Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan warga Damaskus melambaikan bendera dan bersorak menyambut kedatangan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Kepala Intelijen Rusia Mikhail Fradkov, Selasa pekan lalu. Delegasi Rusia ini berencana membujuk Presiden Suriah Bashar al-Assad agar berunding dengan oposisi dan mengurangi intensitas kekerasan di negerinya. Warga berdesakan sambil membawa poster besar bertulisan "Terima kasih, Rusia dan Cina" disandingkan dengan foto Presiden Assad dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev.
Ekspresi sukacita pendukung Assad itu muncul setelah tiga hari sebelumnya Rusia dan Cina memveto penerapan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang antara lain mewajibkan transisi kekuasaan damai dan memberlakukan embargo senjata kepada Suriah. "Saya berada di sini untuk berterima kasih kepada Rusia atas sikapnya menghadapi konspirasi dunia atas Suriah," kata Manya Abbad, 45 tahun, pendukung Assad.
Sidang pengambilan suara atas resolusi PBB disetujui 13 negara, termasuk Amerika Serikat. Resolusi ini dikeluarkan dengan alasan semakin banyak korban penduduk sipil dalam kekerasan di Suriah. Hingga Januari, PBB mencatat lebih dari 6.000 korban tewas sejak krisis meletus pada Maret tahun lalu. Jumlah tahanan diperkirakan 15-40 ribu orang.
Alasan Rusia dan Cina menggunakan hak veto karena mereka menilai penyelesaian ala Dewan Keamanan PBB itu hanya akan membawa Suriah menjadi Libya kedua. Resolusi itu membuka peluang pengiriman pasukan asing ke wilayah konflik. Jika tak ada solusi justru mengakibatkan kekerasan dan perang saudara. Kekhawatiran tersebut masuk akal karena Suriah memang memiliki catatan buruk mengenai perang saudara yang mengerikan. Pada 1982, di masa pemerintahan Hafez Assad, ayah presiden yang sekarang, terjadi konflik kekerasan di Kota Hama. Korban jiwa yang jatuh mencapai 10 ribu orang.
Rusia pun memilih pendekatan melalui jalur perundingan tanpa menggeser rezim Assad. "Kultus kekerasan di mata internasional sering menggagalkan tujuan damai. Kami bantu mereka menyelesaikan masalah tanpa menggunakan senjata," kata Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin. Namun banyak pihak yang ragu akan efektivitas cara Rusia, karena dengan jelas memposisikan diri pro-Assad dan kroninya, yang minoritas Alawi dari mayoritas Sunni. Pihak oposisi pun akan sulit diajak berunding.
Tentu ada alasan lain Rusia selain ingin membantu penyelesaian melalui perundingan di antara beberapa kekuatan di Suriah. Negara tersebut sudah memiliki hubungan dekat dengan Suriah sejak diperintah Hafez Assad. Bisa dikatakan, Suriah adalah sekutu Rusia di Timur Tengah sekaligus pasar peralatan tempur Rusia.
Jika Suriah tak lagi ramah terhadap Soviet, kerugian atas penjualan senjata akan makin besar, karena pasar Iran dan Libya sudah tertutup. Industri senjata Rusia dipastikan rugi setelah pembatalan pembelian dari Iran senilai US$ 13 miliar atau Rp 118,3 triliun dengan adanya embargo Dewan Keamanan. Jatuhnya Presiden Muammar QadÂhafi juga berimbas pada pembatalan kontrak penjualan senjata dengan Libya sebesar US$ 4,5 miliar atau Rp 40,9 triliun.
Tertutupnya pasar ke Iran dan Libya membuat Suriah makin penting. Rusia dan Suriah telah menandatangani kerja sama pembelian senjata US$ 5 miliar atau sekitar Rp 45,5 triliun pada Maret 2011. Menurut harian Kommersant, Suriah juga telah memesan pengiriman 36 pesawat latih tempur jenis Yakovlev Yak-140 Mitten senilai US$ 550 juta atau Rp 5 triliun. "Kontrak telah ditandatangani pada Desember 2011," kata sumber yang dekat dengan eksportir persenjataan Rusia, Rosoboronexport. Suriah juga ingin membeli pesawat jet MiG-29M dan MiG-35.
Tak hanya nilai transaksi besar yang membuat Rusia senang, cara pembayaran tunai membuat proyek jual senjata ini juga makin menguntungkan. Cara bayar tunai dimulai sejak 1992, melalui pembelian 400 unit tank T-72 dan 300 unit sistem artileri senilai US$ 270 juta atau kini senilai Rp 2,5 triliun. Saat itu produsen senjata Rusia enggan dengan pembayaran mencicil. Kebiasaan pembelian tunai berlanjut hingga saat ini. "Rezim Assad selalu membayar tunai," Igo Korotchenko, Kepala Pusat Analisis Perdagangan Senjata Global, menegaskan.
Selain menjadi pasar senjata, kelangsungan bisnis Rusia di Suriah juga patut dipertahankan. Pada 2007, pemerintah Putin berinvestasi US$ 370 miliar atau sekitar Rp 3,3 triliun untuk pembangunan pipa gas, dan kontrak miliaran dolar untuk mendirikan pabrik petrokimia dan kilang minyak di Suriah. Investasi itu sebagai kompensasi dari penghapusan 73 persen utang Suriah yang menggunung di era Uni Soviet. Rusia juga menanamkan modal pada sektor infrastruktur.
Seperti Rusia, Cina juga memiliki kepentingan yang wajib dilanggengkan. Suriah adalah pasar potensial Cina di Timur Tengah. Produk seperti otomotif, perkakas rumah tangga, dan peralatan elektronik telah membanjiri toko-toko di Suriah. Ekspor barang dari Cina ke Suriah adalah yang terbesar kedua setelah Arab Saudi. "Pebisnis Cina memang mulai banyak masuk ke Suriah sebelum krisis politik. Mereka menggandeng pengusaha lokal," kata atase politik Kedutaan Besar Indonesia untuk Suriah, Iskandar Sukmadi, ketika dihubungi per telepon oleh Tempo, Rabu pekan lalu.
Suriah memang bukan produsen besar minyak di Timur Tengah. Namun negara ini adalah penghasil minyak mentah terbesar di kawasan timur Mediterania dengan kemampuan produksi 120 ribu barel per hari—Indonesia hanya 93 barel per hari. Bahkan, sebelum krisis, Suriah mampu mengerek produksi 340 ribu barel per hari. Nah, Cina yang haus energi makin tergoda oleh minyak Suriah setelah kuota 95 persen yang biasa dijual ke Uni Eropa terpaksa menganggur akibat embargo Uni Eropa.
Perusahaan minyak Cina, China National Petroleum Corporation, telah berinvestasi dalam proyek penambangan minyak senilai US$ 1 miliar yang beroperasi sejak 2008. Perusahaan minyak milik negara itu menggandeng perusahaan minyak India, Oil India, dan perusahaan gas alam Suriah. "Salah satu kilang minyak ada di Deir al-Zor dengan kapasitas 70 ribu barel per hari," kata Wakil Perdana Menteri Suriah urusan Ekonomi Abdullah al-Dardari.
Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan tudingan adanya kepentingan ekonomi di balik vetonya tidak sepenuhnya benar. "Tujuan kami agar Suriah menghindari kekerasan, konflik peperangan, dan tidak membuat masalah lebih rumit," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Liu Weimin.
Eko Ari (AP, Reuters, ACPR.org.il, Washington Post, New York Times)
Kota Perlawanan
Homs adalah kota ketiga terbesar setelah ibu kota Suriah, Damaskus, dan Aleppo serta berada di 160 kilometer sebelah utara Damaskus. Kota berpenduduk sekitar 1,5 juta orang ini dihuni mayoritas Sunni dan minoritas Alawi serta Kristen.
Kota ini menjadi basis perlawanan kelompok anti-Presiden Bashar al-Assad. Akibatnya, tempat ini menjadi wilayah yang paling berdarah selama 11 bulan konflik kekerasan terjadi di Suriah. Pada April 2011, mulai meletus konflik bersenjata antara kelompok tentara pembebasan Suriah dan militer pemerintah. Protes terhadap pemerintah terus bergulir yang dibalas serangan tentara pemerintah. Wilayah yang paling menjadi sasaran serangan yaitu Baba Amr, Khalidiya, Bayada, dan Bab Dreib. "Tidak seluruh Kota Homs dihajar militer pemerintah, hanya yang dikuasai oposisi," kata atase politik Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Suriah Iskandar Sukmadi.
Oposisi menempatkan Homs seperti Benghazi, sarang perlawanan atas Muammar Qadhafi, yang kemudian memicu keterlibatan negara-negara Barat di Libya tahun lalu.
Seorang penduduk menyebutkan, tentara Suriah menambah kekuatan setidaknya 40 tank dan 50 kendaraan infanteri serta 1.000 tentara yang diangkut dari wilayah dekat perbatasan dengan Libanon untuk ditempatkan di Homs, Kamis pekan lalu. "Setelah veto Cina dan Rusia, mereka menggunakan tank untuk menyerang kawasan Khalidiya, Bab Amro, dan Inshaat," kata aktivis oposisi, Mohammad Hassan.
Eko Ari (BBC, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo