO (Organisasi Pakta
Pertahanan Asia Tenggara) almarhum. "ASEAN tidak akan melakukan
kegiatan yang bercorak militer," katanya. Pendeknya, "kami tidak
akan mengikuti langkah SEATO yang sudah kami balsem dan kuburkan
dalam-dalam."
Menlu Singapura Supiah Dhanabalan membenarkan pernyataan
rekannya tersebut. ASEAN, katanya, berusaha memecahkan persoalan
Kampuchea dengan cara diplomatik. Tapi, menurut dia, setiap
anggota ASEAN tetap bebas memberikan bantuan militer kepada
organisasi perlawanan Khmer. Pokoknya "usaha mempersenjatai
organisasi perlawanan Khmer bukanlah proyek ASEAN," tambahnya.
Ada perubahan sikap? Kontroversi ini cukup mengejutkan. Adalah
Wakil PM Singapura Sinathamby Rajaratnam yang pertama kali
mengusulkan agar ASEAN turut memberikan bantuan militer kepada
KPNLF dan kelompok Moulinaka (pimpinan Pangeran Norodom
Sihanouk), yang nonkomunis. Dengan cara itu, dia berharap
kekuatan militer Khmer Merah (komunis), yang selama ini mendapat
suplai senjata RRC, bisa terimbangi. Jika secara militer Khmer
Merah sudah tersaingi, demikian dugaan Rajaratnam, maka akan
mudah bagi ASEAN memaksa kelompok ini membentuk pemerintahan
koalisi Khmer.
Gayung pun bersambut. Menlu Malaysia Tan Sri Gazali Shafie
segera mendukung gagasan tersebut. Bahkan dalam beberapa kali
kesempatan, Rajaratnam mengulangi usulannya itu-- hingga
mengesankan bahwa gagasannya merupakan suatu sikap baru ASEAN.
Dalam kaitan tersebut. Singapura juga menginginkan agar RRC
mengurangi bantuan militernya kepada Khmer Merah.
Jakarta yang selama ini ak menginginkan hubungannya dengan
Hanoi memburuk segera memperjelas posisinya. ASEAN, demikian
Menlu Mochtar Kusumaatmadja, tidak akan memberikan bantuan
militer apa pun kepada setiap kelompok perlawanan Khmer itu.
Indonesia, katanya pula, juga tidak akan memberikan suplai
keuangan maupun logistik. "Kami tidak cukup kaya (untuk
menyelenggarakan bantuan itu)," ujarnya. "Sejak lama sudah jelas
bahwa ASEAN menginginkan persoalan Kampuchea diselesaikan lewat
pemecahan politik."
Singkatnya, demikian Prof. Mochtar, Jakarta tak ingin
"berkonfrontasi" dengan Hanoi. Dia lalu menyebut sejumlah
kunjungan pejabat penting lndonesia (September dan Oktober) ke
sana. Lewat misi diplomatik itu, Jakarta mengharapkan Hanoi
tidak akan salah paham karenanya.
Apakah Indonesia akan mampu menjadi penengah mengatasi
pergolakan di Kampuchea? "Pada saatnya yang tepat, ya. (Tapi)
saya tidak berpikir, saat yang tepat sudah tiba," jawab Menlu
Mochtar.
Singapura toh tetap cenderung menyelesaikan soal Kampuchea
dengan cara militer. Di Melbourne, Wakil PM Rajaratnam, seperti
dikutip koran The Age, kembali meminta agar negara Barat
memberikan bantuan militer kepada gerakan perlawanan Khmer.
Singapura, katanya, akan meminta Australia, AS, Selandia Baru
dan sejumlah negara Barat segera mengirimkan senjata. Dengan
dukungan militer itulah, demikian Rajaratnam, Vietnam bisa
dipaksa keluar dari Kampuchea.
Rajaratnam jelas mengkhawatirkan, jika Vietnam sudah mundur,
Khmer Merah yang memiliki persenjataan kuat akan mengambil alih
kekuasaan. Karenanya, dia menginginkan KPNLF dan Moulinaka
secepatnya dipersenjatai dengan kuat. "Situasinya akan sangat
buruk jika untuk menyelamatkan Kampuchea, Khmer Merah juga
diajak (berkuasa) kembali," katanya.
Bisakah hal itu dilakukan? Tampaknya sulit. Dengan kekuatan
sekitar 30 ribu tentara yang terlatih baik, peranan Khrner Merah
tidak bisa dianggap ringan. Adalah karena Khrner Merah pula,
Pertemuan Tiga Kepala Pemerintahan (Tripartite Meeting) di
Singapura (2-4 September) sampai tidak mencapai keputusan bulat.
Di Singapura itu, Khieu Samphan (Pemimpin Khmer Merah), Son Sann
(Presiden KPNLF), dan Pangeran Norodom Sihanouk (Pemimpin
Moulinaka), hanya menyatakan "berhasrat" (desire) membentuk
pemerintahan koalisi Kampuchea--bukan memutuskan.
Menurut rencana, ketiga pemimpin organisasi perlawanan Khmer udi
akan menunjuk wakil masing-masing di komite ad hoc pembentukan
pemerintahan koalisi. Tapi sampai pertemuan Pattaya berakhir,
komite itu tetap belum bisa mengatasi perbedaan pendapat.
Khmer Merah yang berada di atas angin diduga tetap
mempertahankan syarat pendahuluannya yang dianggap berat
dilaksanakan. Sejak di Singapura itu, Samphan mengingmkan agar
pembentukan persatuan nasional bertolak dari program politik
minimum, yang harus disetujui semua pihak. Di dalam persatuan
tersebut, menurut dia, setiap kelompok (fraksi perlawanan Khmer)
tetap diberi kebebasan menyandang identitas politik dan
organisasi kelompoknya.
Program politik minimum tersebut, tentu saja, tidak akan
menguntungkan KPNLF yang hanya lima ribu tentara yang tak
terlatih dengan persenjaaan terbatas, Jika program tadi
dilaksanakan, Son Sann khawatir pengaruhnya akan luluh ditelan
Khmer Merah. Dalam usaha menghindari hal itu terjadi, dia
kemudian meminta agar tentara Khmer Merah ditempatkan di bawah
komando Jenderal Dien Dell, Panglima KPNLF. Jika kelak
pemerintahan koalisi terbentuk, dia ingin agar kelompoknya
merupakan mayoritas dalam kabinet (memegang posisi
kunci)--sementara dia sendiri jadi PM. Dia juga tak menghendaki
Pol Pot, Panglima Angkatan Bersenjata Khmer Merah, yang sudah
rusak citranya duduk dalam kabinet koalisi kelak.
Syarat pendahuluan KPNLF yang berat itu ditolak Khmer Merah.
Tapi demi mempertahankan kursi Khmer Merah di PBB, Samphan
ketika itu berusaha mengesankan bahwa kelompoknya setuju dengan
segala syarat pendahuluan yang berat tadi. Siasatnya berhasil.
PBB teup mengakui Khmer Merah (Demokratik Kampuchea),
satu-satunya wakil Kampuchea di forum itu.
Dan seperti diduga sejak semula, dalam pertemuan komite ad hoc
pembentukan pemerintahan koalisi, ketiganya (terutama KPNLF dan
Khmer Merah kembali mengajukan syarat pendahuluan masingmasing
yang berat. Dalam usaha mengatasi kemacetan di komite itu (yang
sudah bersidang sembilan kali), Wakil PM Rajaratnam melancarkan
ofensif diplomatik. Dia mengusulkan agar ketiga organisasi
perlawanan Khmer tadi membentuk suatu pemerinuhan koalisi yang
amat longgar (looose coalition) dengan memberikan kesempatan
pada setiap anggota bebas menjalankan ideologi politiknya.
Kendati usul koalisi longgar tersebut tidak berbeda jauh dengan
hasil Tripartite Meeting di Singapura, siaran radio Khmer Merah
menolaknya. Radio itu menuduh pemimpin KPNLF dan Moulinaka
senantiasa melancarkan tindakan politik tak terpuji, dan
berusaha menendang Khmer Merah dari Kampuchea.
TAPI mendadak awal Desember, dalam suasana yang semakin kusut,
terbetik berita bahwa Son Sann mengancam mundur dari usaha
pembentukan pemerintahan koalisi. Tindakan itu dilakukannya,
konon, gara-gara Bangkok mendesak KPNLF agar menandatangani
memorandum politik tiga pasal Khmer Merah. Memorandum itu,
antara lain, menyatakan bahwa setiap fraksi diberi kekuasaan
sama dalam mengendalikan pemerintahan koalisi kelak.
Jika Son Sann mundur, pemerintahan koalisi niscaya tidak akan
terbentuk. Maka Khmer Merah (akhir November) mengeluarkan
semacam edaran. Di situ KPNLF dituduhnya mulai merajuk dengan
tidak mengikuti sidang komite ad hoc. Dan di luar dugaan,
mendadak Khieu Samphan mengumumkan pembubaran Partai Komunis
Khmer Merah.
Dari Phnom Penh, Presiden Heng Samrin juga secara tiba-tiba (4
Desember) mencopot Pen Sovan dari kedudukannya sebagai Sekjen
Partai Komunis Kampuchea. Jabatan Sekjen Partai itu kemudian
dirangkap Samrin. Sovan 46 tahun, anak didik Hanoi, menurut
versi resmi, terpaksa diganti karena dia "harus menjalani
istirahat panjang." Samrin, demikian kalangan diplomatik, juga
menganggap Sovan sudah tidak nasionalis lagi. Peristiwa tersebut
seolah menunjukkan Phnom Penh mulai punya gigi (lihat Jatuhnya
Anak Buah Moskow).
Tapi pengaruh Hanoi belum pudar. Hanoi ikut mengecam gagasan
koalisi longgar usulan Singapura. Nhan Dan koran Partai Komunis
Vietnam, misalnya, menuduh gagasan itu suatu "komedi baru" yang
dipentaskan AS dan RRC. Sedang SPK, Kantor Berita milik rezim
Heng Samrin, mendakwa ASEAN berusaha membangun pemerintahan
(koalisi) yang terdiri dari "penjahat perang dan pengkhianat
yang tidak mendapat dukungan" rakyat Kampuchea.
Menlu Singapura Dhanabalan dengan gigih berusaha menangkis
kecaman tersebut. Bahkan menjelang pertemuan Pattaya, dia
semakin menggelorakan gagasan koalisi longgar hingga timbul
kesan hal itu merupakan usul ASEAN. Benarkah? "Kami perlu
menegaskan bahwa gagasan koalisi longgar tersebut merupakan
pendapat Singapura," kata Menlu Mochtar. "Dan sesungguhnya pula
Singapura melemparkan gagasan itu tanpa berkonsultasi lebih dulu
dengan anggota lainnya dalam ASEAN."
Dengan tenang Menlu Dhanabalan menanggapi kesalahpahaman
rekannya itu. Menurut dia, usulan koalisi longgar sesungguhnya
bukan gagasan baru. Secara tersirat hal itu dikemukakan dalam
Pertemuan Segi Tiga di Singapura. "Jadi tak ada sesuatu yang
baru dalam usulan tersebut," katanya.
Dalam hal ini Menlu Australia Tony Street bersuara pula. "Kami
sangat terkesan melihat dedikasi Singapura menangani persoalan
(Kampuchea) itu," katanya. Tapi dengan tegas dia menyatakan
Australia tidak akan menerima koalisi longgar yang dalam
prakteknya akan menonjolkan "Khmer Merah dengan wajah lain."
Selama tiga hari di Singapuraitu, Street berunding dengan Menlu
Dhanabalan.
Sementara itu, sebagai tidak lanjut pertemuan Pattaya, Menlu
Ghazali Shafie bertugas menyusun suatu kertas kerja (petisi
ASEAN) yang akan ditawarkan untuk memecahkan persoalan
Kampuchea. Dalam rancangan itu Uni Soviet, AS dan RRC juga akan
dilibatkan. Bahkan, menurut Menlu Dhnabalan, ketiganya akan
diminta membantu mempercepat pembentukan pemerintahan koalisi.
Suatu Zone Damai, Bebas dan Netral (ZOPFAN) antara Vietnam dan
Muangthai, demikian Ghazali, juga akan ditawarkan kepada Uni
Soviet dan RRC. Kini Vietnam dan Muangthai (lihat "Kami Sudah
Bosan dan Lelah") saling mencurigai. Dan Muangthai, dengan
konflik di tetangganya, terancam (lihat "Desa Setan" di
Perbatasan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo