Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa jam setelah serangan senjata kimia di Ghouta, Damaskus, seorang pejabat Kementerian Pertahanan Suriah dengan panik menelepon pemimpin unit senjata kimia. Dengan cemas ia meminta penjelasan tentang serangan pada 21 Agustus lalu itu, yang menewaskan lebih dari seribu orang.
Percakapan yang berlangsung hanya beberapa menit itu berbuntut panjang karena intelijen Amerika Serikat menyadapnya. Seperti dilansir The Cable—blog terhormat Foreign Policy—dari isi percakapan itulah pemerintah Amerika yakin rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad bertanggung jawab dalam serangan itu.
Pembantaian itu memicu kemarahan dunia. Pemerintah Barack Obama berkukuh akan menyerang Suriah. Sembari menunggu penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Obama keras mengancam Assad agar tidak melakukan provokasi apa pun menggunakan senjata kimia.
Sebelum melancarkan serangan, pemerintah Obama harus memiliki landasan kuat yang bisa dijadikan legitimasi. Selain menghormati laporan PBB, Obama mengandalkan laporan intelijen yang biasa diformulasikan komunitas intelijen sebelum masuk ke Gedung Putih.
Masalahnya, beredar informasi bahwa laporan tentang senjata kimia Suriah yang masuk Gedung Putih tidak murni dari sumber yang sah, yaitu komunitas intelijen. Seperti dikutipInfowars, Rabu tiga pekan lalu, ada dugaan terjadi manipulasi informasi intelijen mengenai Suriah. Hal itu terungkap dari ringkasan laporan intelijen yang dirilis pemerintah Obama pada 30 Agustus lalu. KepadaIPS News, seorang bekas perwira intelijen mengatakan laporan itu tak mewakili penilaian asli komunitas intelijen. Intinya, kata dia, Gedung Putih hanya memilih unsur-unsur dari penilaian komunitas intelijen yang mendukung rencana pemerintah menyerang Suriah.
Dokumen itu berjudul "Penilaian Pemerintah terhadap Penggunaan Senjata Kimia Pemerintah Suriah pada 21 Agustus 2013". Bekas perwira senior intelijen yang tidak ingin disebutkan identitasnya itu menilai sudah terjadi perubahan dalam dokumen. Sumber yang sudah lebih dari satu dekade berada di lingkaran inti telik sandi Amerika itu menyatakan, bahasa yang digunakan Gedung Putih "menunjukkan bahwa itu bukan dokumen komunitas intelijen".
"Pembajakan" dokumen intelijen semacam itu sudah pernah terjadi—dan akibatnya fatal. Dalam Perang Irak, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Colin Powell, yakin Saddam Hussein tak memiliki senjata pemusnah massal. Namun, seperti diungkapGlobal Research, ia melaporkan sebaliknya dengan memalsukan berbagai bukti untuk mengesahkan serangan ke Irak.
Parahawkish—penganut garis keras dalam menjalankan politik luar negeri—di era George W. Bush juga dikenal kerap meloloskan begitu saja informasi mentah langsung kepada presiden alias memotong proses pemeriksaan yang normal dilakukan badan intelijen. Masalahnya, laporan intelijen seperti apa yang paling dipercaya Obama.
Pada 10 Maret lalu, sebelum serangan di Ghouta, intelijen Israel melaporkan rezim Assad telah menggunakan senjata kimia. Israel membagi temuan itu dengan Amerika Serikat, tapi Washington sangsi akan kebenarannya. Amerika baru mempercayainya setelah Brigadir Jenderal Itai Brun, kepala divisi riset Aman—korps intelijen militer Israel—berpidato di Institute for National Security Studies di Tel Aviv, 23 April lalu. Brun mengungkapkan Suriah telah menggunakan senjata kimia untuk menyerang warganya. Amerika kian yakin setelah Inggris dan Prancis melaporkan temuan yang sama kepada PBB.
Sejak itu, Israel terus meyakinkan pemerintah Obama dengan memasok sejumlah besar informasi rahasia mengenai Suriah. Bekas kepala intelijen militer Israel, Jenderal Uri Sagi, mengatakan Israel memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang rahasia militer Suriah. "Israel adalah mata dan telinga yang bahkan eksklusif bagi intelijen Amerika," kata Sagi.
Soal senjata kimia di Suriah, intelijen Israel sudah lama mengamatinya. Kisahnya berawal dari Perang Teluk 1990. Divisi Mekanik IX Suriah bergabung dengan pasukan koalisi yang dipimpin Amerika menyerang Irak—karena rezim Saddam Hussein telah menginvasi Kuwait. Meski tak ikut bertempur, komandan divisi, Jenderal Hikmat al-Shihabi, pulang ke Damaskus membawa informasi lengkap tentang keperkasaan mesin perang Amerika.
Assad, yang ketika itu menjadi komandan angkatan bersenjata Suriah, menggelar serangkaian pertemuan di paruh kedua 1991, antara lain dihadiri pejabat Scientific Studies and Research Center (SSRC)—lembaga pemerintah untuk pengembangan persenjataan. Assad berasumsi senjata canggih yang dimiliki Amerika pasti juga dipunyai Israel.
Menurut Assad, satu-satunya jalan untuk mengatasi ketertinggalan persenjataan Suriah dengan Israel adalah berinvestasi pada peluru kendali berhulu ledak kimia yang mematikan. Dengan 10 ribu personel, SSRC bertanggung jawab mengoperasikan fasilitas utama pabrik senjata kimia Suriah di Al-Safir, kawasan Aleppo, Suriah utara.
Sumber intelijen Israel mengungkapkan Suriah mengisi hulu ledak Scud dengan gas sarin. Sebagian besar peralatan pabrik pembuat rudal berasal dari bekas Uni Soviet, Cekoslovakia, dan Cina. Beberapa ahli partikelir dari Eropa Barat dan Jepang juga membantu Suriah.
Pada pertengahan 1990-an, Suriah sukses membuat VX, bahan kimia paling beracun. VX terdiri dari dua zat terpisah yang bergabung ketika menyentuh tanah dan racunnya tidak lenyap dalam waktu singkat. Cara pembuatannya diajarkan oleh Jenderal Anatoly Kuntsevich, penasihat senjata kimia Presiden Rusia kala itu, Boris Yeltsin. Berkat hubungan baik kedua negara, Kuntsevich mulai menjalin kontak dengan para pejabat Suriah. Ia memperoleh banyak uang dari rezim Assad sebagai imbalan menyuplai peralatan dan mengajari Suriah membuat senjata kimia.
Pada 1998, Mossad mengetahui "perselingkuhan" Kuntsevich dengan pemerintah Suriah. Ehud Barak, Perdana Menteri Israel kala itu, mencoba memperingatkan Moskow tentang kiprah jenderal ini, tapi gagal. Pada 3 April 2002, Kuntsevich tewas misterius dalam penerbangan dari Damaskus ke Moskow. Suriah yakin Mossad bertanggung jawab.
Intelijen Amerika dan Israel telah lama bermitra. Menurut Jenderal Uri Sagi, informasi yang dikumpulkan oleh agen rahasia kedua negara, khususnya oleh Unit 8200 (korps intelijen Israel yang bertanggung jawab mengumpulkan sinyal intelijen dan kode dekripsi) selalu bernilai tinggi bagi Amerika. Sebuah memo sangat rahasia yang baru-baru ini diungkap Guardian menunjukkan National Security Agency (NSA)—agen penyadapan Amerika—meneruskan data mentah penyadapan kepada Unit 8200.
Unit 8200 adalah legenda. Dalam Perang Enam Hari 1967, Israel berhasil mengalahkan Suriah dan Mesir dengan telak dan kilat. Keberhasilannya sebagian besar berkat informasi berkualitas tinggi Unit 8200.
Unit ini pula yang memergoki kunjungan rahasia Perdana Menteri Korea Utara ke Damaskus pada Maret 1990. Inilah yang menjadi cikal-bakal kepemilikan Suriah atas rudal Scud—yang kemudian diberi hulu ledak senjata kimia. Setahun kemudian, kiriman pertama dari 30 rudal yang dipesan dikapalkan ke Pelabuhan Lataka. NSA mengetahui pengiriman ini, tapi tak menginformasikannya ke Tel Aviv karena khawatir Israel memicu kekacauan di Timur Tengah.
Mossad juga punya informasi tentang pengiriman Scud ini. Agen dari divisi Caesarea, yang dilatih khusus menembus negara-negara Arab, menunggu kapal itu di Maroko. Dua intel Mossad yang menyamar sebagai turis menyelam di bawah kapal dan menempelkan alat pemancar sinyal telekomunikasi. Dengan sinyal itu, jet tempur F-15 Israel bisa meluncurkan rudal untuk menghancurkan kapal, tapi Perdana Menteri Yitzhak Shamir membatalkan operasi itu karena khawatir akan memicu kekacauan besar di Timur Tengah, mengingat saat itu sedang berlangsung Perang Teluk.
Salah seorang agen mengatakan, jika saat itu Israel mengebom kapal pengangkut Scud tersebut, Israel menggagalkan Suriah mengembangkan rudal—setelah belajar di Korea Utara, Suriah kemudian mampu membuat rudal sendiri. "Dan sekarang kami tidak terancam oleh segudang rudal yang dapat menyerang setiap tempat di Israel dengan zat kimia," ujarnya.
Telah lama Israel menganggap Suriah sebagai musuh utama. Kedua negara itu empat kali terlibat perang, yakni pada 1948, 1967, 1973, dan 1982. Sagi mengatakan Suriah adalah ancaman serius bagi Israel. "Sehingga investasi sumber-sumber intelijen kami untuk itu besar," kata Sagi, yang menjadi kepala intelijen militer Israel pada 1991-1995 dan penasihat khusus kepala staf IDF pada 2006-2010.
Dari informasi intelijen Israel dan Amerika, sepertinya bisa dipastikan benar ada senjata kimia di Suriah. Masalahnya, sekali lagi, laporan intelijen siapa yang dijadikan Obama sebagai acuan untuk menyerang Suriah.
Sapto Yunus (Foreign Policy, The Guardian, Newsday, Infowars)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo