Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik Sunni-Syiah kembali membara di Jazirah Arab, Yaman. Dari Saudi, seorang ulama kondang Wahabi, Sheik Abdul-Aziz al-Sheikh, Rabu pekan lalu, menuduh gerilyawan Syiah di utara Yaman bekerja sama dengan Iran mencoba menyebarkan paham Syiah di jantung Islam Sunni di Jazirah Arabia.
Kaum Sunni garis keras Arab Saudi, Wahabi, menganggap aliran Syiah bid’ah. ”Kolaborasi antara Iran dan pemberontak adalah dosa dan agresi,” ujar Sheik Abdul-Aziz al-Sheikh sebagaimana dikutip koran Al-Watan. Sebaliknya, dari Teheran, petinggi militer Iran, Jenderal Hassan Firouzabadi, menuduh Saudi sedang memulai aksi ”terorisme oleh negara Wahabi” yang bakal menggoyang stabilitas kawasan sekitarnya.
Perang mulut itu dipicu perang terbuka antara pasukan pejuang Houthi, yang merupakan minoritas sekte Syiah Zaydi, dan pasukan pemerintah Yaman di kawasan pegunungan Jabal al-Dukhan, yang merentang di seberang perbatasan provinsi utara Yaman, Saada. Akibatnya, seorang tentara perbatasan Saudi tewas dan 11 terluka.
Pemerintah Saudi di Riyadh bereaksi dengan mengirim pesawat tempur F-15 dan Tornado. Serangan yang menewaskan 40 gerilyawan itu memukul mundur kaum Houthi ke balik perbatasan Yaman. ”Sekarang tak ada seorang pun Houthi di dalam sisi perbatasan Saudi. Siapa pun yang datang mendekati perbatasan akan dibunuh,” ujar Wakil Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Khaled bin Sultan.
Tapi gerak militer Saudi tak cuma sampai di garis perbatasan. Pesawat tempur buatan Amerika dan Inggris itu, didukung senjata artileri, merangsek masuk menerabas perbatasan Saudi-Yaman pada 4 November lalu. Tempat itu dihujani 100 rudal dalam satu jam. ”Jet Saudi menjatuhkan bom di kawasan padat penduduk, termasuk pasar lokal di provinsi utara Saada,” ujar juru bicara Houthi, Muhammad Abdul Salam. ”Mereka membunuh penduduk sipil seperti yang dilakukan pemerintah (Yaman).” Bahkan, dalam pernyataannya di Internet, kelompok pejuang Houthi menyatakan pesawat tempur dan helikopter Saudi menjatuhkan bom fosfor di empat kawasan Provinsi Saada.
Operasi militer Saudi di wilayah utara Yaman ini diakui seorang pejabat Saudi. ”Serangan udara yang berhasil, pengeboman posisi pemberontak, tak cuma di perbatasan, tapi di posisi utama pemberontak di Saada,” ujar seorang pejabat Saudi .
Dari Teheran muncul suara keras. Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki memperingatkan intervensi militer negara asing dalam konflik itu. ”Siapa yang berpihak akan menghadapi konsekuensi negatif,” ujarnya.
Pemerintah Riyadh ogah digertak. Saudi mengancam akan terus menggelar serangan udara hingga pemberontak mundur dari perbatasan. ”Kami tak akan berhenti mengebom hingga (mereka) mundur 10 kilometer dari perbatasan (Yaman),” ujar Khaled bin Sultan.
Saudi dan Yaman sudah lama menuduh Iran mendukung perjuangan sekte Syiah Zaydi. Yaman mengaku menahan kapal bermuatan senjata yang ditujukan untuk kelompok Houthi dan menahan awak kapal Iran di pelabuhan Haja, provinsi perbatasan di kawasan konflik. Yaman dan Arab Saudi menuduh Iran mengirim uang dan senjata kepada pemberontak untuk melawan pasukan pemerintah. Tapi tuduhan itu dibantah Iran dan kelompok Houthi. ”Kami tidak punya satu pun hubungan dengan agenda politik negara asing,” ujar Muhammad Abdul Salam.
Pemerintah Yaman menuduh kelompok Houthi ingin kembali mendirikan pemerintahan imam Zaydi yang sudah berakhir pada 1962. Komunitas Zaydi adalah penduduk minoritas di Yaman, tapi merupakan mayoritas di provinsi utara Yaman. Namun, bagi kaum Houthi, perang yang mereka kobarkan hanyalah untuk membela diri. Dan, ”Kami menghargai semua anak negeri ini, dengan mengabaikan ideologi,” kata Abdul Salam.
Akar konflik di Yaman saat ini sudah muncul sejak Perang Dingin pada 1960-an, ketika imam Syiah, Imam Ahmad al-Houthi, yang memerintah Kerajaan Yaman, meninggal pada 1962 dan digantikan anaknya, Abdul Malik al-Houthi. Dengan bantuan Mesir, perwira angkatan darat menggelar kudeta. Kudeta itu mengakhiri pemerintahan imam Syiah selama 1.000 tahun di Yaman. Perwira militer kemudian mendirikan Republik Arab Yaman pada 1962. Sedangkan Imam Abdul Malik al-Houthi bersama pengikutnya menyingkir ke provinsi utara Yaman, Saada.
Pemerintah Sanaa menempatkan kekuatan militer dan perangkat perang untuk membasmi pendukung sang Imam. Tapi selama lima tahun pemerintah Yaman gagal melumat gerilyawan di pegunungan Dukhan itu. Ketika itu, bantuan kemanusiaan disalurkan lewat perbatasan Saudi. Bahkan pemerintah Saudi dan Yordania saat itu mendukung perlawanan gerilya Houthi terhadap pasukan pemerintah Yaman. Penguasa baru Yaman didukung ribuan personel pasukan Mesir yang bermarkas di Ibu Kota Sanaa.
Ketika geopolitik menjelang abad ke-21 berubah, peta politik di tanduk Jazirah Arab ini juga berubah. Kaum mullah menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang didukung Amerika pada 1979, mengakibatkan penguasa tradisional Sunni di Jazirah Arab khawatir digoyang pengaruh Iran. Kelompok Syiah ini merupakan kaki Iran di halaman depan Arab Saudi.
Yaman berpenduduk mayoritas Sunni, tapi Presiden Ali Abdallah Saleh punya akar Syiah Zaydi. Sayangnya, di dalam tubuhnya tak mengalir darah sayid, sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad lewat cucunya, Hassan dan Hussein. Imam penguasa lama Yaman memperoleh keabsahan kekuasaan politik mereka dari status sayid dan karisma keluarga Houthi yang kini dipimpin Imam Hassan al-Houthi—meski mereka membantah tuduhan berniat mengembalikan kekuasaan imam.
Unsur sektarian sebenarnya ada dalam konflik kelompok Houthi dengan pemerintah Yaman, yakni keseimbangan antara pengajaran Syiah Zaydi dan Sunni Salafi di sekolah di wilayah Saada. Gerilyawan Houthi menuduh Presiden Saleh memainkan politik pecah belah dengan mendukung sekolah Sunni Salafi dan membatasi kegiatan gerakan Syiah Zaydi.
Iran pun kemudian dituduh mendukung gerilyawan Saada, meski Syiah Zaydi—mengambil nama dari imam kelima Syiah, Zayd ibn Ali—secara doktriner berbeda dengan Syiah Iran. Sejak itu pula pejuang pengikut sekte Zaydi mendapat cap sebagai pemberontak hingga kini.
Belakangan pencitraan terhadap perlawanan Houthi di Saada makin hitam dengan tuduhan mereka didukung Libya, Hizbullah, Al-Qaidah, bahkan minoritas Yahudi di Yaman. Sebaliknya, kelompok Houthi menuduh pemerintah Yaman beraliansi dengan negara Barat dalam perang melawan teroris, dan menyerukan pembebasan beribadah berdasarkan tradisi mereka.
Yang menarik, komandan kelompok militan Al-Qaidah di Semenanjung Arabia, Mohammed bin Abdul Rahman, dalam rekaman suaranya di Internet mendukung pemerintah Yaman yang beraliran Sunni menghabisi kelompok Houthi. ”Komunitas Syiah dan Iran sedang mengambil alih negara muslim, dan mereka ini adalah ancaman besar terhadap Islam,” katanya.
Dukungan Saudi terhadap pemerintah Yaman diduga untuk mengamankan aset ekonominya. Pertempuran di perbatasan itu berjarak sekitar 900 kilometer dari ladang minyak Saudi, dan kawasan itu berhadapan dengan Laut Merah, yang merupakan rute paling sibuk kapal tanker minyak. Saudi tidak bisa mengandalkan pemerintah Yaman yang lemah mengamankan kawasan itu.
Kehadiran rezim mullah di Iran dianggap sebagai ancaman, khususnya di Yaman, sehingga tak aneh pemerintah Yaman secara terbuka menuduh Iran mempersenjatai gerilyawan Houthi. Tapi, menurut Joost Hiltermann, Wakil Direktur Program Timur Tengah untuk International Crisis Group di London, tak ada bukti yang mendukung tuduhan itu. ”Mungkin Iran senang dengan apa yang terjadi saat ini, tapi itu bukan berarti mereka mendukung Houthi,” ujar Hiltermann.
Pendapat yang sama diyakini Simon Henderson, Direktur Teluk dan Kebijakan Energi pada Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat di Washington. Ia setuju tak ada bukti yang jelas bahwa Iran mendanai gerilyawan. Tapi ada asumsi Iran memihak Houthi dan Saudi mendukung Presiden Yaman. ”Jadi ini perang perwakilan Saudi-Iran,” katanya.
Raihul Fadjri (AP, Reuters, AFP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo