Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Antara Hasrat Bersatu Dan Ingin ... Antara Hasrat Bersatu Dan Ingin...

Pertemuan menlu asean di pattaya, membicarakan gagasan penyelesaian kampuchea secara diplomatik. tiap anggota asean bebas membantu gerakan khmer yang non komunis. singapura menyelesaikan cara militer.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FRONT Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (KPNLF) mengharapkan bantuan senjata dari sejumlah negara Eropa Barat dan AS. Tapi semua sudah menolak membantu front (nonkomunis) itu. Kendati demikian, Presiden KPNLF Son Sann masih berada di Washington dalam usaha meyakinkan pejabat Amerika akan pentingnya dukungan militer melawan pendudukan (200 ribu tentara) Vietnam di Kampuchea. Sikap serupa juga dikemukakan lima Menlu ASEAN yang menyelenggarakan pertemuan tidak resmi (10 Desember) di Pattaya, Muangthai. ASEAN, menurut Menlu Filipina Carlos Romulo, bukanlah suatu organisasi militer macam SEATO (Organisasi Pakta Pertahanan Asia Tenggara) almarhum. "ASEAN tidak akan melakukan kegiatan yang bercorak militer," katanya. Pendeknya, "kami tidak akan mengikuti langkah SEATO yang sudah kami balsem dan kuburkan dalam-dalam." Menlu Singapura Supiah Dhanabalan membenarkan pernyataan rekannya tersebut. ASEAN, katanya, berusaha memecahkan persoalan Kampuchea dengan cara diplomatik. Tapi, menurut dia, setiap anggota ASEAN tetap bebas memberikan bantuan militer kepada organisasi perlawanan Khmer. Pokoknya "usaha mempersenjatai organisasi perlawanan Khmer bukanlah proyek ASEAN," tambahnya. Ada perubahan sikap? Kontroversi ini cukup mengejutkan. Adalah Wakil PM Singapura Sinathamby Rajaratnam yang pertama kali mengusulkan agar ASEAN turut memberikan bantuan militer kepada KPNLF dan kelompok Moulinaka (pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk), yang nonkomunis. Dengan cara itu, dia berharap kekuatan militer Khmer Merah (komunis), yang selama ini mendapat suplai senjata RRC, bisa terimbangi. Jika secara militer Khmer Merah sudah tersaingi, demikian dugaan Rajaratnam, maka akan mudah bagi ASEAN memaksa kelompok ini membentuk pemerintahan koalisi Khmer. Gayung pun bersambut. Menlu Malaysia Tan Sri Gazali Shafie segera mendukung gagasan tersebut. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan, Rajaratnam mengulangi usulannya itu-- hingga mengesankan bahwa gagasannya merupakan suatu sikap baru ASEAN. Dalam kaitan tersebut. Singapura juga menginginkan agar RRC mengurangi bantuan militernya kepada Khmer Merah. Jakarta yang selama ini ak menginginkan hubungannya dengan Hanoi memburuk segera memperjelas posisinya. ASEAN, demikian Menlu Mochtar Kusumaatmadja, tidak akan memberikan bantuan militer apa pun kepada setiap kelompok perlawanan Khmer itu. Indonesia, katanya pula, juga tidak akan memberikan suplai keuangan maupun logistik. "Kami tidak cukup kaya (untuk menyelenggarakan bantuan itu)," ujarnya. "Sejak lama sudah jelas bahwa ASEAN menginginkan persoalan Kampuchea diselesaikan lewat pemecahan politik." Singkatnya, demikian Prof. Mochtar, Jakarta tak ingin "berkonfrontasi" dengan Hanoi. Dia lalu menyebut sejumlah kunjungan pejabat penting lndonesia (September dan Oktober) ke sana. Lewat misi diplomatik itu, Jakarta mengharapkan Hanoi tidak akan salah paham karenanya. Apakah Indonesia akan mampu menjadi penengah mengatasi pergolakan di Kampuchea? "Pada saatnya yang tepat, ya. (Tapi) saya tidak berpikir, saat yang tepat sudah tiba," jawab Menlu Mochtar. Singapura toh tetap cenderung menyelesaikan soal Kampuchea dengan cara militer. Di Melbourne, Wakil PM Rajaratnam, seperti dikutip koran The Age, kembali meminta agar negara Barat memberikan bantuan militer kepada gerakan perlawanan Khmer. Singapura, katanya, akan meminta Australia, AS, Selandia Baru dan sejumlah negara Barat segera mengirimkan senjata. Dengan dukungan militer itulah, demikian Rajaratnam, Vietnam bisa dipaksa keluar dari Kampuchea. Rajaratnam jelas mengkhawatirkan, jika Vietnam sudah mundur, Khmer Merah yang memiliki persenjataan kuat akan mengambil alih kekuasaan. Karenanya, dia menginginkan KPNLF dan Moulinaka secepatnya dipersenjatai dengan kuat. "Situasinya akan sangat buruk jika untuk menyelamatkan Kampuchea, Khmer Merah juga diajak (berkuasa) kembali," katanya. Bisakah hal itu dilakukan? Tampaknya sulit. Dengan kekuatan sekitar 30 ribu tentara yang terlatih baik, peranan Khrner Merah tidak bisa dianggap ringan. Adalah karena Khrner Merah pula, Pertemuan Tiga Kepala Pemerintahan (Tripartite Meeting) di Singapura (2-4 September) sampai tidak mencapai keputusan bulat. Di Singapura itu, Khieu Samphan (Pemimpin Khmer Merah), Son Sann (Presiden KPNLF), dan Pangeran Norodom Sihanouk (Pemimpin Moulinaka), hanya menyatakan "berhasrat" (desire) membentuk pemerintahan koalisi Kampuchea--bukan memutuskan. Menurut rencana, ketiga pemimpin organisasi perlawanan Khmer udi akan menunjuk wakil masing-masing di komite ad hoc pembentukan pemerintahan koalisi. Tapi sampai pertemuan Pattaya berakhir, komite itu tetap belum bisa mengatasi perbedaan pendapat. Khmer Merah yang berada di atas angin diduga tetap mempertahankan syarat pendahuluannya yang dianggap berat dilaksanakan. Sejak di Singapura itu, Samphan mengingmkan agar pembentukan persatuan nasional bertolak dari program politik minimum, yang harus disetujui semua pihak. Di dalam persatuan tersebut, menurut dia, setiap kelompok (fraksi perlawanan Khmer) tetap diberi kebebasan menyandang identitas politik dan organisasi kelompoknya. Program politik minimum tersebut, tentu saja, tidak akan menguntungkan KPNLF yang hanya lima ribu tentara yang tak terlatih dengan persenjaaan terbatas, Jika program tadi dilaksanakan, Son Sann khawatir pengaruhnya akan luluh ditelan Khmer Merah. Dalam usaha menghindari hal itu terjadi, dia kemudian meminta agar tentara Khmer Merah ditempatkan di bawah komando Jenderal Dien Dell, Panglima KPNLF. Jika kelak pemerintahan koalisi terbentuk, dia ingin agar kelompoknya merupakan mayoritas dalam kabinet (memegang posisi kunci)--sementara dia sendiri jadi PM. Dia juga tak menghendaki Pol Pot, Panglima Angkatan Bersenjata Khmer Merah, yang sudah rusak citranya duduk dalam kabinet koalisi kelak. Syarat pendahuluan KPNLF yang berat itu ditolak Khmer Merah. Tapi demi mempertahankan kursi Khmer Merah di PBB, Samphan ketika itu berusaha mengesankan bahwa kelompoknya setuju dengan segala syarat pendahuluan yang berat tadi. Siasatnya berhasil. PBB teup mengakui Khmer Merah (Demokratik Kampuchea), satu-satunya wakil Kampuchea di forum itu. Dan seperti diduga sejak semula, dalam pertemuan komite ad hoc pembentukan pemerintahan koalisi, ketiganya (terutama KPNLF dan Khmer Merah kembali mengajukan syarat pendahuluan masingmasing yang berat. Dalam usaha mengatasi kemacetan di komite itu (yang sudah bersidang sembilan kali), Wakil PM Rajaratnam melancarkan ofensif diplomatik. Dia mengusulkan agar ketiga organisasi perlawanan Khmer tadi membentuk suatu pemerinuhan koalisi yang amat longgar (looose coalition) dengan memberikan kesempatan pada setiap anggota bebas menjalankan ideologi politiknya. Kendati usul koalisi longgar tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil Tripartite Meeting di Singapura, siaran radio Khmer Merah menolaknya. Radio itu menuduh pemimpin KPNLF dan Moulinaka senantiasa melancarkan tindakan politik tak terpuji, dan berusaha menendang Khmer Merah dari Kampuchea. TAPI mendadak awal Desember, dalam suasana yang semakin kusut, terbetik berita bahwa Son Sann mengancam mundur dari usaha pembentukan pemerintahan koalisi. Tindakan itu dilakukannya, konon, gara-gara Bangkok mendesak KPNLF agar menandatangani memorandum politik tiga pasal Khmer Merah. Memorandum itu, antara lain, menyatakan bahwa setiap fraksi diberi kekuasaan sama dalam mengendalikan pemerintahan koalisi kelak. Jika Son Sann mundur, pemerintahan koalisi niscaya tidak akan terbentuk. Maka Khmer Merah (akhir November) mengeluarkan semacam edaran. Di situ KPNLF dituduhnya mulai merajuk dengan tidak mengikuti sidang komite ad hoc. Dan di luar dugaan, mendadak Khieu Samphan mengumumkan pembubaran Partai Komunis Khmer Merah. Dari Phnom Penh, Presiden Heng Samrin juga secara tiba-tiba (4 Desember) mencopot Pen Sovan dari kedudukannya sebagai Sekjen Partai Komunis Kampuchea. Jabatan Sekjen Partai itu kemudian dirangkap Samrin. Sovan 46 tahun, anak didik Hanoi, menurut versi resmi, terpaksa diganti karena dia "harus menjalani istirahat panjang." Samrin, demikian kalangan diplomatik, juga menganggap Sovan sudah tidak nasionalis lagi. Peristiwa tersebut seolah menunjukkan Phnom Penh mulai punya gigi (lihat Jatuhnya Anak Buah Moskow). Tapi pengaruh Hanoi belum pudar. Hanoi ikut mengecam gagasan koalisi longgar usulan Singapura. Nhan Dan koran Partai Komunis Vietnam, misalnya, menuduh gagasan itu suatu "komedi baru" yang dipentaskan AS dan RRC. Sedang SPK, Kantor Berita milik rezim Heng Samrin, mendakwa ASEAN berusaha membangun pemerintahan (koalisi) yang terdiri dari "penjahat perang dan pengkhianat yang tidak mendapat dukungan" rakyat Kampuchea. Menlu Singapura Dhanabalan dengan gigih berusaha menangkis kecaman tersebut. Bahkan menjelang pertemuan Pattaya, dia semakin menggelorakan gagasan koalisi longgar hingga timbul kesan hal itu merupakan usul ASEAN. Benarkah? "Kami perlu menegaskan bahwa gagasan koalisi longgar tersebut merupakan pendapat Singapura," kata Menlu Mochtar. "Dan sesungguhnya pula Singapura melemparkan gagasan itu tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan anggota lainnya dalam ASEAN." Dengan tenang Menlu Dhanabalan menanggapi kesalahpahaman rekannya itu. Menurut dia, usulan koalisi longgar sesungguhnya bukan gagasan baru. Secara tersirat hal itu dikemukakan dalam Pertemuan Segi Tiga di Singapura. "Jadi tak ada sesuatu yang baru dalam usulan tersebut," katanya. Dalam hal ini Menlu Australia Tony Street bersuara pula. "Kami sangat terkesan melihat dedikasi Singapura menangani persoalan (Kampuchea) itu," katanya. Tapi dengan tegas dia menyatakan Australia tidak akan menerima koalisi longgar yang dalam prakteknya akan menonjolkan "Khmer Merah dengan wajah lain." Selama tiga hari di Singapuraitu, Street berunding dengan Menlu Dhanabalan. Sementara itu, sebagai tidak lanjut pertemuan Pattaya, Menlu Ghazali Shafie bertugas menyusun suatu kertas kerja (petisi ASEAN) yang akan ditawarkan untuk memecahkan persoalan Kampuchea. Dalam rancangan itu Uni Soviet, AS dan RRC juga akan dilibatkan. Bahkan, menurut Menlu Dhnabalan, ketiganya akan diminta membantu mempercepat pembentukan pemerintahan koalisi. Suatu Zone Damai, Bebas dan Netral (ZOPFAN) antara Vietnam dan Muangthai, demikian Ghazali, juga akan ditawarkan kepada Uni Soviet dan RRC. Kini Vietnam dan Muangthai (lihat "Kami Sudah Bosan dan Lelah") saling mencurigai. Dan Muangthai, dengan konflik di tetangganya, terancam (lihat "Desa Setan" di Perbatasan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus