Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah ruangan klinik kesehatan di Saguiaran, Provinsi Lanao del Sur, seorang perempuan terbaring lemah di ranjang. Pada pertengahan Juli lalu itu, ia baru saja melahirkan anak kesepuluhnya. "Ini bayi terakhir, saya tidak tahan lagi," katanya. Perempuan itu menamai bayi laki-lakinya Martial, sebagai penanda masa-masa sulit di Filipina selatan.
Martial bukan satu-satunya bayi yang lahir pada hari itu. Di ruangan berbeda, berimpitan dengan lorong yang suram dan berlumpur, seorang perempuan lain tengah menahan sakit dalam persalinan. Ia berjuang sendiri. "Suami saya harus menemani anak di kamp," ujarnya, seperti diberitakan jurnalis Al Jazeera, Jamela Alindogan. Kamp yang dimaksudkan perempuan itu adalah pusat pengungsian warga Marawi, yang ada tepat di samping klinik.
Martial terlahir di tengah masa darurat di Mindanao, yang berlaku sejak 23 Mei lalu. Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte menetapkan status darurat atau Martial Law setelah kelompok Maute menyerbu dan menguasai Marawi, kota yang berbatasan langsung dengan Saguiaran. Maute, yang dipimpin duo bersaudara Abdullah dan Omarkhayam Maute, bersumpah setia kepada kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Hingga lebih dari 60 hari masa darurat berlalu, konflik di Marawi belum juga reda. Angan Duterte untuk lekas membasmi Maute pun kandas. Ia harus memperpanjang masa darurat hingga akhir tahun ini. "Setiap malam, saat mendapat laporan, saya membaca tentang jumlah korban," ujarnya. "Saya selalu bersedih untuk warga sipil yang tewas. Saya juga berduka untuk para prajurit karena memerintahkan mereka bertempur dan mati."
Duterte menginjakkan kaki di Kota Marawi pada 20 Juli lalu. Ia sebelumnya dua kali gagal menengok pasukan militer Filipina di kota yang tengah dikoyak teror itu lantaran terhalang cuaca buruk. Di Marawi, Duterte memompa moral tentara dari Brigade Infanteri ke-103, Divisi Infanteri 1 Angkatan Darat Filipina di Kampo Ranao. Panglima tertinggi militer Filipina itu memerintahkan pasukannya segera menumpas kelompok teror Maute.
Di luar dugaan Manila, konflik Marawi rupanya berlangsung brutal dan lama. Dalam dua bulan, pertempuran di kota berpenduduk mayoritas muslim itu telah menewaskan 427 milisi, 99 tentara pemerintah, dan 45 warga sipil. Nyaris 350 ribu penduduk Marawi dan daerah sekitarnya terpaksa melarikan diri, memicu krisis kemanusiaan baru di Mindanao.
Di Marawi, militer Filipina terus menggempur Maute. Serangan udara saban hari tak henti membombardir rumah-rumah dan gedung pertokoan tempat ngumpet para teroris. Ribuan tentara dan puluhan kendaraan tempur dikerahkan untuk menyapu milisi lewat darat. Ratusan bangunan rata dengan tanah. Namun kelompok Maute, yang berkolaborasi dengan Isnilon Hapilon, pentolan faksi Abu Sayyaf pro-ISIS, belum menunjukkan tanda-tanda kalah.
Juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina, Brigadir Jenderal Restituto Padilla, memperkirakan ada sekitar 80 anggota Maute yang masih bertahan di kota. Menurut dia, wilayah Maute terus menyusut setelah militer dalam dua hari sukses membersihkan 60 bangunan yang sebelumnya diduduki para milisi, dua pekan lalu. "Tapi ada 600 gedung tersisa yang masih dikuasai Maute," ujarnya, seperti dikutip Manila Times.
Bagi militer Filipina, perang menumpas Maute semula berlangsung mulus. Satu per satu milisi tumbang tertembus peluru tentara. Puluhan ekstremis lainnya mampus kena hantam serangan udara. Bahkan ayah Abdullah dan Omarkhayam, Cayamora Maute, yang dituding sebagai pentolan kelompok Maute, telah ditangkap. Begitu pula istri pertama Cayamora, Farhana Romato Maute, serta istri keduanya, Kongan Alfonso Balawag, diciduk polisi.
Tak berhenti di situ, pasukan keamanan Filipina juga telah menahan tiga tersangka pemasok duit dan logistik utama bagi kelompok Maute. Mereka digerebek tentara di sebuah desa tak jauh dari Marawi, awal Juli lalu. "Kami menemukan senjata, amunisi, dan bahan pembuat bom," kata seorang juru bicara militer, Brigadir Jenderal Gilbert Gapay.
Menurut Gapay, salah seorang yang dicokok itu Monaliza Romato. Perempuan berkerudung dengan nama alias Monay tersebut merupakan keponakan Farhana Maute. "Monay telah menggantikan bibinya sebagai penyokong keuangan dan logistik kelompok militan itu," kata Gapay, yang mengklaim penangkapan Monay dan dua orang lainnya itu bakal berdampak buruk terhadap jaringan perbekalan dan persenjataan kelompok Maute.
Namun klaim Gapay agaknya tidak terbukti. Lebih dari dua pekan sejak penangkapan Monay, serangan balik milisi Maute di Marawi belum juga kempis. "Seakan-akan senjata mereka tak terbatas," kata Letnan Satu Kent Fagyan, yang terluka dalam pertempuran di Marawi. Fagyan, 29 tahun, bersaksi di depan Kongres Filipina ketika pembahasan opsi perpanjangan masa darurat militer. "Ini berbeda dengan pertempuran sebelumnya."
Menurut Fagyan, Maute kini lebih kuat ketimbang mereka yang pernah menduduki Butig--kota sejauh 52 kilometer di sebelah selatan Marawi--pada akhir November 2016. Saat itu pertempuran juga berlangsung sengit. Militer Filipina harus mengerahkan pasukan dalam jumlah besar, termasuk artileri berat dan helikopter tempur, untuk menggempur milisi Maute. Hasilnya, tentara sukses merebut kembali Butig dari tangan Maute "hanya" dalam waktu enam hari.
Fagyan meyakini persenjataan milisi Maute sekarang jauh lebih mutakhir. Ia, misalnya, menyebutkan Maute memiliki lebih banyak senapan runduk semi-otomatis kaliber 50, pemindai frekuensi radio, serta pesawat nirawak atau drone. Militer juga menemukan 503 pucuk senjata api dari 400 milisi Maute yang tewas. "Mereka sepertinya mempunyai persediaan amunisi yang tidak ada habisnya," ucap Fagyan.
Prajurit tersebut mengatakan tentara kesulitan membunuh anggota Maute karena kebanyakan dari mereka adalah penduduk lokal. Milisi Maute dengan mudah berbaur dengan penduduk sipil lain. Kondisi makin runyam karena anggota Maute lebih mengenali daerah pertempuran. "Kami pernah melewati beberapa rumah yang telah dipasangi bom rakitan," Fagyan menuturkan. "Mereka benar-benar tahu medannya."
Di Marawi, militer Filipina mencicipi perang kota yang dahsyat. Di Marawi pula mereka terbukti kelimpungan. "Banyak tentara kita tidak siap menghadapi perang kota," kata Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana. "Bisa dikatakan, mereka baru belajar saat baku tembak dengan milisi," ucap Lorenzana. Dia menyatakan tentara harus menyisir setiap jalan dan satu per satu bangunan untuk membersihkan seisi Marawi dari milisi Maute.
Operasi pembersihan Marawi diperkirakan cukup berat meski militer Filipina telah merebut sebagian wilayah di sisi timur kota itu, yang sebelumnya menjadi benteng kokoh Maute. "Tergantung seberapa banyak jebakan bom rakitan," kata juru bicara Pasukan Gabungan di Marawi, Letnan Kolonel Jo-ar Herrera. Dengan anggota yang menipis, Maute mengandalkan serangan dengan senapan mesin, senjata anti-tank, dan penembak runduk.
Presiden Rodrigo Duterte bahkan tak habis pikir dengan kemampuan tempur Maute. "Bagaimana mereka bisa mengumpulkan persediaan persenjataan sebanyak itu? Ini harus diselidiki setelah pertempuran usai," ucapnya. Militer Filipina sampai sekarang belum mampu menjawab pertanyaan Duterte itu dengan gamblang. Langkah mereka justru terseok di Marawi.
Agaknya tak salah jika Duterte pernah memperingatkan militer Filipina ketika dia pertama kali mengumumkan darurat militer di Mindanao. Saat itu, Duterte mengatakan status darurat bisa bertahan hingga satu tahun. "Jika butuh waktu setahun untuk melakukannya (menumpas Maute), kita akan melakukannya," kata Duterte ketika itu. "Namun, bila sudah selesai dalam waktu sebulan, saya akan sangat bahagia."
MAHARDIKA SATRIA HADI (ALJAZEERA, ABS CBN NEWS, INQUIRER, CNN, REUTERS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo