Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pengungsi di Negeri Sendiri

Invasi Rusia ke Ukraina memaksa penduduk menyelamatkan diri ke kamp-kamp pengungsian darurat. Nasib mereka terkatung-katung.

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penduduk Ukraina membangun kamp pengungsian darurat di tempat yang dinilai cukup aman.

  • Para pengungsi bertahan di kamp-kamp, khususnya wilayah barat Ukraina.

  • Mereka mengandalkan bantuan kemanusiaan dan belanja sebisa mereka.

MENDEKAM di dalam tenda kecil, Zhan Hryshin sibuk mengutak-atik komputer jinjingnya. Angin musim semi di Kota Lviv, Ukraina, masih terasa dingin, tapi Hryshin nekat menanggalkan kausnya. Pria berambut ikal itu membungkus tubuhnya hanya dengan selembar selimut. Hryshin menjadi pengungsi akibat invasi Rusia ke negerinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda 25 tahun itu adalah warga Odessa, kota pelabuhan di selatan Ukraina. Odessa merupakan salah satu wilayah yang dihujani misil setelah agresi militer Rusia ke Ukraina dimulai pada akhir Februari lalu. “Kota kami sudah tak aman,” ujar Hryshin pada Kamis, 14 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hryshin membawa bivak biru dongker berukuran 2 x 2 meter dari kampung. Ia mendirikan tenda itu di dalam ruangan seluas separuh lapangan badminton. Hryshin merasa nyaman berada di tenda bersama kekasihnya karena memberi ruang privat selama mengungsi.

Kamp yang ditempati Hryshin tak seperti lazimnya barak pengungsi. Ia tinggal di sebuah gedung bekas pabrik di Jalan Zavodska. Hanya ada lampu temaram di tangga dan lorong gelap sepanjang sepuluh meter yang memandu pengunjung menuju bilik pengungsi di lantai dua.

Sebulan lalu, ketika baru tiba di Lviv, Hryshin diberi tahu temannya bahwa ada gedung tua yang bisa ditempati. Bersama enam temannya, Hryshin menyulap sebuah ruangan di gedung itu menjadi barak. Mereka lalu berburu furnitur bekas seperti dipan, matras, dan almari. “Kami mendapat harga yang miring,” tuturnya.

Selain tenda Hryshin yang beralas kasur tipis, ada enam matras yang ditata berhadap-hadapan. Dua kawan Hryshin tidur meringkuk dan berkemul di sudut. Pakaian berhamburan di atas kasur. Semua barang serba berantakan. Mereka memasang lampu aneka warna seperti yang lazim dipasang di pohon Natal sebagai penerangan. Sebuah lampu ultraviolet, yang mereka andalkan untuk menghangatkan kamar tatkala malam tiba, tercagak di tengah ruangan.

Alina Prisich juga tinggal di kamp itu. Gadis 23 tahun itu berasal dari Luhansk, daerah di sebelah timur Ukraina yang berbatasan langsung dengan wilayah Rusia. Sebulan lamanya Prisich sudah tinggal di barak itu. “Nyaman sekali tinggal di sini karena banyak teman seumuran,” tutur penggemar fotografi ini.

Perang Rusia-Ukraina ini bukan yang pertama kali Prisich alami. Pada 2014, ia sudah mendengar dentuman bom di dekat rumahnya di Luhansk. Waktu itu konflik antara Ukraina dan Rusia sudah meletus di wilayah Donbas, kurang dari 100 kilometer dari kampung Prisich. Setelah perang berkecamuk, Prisich dan keluarganya pindah ke Kyiv.

Sewindu berlalu tapi kengerian mendengar suara bom masih membekas di pikiran Prisich. Ketika Rusia mulai membombardir Kyiv pada Maret lalu, Prisich buru-buru mengungsi ke Lviv. Mencari informasi barak pengungsian di berbagai kanal media sosial, ia menemukan kamp yang dirintis Hryshin. “Informasi kamp ini disebarkan dari mulut ke mulut,” kata Prisich.

Pengungsi memadati halaman utama Stasiun Pusat Lviv, Ukraina, 8 April 2022. Tempo/Raymundus Rikang

Para penghuni bahu-membahu mengurus kamp. Setiap orang punya tugas masing-masing. Ada yang bertanggung jawab membersihkan barak dan ada yang bertugas memasak untuk santapan teman-temannya.

Prisich dan teman-temannya memperoleh bantuan bahan makanan dari lapak misi kemanusiaan yang datang ke Lviv. Sesekali mereka membeli barang kebutuhan dari supermarket. Duitnya diperoleh dari berjualan konten seni dan foto melalui aplikasi Patreon. Kebanyakan penghuni di kamp ini memang berprofesi seniman. “Semoga perang ini segera rampung dan kami bisa kembali hidup normal,” ujar Prisich.

Di Jalan Horodotska juga berdiri kamp pengungsi bernama Wonder Space. Sebelum perang berkecamuk, tempat ini adalah studio foto dengan bangsal seluas lapangan basket. Di sini, Ksenia Hazmash sudah mengungsi selama sepekan bersama dua ekor kucingnya. Perempuan 27 tahun ini berasal dari Donetsk, yang diakui Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai negara yang merdeka dari Ukraina.

Di kampung halamannya, Hazmash bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Mengisi hari-harinya di kamp, ia memasak untuk penghuni Wonder Space. Ia vegetarian dan senang menghidangkan borscht, sup tradisional Ukraina yang berisi kubis, kentang, tomat, dan bit. “Beberapa koki menambahkan daging sapi jika yang makan bukan seorang vegan,” ujarnya.

Ketika saya berkunjung ke Wonder Space pada 14 April lalu, Hazmash dan tiga perempuan lain sedang menguleni adonan tepung. Mereka hendak membuat roti berisi irisan kubis dan wortel untuk disajikan sebagai kudapan sore bagi anak-anak dan perempuan penghuni kamp.

Hazmash tak tahu sampai kapan akan tinggal di kamp pengungsi. Ia menyimak perkembangan tensi peperangan di Donetsk yang tak kunjung reda. Bahkan, ibunya, yang masih bertahan di Donetsk, berencana menyusul ke Lviv pada Ahad, 17 April nanti. “Serangan Rusia membuat keluarga kami dan banyak keluarga di Ukraina kehilangan rumah,” ucapnya.

Fedoreyev Oleksiy, pengelola Wonder Space, bercerita bahwa kamp pengungsian ini mulai disiapkan ketika Rusia meluncurkan misil ke wilayah Ukraina pada akhir Februari lalu. Ia mulai membangun kamp dengan lima matras dan kini sudah punya hampir seratus dipan. Wonder Space hanya menerima pengungsi perempuan dan anak-anak yang kini berjumlah 120 orang. “Kami melakukan apa pun untuk membantu saudara kami yang kehilangan rumah karena perang,” ujar pria 41 tahun ini.

Matras-matras itu digelar di bangsal. Oleksiy membagi bangsal itu menjadi beberapa paviliun yang dipisahkan dengan tirai hitam. Setiap paviliun berisi sekitar 20 dipan. Beberapa perempuan sepuh tampak tidur meringkuk di atas ranjang yang beralaskan selimut. Di dekat dapur, Oleksiy menyiapkan paviliun untuk arena bermain anak dan konsultasi dengan psikolog. Tampak dua bocah yang sedang menyusun balok-balok kayu di atas meja di sana.

Oleksiy mengatakan kampnya menyediakan kursus untuk anak-anak karena mereka tak lagi bersekolah. Anak-anak belajar bahasa Inggris selama satu jam di pagi hari. Setelah itu mereka mengikuti latihan melempar-lempar bola layaknya pemain sirkus.

Menurut Oleksiy, kamp ini tak menerima dana dari pemerintah. Beberapa perusahaan dan pebisnis lokal kini ikut menyokong Wonder Space. Tak semuanya berupa uang. Mereka sering mendapat kiriman susu dan makanan. “Kami menerima semua bantuan karena tak mudah mengurus dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan ratusan orang di sini,” ucapnya.

Nestapa justru dialami Stanislav Dranischev. Pria 52 tahun asal Kharkiv itu terlantar di halaman Stasiun Lviv beberapa hari saat hendak mengungsi dan terbang ke Selandia Baru. Keluarganya malah sudah mendapat tempat tinggal di Amerika Serikat dan Australia.

Sambil menunjukkan selembar rekomendasi visa dari Selandia Baru, Dranischev mengatakan bahwa petugas perbatasan tak mengizinkannya ke luar negeri. Ia tak tahu alasan petugas melarangnya mengungsi ke negara lain. “Mungkin saya laki-laki dan negara bisa saja membutuhkan tenaga kami sewaktu-waktu,” tuturnya.

Dranischev akhirnya mengurungkan niat pergi ke luar negeri. Ketika bertemu saya pada Kamis, 14 April lalu, ia sudah menggenggam tiket kereta ke Kharkiv. “Pulang ke rumah di Kharkiv adalah satu-satunya pilihan yang saya punya sekarang,” ujarnya. Padahal kotanya kini sedang membara karena pertempuran sengit antara tentara Rusia dan Ukraina.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus