Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilik waralaba Starbucks di Timur Tengah pada Selasa mengakui bahwa mereka telah mulai memecat sekitar 2.000 pekerja di kedai kopinya di seluruh wilayah tersebut. Langkah ini dilakukan setelah merek tersebut menjadi sasaran boikot selama genosida Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza sejak 7 Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alshaya Group yang berbasis di Kuwait, sebuah perusahaan swasta yang memegang hak waralaba untuk berbagai perusahaan Barat termasuk The Cheesecake Factory, H&M dan Shake Shack, mengeluarkan pernyataan yang mengakui pemecatan di lokasi mereka di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sebagai akibat dari kondisi perdagangan yang terus menantang selama enam bulan terakhir, kami telah mengambil keputusan yang menyedihkan dan sangat sulit untuk mengurangi jumlah rekan kerja di gerai Starbucks MENA kami,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Alshaya kemudian membenarkan pihaknya memecat sekitar 2.000 karyawan, seperti yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters. Banyak pekerjanya di negara-negara Teluk Arab adalah pekerja asing yang berasal dari negara-negara Asia.
Alshaya menjalankan sekitar 1.900 cabang Starbucks di Bahrain, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Maroko, Oman, Qatar, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab. Perusahaan tersebut telah mempekerjakan lebih dari 19.000 staf, menurut perusahaan yang berbasis di Seattle. PHK ini mewakili lebih dari 10 persen stafnya.
Sejak awal perang pada 7 Oktober, Starbucks bersama sejumlah merek-merek Barat lainnya yang menjadi sasaran para aktivis pro-Palestina karena perang tersebut. Perusahaan ini menyebut apa yang digambarkannya sebagai “informasi palsu dan menyesatkan yang terus-menerus dibagikan tentang Starbucks” yang disebarkan secara online.
“Kami tidak punya agenda politik,” kata Starbucks. “Kami tidak menggunakan keuntungan kami untuk mendanai operasi pemerintah atau militer di mana pun – dan tidak pernah melakukannya.”
Kendati demikian pada Oktober, Starbucks menggugat Workers United, yang telah mengorganisir pekerja di setidaknya 370 toko Starbucks di AS atas pesan pro-Palestina yang diposting di akun media sosial serikat pekerja.
Starbucks mengatakan pihaknya berusaha membuat serikat pekerja tersebut berhenti menggunakan nama dan kemiripannya, karena postingan tersebut juga menuai protes dari para demonstran pro-Israel. Para pemboikot juga merasa perusahaan tersebut tidak memberikan dukungan yang memadai terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Pendapatan Starbucks naik 8 persen ke rekor US$9,43 miliar untuk periode Oktober hingga Desember. Namun angka tersebut lebih rendah dari perkiraan analis sebesar US$9,6 miliar, kemungkinan besar karena boikot aktivis.
Starbucks bukan satu-satunya merek yang menjadi sasaran para aktivis perang. Yang lain menyerukan boikot terhadap McDonald's setelah pemegang waralaba lokal di Israel mengumumkan pada Oktober bahwa mereka menyediakan makanan gratis kepada tentara Israel meski membantai 30.700 warga Palestina di Gaza, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.
Pilihan Editor: Boikot Berhasil, Penjualan McDonald's dan Starbucks Turun
CHANNEL NEWSASIA