Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Demokrasi Di Ujung Bayonet

Reagan dan perangkat pemerintahannya memasuki gedung putih 1980, dengan tujuan menyembuhkan as dari apa yang dinamakan "sindrom vietnam". (ln)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sebuah konperensi pers, tiga bulan lalu, Ronald Reagan ditanya apakah ia ingin AS memainkan peranan "polisi" di seantero dunia. Sang presiden menjawab, "tidak." Tapi, beberapa saat kemudian, seraya menyinggung keamanan jalur pelayaran dan sumber-sumber strategis mineral dan minyak bumi, Reagan tampak bergeming. "Peranan AS ialah menyadari ancaman yang makin luas," katanya. Sejak Perang Dunia II usai, salah satu tujuan dasar AS ialah membendung pengaruh Uni Soviet di seluruh dunia. Reagan menerjemahkan tuJuan itu dengan itikad "menumpas ancaman". Dan, seperti dikatakannya, "dunia sudah berubah. Sekarang, keamanan nasional kita bisa terancam di negeri jauh." Bila berbicara tentang "ancaman", Reagan memang tidak bermaksud lain kecuali menegaskan sikap antikomunisnya yang sudah berkibar sejak awal. Dan politik luar negeri yang bertolak dari kesadaran seperti ini memang tidak bisa dipisahkan dari peragaan kekuatan. Di sini, agaknya,' pendapat Mc George Bundy, penasihat keamanan nasional kepresidenan pada masa Perang Vietnam, menjadi sah. "Hakikat semua masalah luar negeri," katanya, "ialah hubungan antara kebijaksanaan dan kekuatan militer." Reagan dan perangkat pemerintahannya memasuki Gedung Putih, 1980, dengan tujuan menyembuhkan AS dari apa yang dinamakan "sindrom Vietnam". Tapi, perkembangan keadaan selama tiga tahun terakhir makin mengisyaratkan keterlibatan negeri itu ke dalam urusan yang berbahaya. Libanon, Amerika Tengah, Karibia, bahkan Eropa, berkembang menjadi titik-titik rawan, tempat kebijaksanaan luar negeri Reagan mengalami ujian berat. Apalagi setelah pengeboman maut di Beirut, 16 Oktober. Sam Gibbons, tokoh Partai Demokrat dari Florida, akhir bulan lalu berseru di Kongres, "Libanon adalah Vietnamnya Reagan." Hingga awal minggu ini, tidak kurang dari 468.309 serdadu AS - 26.294 di antaranya marinir - bertugas di luar tanah air. Jumlah ini belum termasuk awak sebelas kapal induk, antara lain, Independence, Eisenhower, dan Ranger. Menurut taksiran kasar, seluruh tentara AS yang bermarkas di negeri orang mendekati 800 ribu - hampir delapan kali jumlah penduduk Grenada. Ke dalam jumlah itu masih harus ditambahkan 56 penasihat militer di El Salvador, 91 kapal selam tempur di Atlantik dan Pasifik, unit-unit amfibi marinir di Eropa, Laut Tengah, Samudra Hindia, serta 161 kapa perang di berbagai kawasan. Kemudian, 31, pesawat terbang tempur di Korea Selatan Jepang, dan Filipina. "Kegemaran pemerin tahan Reagan mengirimkan orang dan material ke seluruh dunia sungguh mencengangkan," tulis majalah Time. Di mata sejumlah pengamat, kegagalan politik luar negeri pemerintahan Reagan justru bersumber pada tiadanya kebijaksanaan "Reagan dan para pembantunya," tulis William Pfaff di harian International Herala Tribune, "tidak memiliki pengertian yang sungguh-sungguh dan konsep menyeluruh terhadap hubungan internasional. Ada sebuah kelakar bahwa para pejabat tinggi departemen luar negeri AS tidak mengetahui bentuk pemerintahan di Burma sebelum menghubungi kelompok ahli yang bertugas di seksi Asia kantor itu .... Bagi perangkat pemerintahan Reagan, semua gejolak di segala tempat mendapat stempel yang sama. Sandinista di Nikaragua, pembunuhan terhadap Maurice Bishop di Grenada, perlawanan kelompok Syiah di Beirut - semuanya mengacu kepada kepemimpinan Moskow. "Amerika Serikat," menurut seorang pengamat, "makin sulit dimengerti, baik oleh seteru maupun sekutunya." Ada tiga perangkap yang diperkirakan bakal menjebak politik luar negeri Reagan. Pertama, pernyataannya untuk tidak bakal mundur dari Libanon. Sikap seperti inilah, di masa lampau, yang mendahului Perang Vietnam. Kedua, pernyataan Reagan untuk "menegakkan lembaga-lembaga demokrasi di Grenada." Menurut Senator Daniel P. Moynihan, janji demokrasi "di ujung bayonet" hanya akan mengesahkan cap "imperialis" di wajah AS. Ketiga, keberanian Reagan membuka front baru di Karibia, sementara peranannya di Amerika Tengah dan Libanon masih keteteran. "Ujian janka panjang bagi Amerika, " tulis The New ork Times, "bukanlah keinginan untuk mengunakan kekuatan, melainkan keterampilan menghindari penggunaan kekuatan itu." Namun, sang presiden bukan tokoh yang mudah terpengaruh. Ia, menurut seorang pejabat Gedung Putih, tidak memerlukan keterangan terperinci untuk mengambil tindakan besar. Di pangkalan marinir Cherry Point, Carolina Utara, Jumat lalu, Reagan mengulangi tekadnya dalam upacara menghormati korban pengeboman di Beirut. Ia menyatakan siap menggunakan kekuatan "untuk mencegah umat manusia tenggelam dalam samudra tirani". Dalam sebuah wawancara di Washington ia bahkan berkata, akan mengambil langkah seperti invasidi Grenada, di mana saja, "bila kondisinya memang sama."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus