Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari St Petersburg dengan Perang

Konflik Suriah mendominasi agenda pertemuan puncak pemimpin Kelompok 20. Presiden Putin dan Obama makin berseberangan.

16 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDAR Udara Pulkovo, Saint Petersburg, Rusia, pada pengujung musim panas, Kamis dua pekan lalu, tampak lengang ketika pesawat Garuda Airbus A330-300 yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan mendarat mulus. Hanya dua puluhan langkah dari pesawat, deretan mobil, puluhan petugas protokol, dan pasukan pengamanan presiden siap mengantar rombongan menuju pusat kota, melewati gedung-gedung kuno di kota tua yang dulu bernama Leningrad itu. Konvoi berhenti di Grand Emerald Hotel, tempat Yu­dhoyono menginap.

Setelah jeda sejenak untuk makan siang, petugas protokol mengingatkan Presiden akan memberikan entry briefing kepada semua delegasi resmi. Dipimpin Presiden Yudhoyono, hadir dalam pertemuan di Ruang Amethyst itu Duta Besar RI untuk Rusia, Djauhari Oratmangun; Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa; Menteri Keuangan M. Chatib Basri; Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar; Menteri Perdagangan Gita Wirjawan; Menteri Perindustrian M.S. Hidayat; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi; serta sejumlah pejabat lain.

Dari unsur pengusaha ada juga yang diundang. Selain Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Suryo B. Sulisto, ada Ketua Komite Ekonomi Nasional Chairul Tanjung dan pengusaha Peter F. Gontha. Dua politikus dari Dewan Perwakilan Rakyat plus tujuh pemimpin redaksi media nasional juga diajak nimbrung, termasuk Tempo. "Saya ingin Saudara-saudara memastikan bahwa intervensi saya dalam pertemuan puncak ini sungguh berarti, tajam, fokus, dan didengar kepala negara lainnya," ujar Presiden Yudhoyono mengantar rapat terbatas itu.

Menteri Chatib Basri dan wakilnya menguraikan panjang-lebar peta situasi pertemuan pendahuluan di konferensi tingkat tinggi G-20 yang kedelapan—berlangsung pada 5 dan 6 September 2013—itu. Setelah menimbang masukan para pembantu dan stafnya, Presiden lalu berkomentar bahwa fokus perhatian dunia pastilah pada Presiden Vladimir Putin selaku tuan rumah dan tentunya Presiden Amerika Serikat Barack Obama. "Meski sejatinya membahas pelbagai masalah ekonomi global, penciptaan lapangan kerja, pajak korporasi, dan krisis keuangan, masalah Suriah otomatis akan mendominasi persidangan," kata Wakil Menteri Mahendra Siregar. Yudho­yono menambahkan, panggung acara pasti akan terfokus pada Putin dan Obama.

Benar, di media center, tempat ribuan jurnalis berkumpul meliput sidang, layar televisi menayangkan wawancara khusus Presiden Putin dengan Associated Press. Putin menyesalkan keputusan Obama yang membatalkan secara sepihak pertemuan di antara mereka yang seharusnya berlangsung sebelum forum G-20. Staf Putin bidang urusan luar negeri menegaskan, kedua kepala negara adidaya ini tak dijadwalkan bertemu khusus, meski sangat mungkin mereka berdiskusi mengenai masalah Suriah di sela-sela acara. "Terkadang satu dari kami menjadi kesal, tapi saya ingin mengatakan sekali lagi bahwa kami sama-sama memiliki keinginan yang baik untuk mencari solusi dalam mengatasi persoalan yang terkadang membuat kami berseberangan," ujar Putin dalam wawancara khusus di Moskow.

Presiden Obama, yang sedang melawat ke Stockholm, Swedia, menyahut seruan Putin. Ia mengatakan hubungannya dengan Rusia telah "melewati batas", tapi masih yakin kedua negara dapat bekerja sama mengatasi masalah Suriah. Obama yakin ada prospek mengubah posisi Rusia terkait konflik Suriah dengan menghadiri forum prestisius di ibu kota lama Rusia sebelum pindah ke Moskow itu. "Apakah saya kehilangan harapan bahwa Putin mungkin akan mengubah posisinya terkait dengan masalah Suriah? Saya selalu berharap dan akan terus mengajaknya," kata Obama. Keduanya sempat berjumpa pada pertemuan G-8 di resor golf Lough Erne di Irlandia Utara, Juni lalu, tapi berlangsung sangat kaku.

Rusia, pemasok utama senjata sekaligus sekutu penting Suriah, bersama Republik Rakyat Cina sudah menjatuhkan veto atas tiga resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan menghukum Presiden Bashar al-Assad. Presiden Obama­ mengatakan kredibilitas masyarakat­ internasio­nal dipertaruhkan jika dugaan serangan senjata kimia oleh pemerintah Suri­ah terhadap rakyatnya tidak ditanggapi. Ber­bicara pada sebuah konferensi pers di Stock­holm dengan Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt, Obama mengatakan ia tidak menetapkan garis merah itu tanpa adanya persetujuan negara-negara besar dunia yang sepakat dengan perjanjian menentang penggunaan senjata kimia. Sedangkan posisi negara pemegang veto lainnya, Prancis dan Inggris, berada satu kubu dengan Amerika.

Presiden Putin mengeluarkan pernyataan mengenai Suriah yang mungkin dapat meningkatkan ketegangan sebelum ia menjamu Obama dan para pemimpin G-20 lain. Rabu dua pekan lalu, dia mengatakan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry berbohong ketika menyebutkan oposisi Suriah telah semakin disusupi Al-Qaidah. Putin juga menyatakan Kongres Amerika bisa dikatakan menyetujui agresi kalau mengesahkan serangan Amerika terhadap Suriah tanpa dukungan Dewan Keamanan PBB.

Meski tak bertemu khusus, Putin dan Obama memang berjabat tangan. Hal itu terjadi ketika mobil khusus Cadillac yang ditumpangi Obama mendapat giliran ke-33 diterima Putin di teras Istana Konstantinovsky—setelah itu disusul dengan Presiden Yudhoyono. Mereka juga berjabat tangan di sela-sela acara sesi pleno, jamuan makan malam di Museum Peterhof. Ketegangan antara Amerika-Rusia, selain dipicu krisis Suriah, lantaran keputusan Moskow memberikan suaka kepada pembocor data intelijen Amerika, Edward Snowden, padahal ­Washington meminta buron itu ­diekstradisi.

Presiden Yudhoyono tampak gundah menyaksikan situasi genting ini. "Ini jelas berbahaya. Armada perang Amerika dan Rusia sama-sama merapat di Laut Tengah, jangan sampai terjadi Perang Dunia Ketiga," ucapnya kepada pers di atas langit St Petersburg saat terbang menuju Dubai. Yudhoyono, yang duduk di sesi pleno hari pertama, Kamis dua pekan lalu, tak jauh dari Presiden Putin dan diapit Presiden Obama serta Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr, mengaku paham betul "suasana batin" presiden yang dia sebut kawan dekatnya itu. "Saya tahu Obama pasti dalam tekanan," katanya.

Tak tinggal diam, Yudhoyono lalu berinisiatif ikut mengusulkan jalan damai untuk Suriah. Ia mengusulkan penyelesaian Suriah harus dengan mandat PBB. "Perlu mendatangkan kekuatan militer hanya untuk melucuti, cukup dengan chapter enam plus, yakni digelar pasukan bersenjata untuk perdamaian. Indonesia siap jika diperlukan untuk mengirim pasukan perdamaian di Suriah," ujarnya berapi-api. Ide ini dia sampaikan saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di St Petersburg, Jumat dua pekan lalu, yang didampingi Lakdar Brahimi, utusan khusus PBB untuk Timur Tengah, dan Jeffrey Sachs, ekonom Amerika. Saat transit di Dubai, Presiden Yudhoyono meneken surat jalan damai yang khusus dia kirimkan buat Lakdar Brahimi hingga Presiden Bashar al-Assad. "Pastikan surat itu sampai. Usahakan ke Damaskus juga sampai," katanya kepada Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, yang menyiapkan langsung konsep surat dengan laptopnya.

Wahyu Muryadi (St Petersburg)


Istana Putin di Teluk Finlandia

Pertemuan puncak para kepala negara Kelompok 20 dipusatkan di Strelna, Distrik Petrodvortsovy, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Saint Petersburg. Kawasan ini dikenal sebagai kompleks taman yang asri dan di situlah, di selatan Teluk Finlandia, berdiri megah Istana Konstantinovsky—kadang kala juga disebut Istana Putin—yang didirikan Tsar Peter Yang Agung pada 1720 sebagai duplikasi dari Versailles-nya Rusia. Saking indahnya, St Petersburg lantas dijuluki Ibu Kota Utara Rusia dan Venice of the North.

Rusia mengeluarkan dana sangat banyak untuk penyelenggaraan kenduri besar para pemimpin dunia yang kedelapan ini. Pemerintah menyiapkan anggaran lebih dari 6 miliar rubel (sekitar US$ 2 juta). Ada tambahan 2 miliar rubel untuk pembangunan jalan raya baru yang menghubungkan Bandar Udara Pulkovo dengan Istana Constantine (Konstantinovsky), Strelna, yang akan menjadi lokasi penyelenggaraan konferensi. Untuk menuju pusat liputan media, para jurnalis harus menaiki speedboat meteor, yang biasa dipakai para turis, sekitar 30 menit dari dermaga St Petersburg.

Istana ini pernah menjadi tempat tinggal para bangsawan Dinasti Romanov. Pada 1797, istana ini menjadi tempat tinggal Grand Duke Constantine, yang merupakan asal nama istana. Ketika Revolusi 1917 pecah, berbagai koleksi istana, termasuk koleksi lukisan abad ke-18 hingga abad ke-20, dan buku menjadi tersebar di berbagai museum. Sedangkan barang-barang lain tidak pernah ditemukan lagi.

Pada Perang Dunia Kedua, istana ini rusak parah akibat pengeboman. Setelah lama terbengkalai, Strelna diberi status World Heritage Site oleh UNESCO pada 1990. Pemerintah Rusia lalu melakukan renovasi besar-besaran untuk mengembalikan keindahan dan kemegahan Istana Konstantinovsky. Hasil dari renovasi itu adalah penambahan beberapa gedung, termasuk hotel bintang lima Baltika Zvezda (Bintang Baltik), sebuah press center internasional, dan 20 vila besar di tepi laut yang akan dijadikan tempat istirahat para kepala negara peserta pertemuan puncak.

WMU (St Petersburg)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus