Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa Mahasiswa di Amerika Marak Berdemonstrasi Membela Palestina?

Mengapa demonstrasi mahasiswa yang menentang serangan Israel ke Gaza menyebar di berbagai kampus di Amerika Serikat? 

5 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua pekan puluhan tenda berbagai warna memenuhi lapangan rumput di depan Butler Library, perpustakaan terbesar di Columbia University, kampus elite di Kota New York, Amerika Serikat. Bendera-bendera Palestina berkibar di beberapa puncak tenda. Poster yang mengecam Israel bertebaran di area perkemahan. Sebuah plakat bertulisan “PRO-PALESTINE ANTI-HATE/PRO-LIBERATION ≠ ANTI-SEMITISM” tergantung di sebuah pagar yang mengelilingi perkemahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan mahasiswa ikut serta dalam “Perkemahan Solidaritas Gaza” ini, yang menjadi episentrum demonstrasi mahasiswa menentang Israel di seantero Amerika. Mereka menuntut kemerdekaan Palestina dan gencatan senjata permanen di Gaza, selain meminta kampus menghentikan investasinya di Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami di sini karena tidak setuju dengan pembersihan etnis oleh Israel, agresi Israel, kebijakan apartheid Israel terhadap masyarakat Palestina,” kata Danny Shaw, alumnus Columbia University dan profesor studi Amerika Latin dan Karibia di City University of New York yang berdiam di salah satu tenda, kepada Tempo pada Jumat, 26 April 2024.

Shaw menilai Amerika bersama negara-negara Barat lain telah mendukung Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. “Itulah mengapa kami, para profesor, mahasiswa, staf, ada di sini. Kami melawan dengan perkemahan karena kami percaya pada keadilan dan kesetaraan bagi semua orang. Kami melawan genosida,” ujarnya.

Perkemahan ini digelar oleh koalisi organisasi mahasiswa di kampus tersebut, terutama Columbia University Apartheid Divest (CUAD), Students for Justice in Palestine-Columbia, dan Columbia-Barnard Jewish Voice for Peace. CUAD adalah koalisi 89 organisasi mahasiswa di berbagai bidang di kampus itu.

Para demonstran berasal dari berbagai kalangan, seperti kaum muslim, Yahudi, Arab, dan Kristen. Ada pula yang berasal dari Asia Tenggara seperti Indonesia. “Teman-teman mahasiswa Yahudi bahkan merayakan Paskah Yahudi di dalam perkemahan, sementara teman-teman muslim juga salat di situ. Itu indah sekali,” ucap Adi, mahasiswa magister hubungan internasional di School of International and Public Affairs, Columbia University, yang memasok logistik untuk perkemahan ini. Paskah Yahudi atau Passover adalah hari raya keagamaan Yahudi untuk memperingati keluarnya bangsa Israel dari Mesir dan tahun ini jatuh pada 23 April.

Menurut Adi, demonstrasi menentang Israel sebenarnya intens terjadi di kampusnya sejak Israel menyerang Gaza sebagai respons atas serangan dan penyanderaan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. “Secara berkala terus ada demonstrasi. Rutin, lah. Skalanya relatif. Kadang banyak sekali pesertanya. Yang tenda ini memang baru,” katanya kepada Tempo pada Jumat, 26 April 2024.

Tenda ini mulai berdiri pada 17 April 2024, saat Rektor Columbia University Nemat “Minouche” Shafik dipanggil dalam rapat dengar pendapat Komisi Pendidikan dan Tenaga Kerja Kongres Amerika, yang sedang menyelidiki tuduhan bahwa kampus-kampus utama di negeri itu gagal melindungi mahasiswa dan stafnya dari merebaknya sentimen anti-Semitisme. Rektor University of Pennsylvania, Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) juga dipanggil.

Virginia Foxx, ketua komisi Kongres tersebut, menyebut Columbia sebagai salah satu “kasus terburuk anti-Semitisme”. Anggota Partai Republik itu mengutip antara lain pamflet “From the river to the sea, Palestine will be free” yang sering muncul dalam unjuk rasa. Bagi demonstran, pamflet itu hanya merujuk pada kawasan Palestina dahulu. Tapi, bagi American Jewish Committee, organisasi global yang mengadvokasi masyarakat Yahudi, “Itu menyerukan pembentukan negara Palestina dari Sungai Yordania hingga Laut Mediterania dan menghapus negara Israel dan rakyatnya.”

Mahasiswa Yahudi dilaporkan merasa terancam oleh sejumlah narasi anti-Yahudi dalam demonstrasi. Elie Buechler, rabi Yahudi dan Direktur Orthodox Union-Jewish Learning Initiative on Campus di Columbia University, menilai kondisi belakangan ini menunjukkan bahwa kampus dan polisi tak dapat menjamin keselamatan mahasiswa Yahudi.

“Saya sangat merekomendasikan kalian pulang ke rumah sesegera mungkin dan tetap di rumah sampai keadaan di dan sekitar kampus berubah secara dramatis,” tulisnya dalam grup percakapan beranggotakan lebih dari 290 mahasiswa Yahudi, sebagaimana diungkap Spectator, pers mahasiswa Columbia, pada 22 April 2024.

Banyak mahasiswa Yahudi di Columbia dan sejumlah kampus tenar lain. Hillel International, organisasi kampus Yahudi internasional, mencatat 10-25 persen mahasiswa tingkat sarjana di kampus-kampus Amerika adalah penganut Yahudi. Mereka tersebar antara lain di Columbia University sebanyak 1.500 orang (23 persen), Harvard University 700 orang (10 persen), dan Yale University 800 orang (12 persen).

Shafik tampaknya mendapat tekanan besar setelah disidang Kongres. Esoknya, dia menghubungi Departemen Kepolisian New York (NYPD). Ratusan polisi NYPD kemudian masuk kampus, membubarkan kemah, dan menahan 108 demonstran. Shafik juga menskors tiga mahasiswa, termasuk Isra Hirsi, putri Ilhan Omar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika.

Mahasiswa dan tenaga pengajar berdemonstrasi mendukung warga Palestina di Columbia University, New York City, Amerika Serikat, 25 April 2024. Reuters/Caitlin Ochs

Mahasiswa Columbia tidak jera dan kembali menegakkan tenda. Kampus-kampus lain pun turut membentangkan tenda solidaritas Palestina atau berunjuk rasa. Lebih dari 25 kampus telah bergabung dalam gerakan besar menentang Israel ini, termasuk Harvard University, Yale University, New York University, Ohio State University, Washington University di St. Louis, University of Southern California, Cornell University, dan MIT. Seperti Shafik, banyak otoritas kampus yang menskors para aktivis dan memanggil polisi untuk membubarkan demonstrasi dan menangkapi mahasiswa.

Menurut Adi, mahasiswa Columbia menuntut kampus mencabut skors bagi para mahasiswa yang ikut demonstrasi. “Mahasiswa juga meminta kampus menghentikan investasi dari kegiatan pendanaan yang keuntungannya digunakan untuk mendanai apartheid Israel dan menghentikan hubungannya dengan kampus-kampus di Israel. Apalagi media melaporkan bahwa hari ini sudah tidak ada lagi universitas di Gaza karena dihancurkan oleh Israel.”

Columbia University memang dekat dengan Israel. CUAD mencatat Columbia punya saham di sejumlah perusahaan yang berbisnis di Israel. Menurut ProPublica, organisasi jurnalis investigasi, Columbia memiliki saham di berbagai perusahaan senilai US$ 7,1 miliar atau Rp 27,5 triliun lebih pada 2022, di antaranya saham Amazon sebesar US$ 42.000, Microsoft US$ 69.068, dan Alphabet, yang dikenal sebagai Google, sebanyak US$ 53.238. 

Menurut CUAD, Kementerian Pertahanan Israel menggunakan Azure—layanan komputasi awan Microsoft—untuk Al Munasiq, aplikasi telepon seluler yang dapat mengakses identitas, lokasi, pesan, file yang diunduh, dan kamera pengguna. Aplikasi ini wajib digunakan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

Adapun Amazon dan Alphabet kebagian kontrak dari pemerintah Israel senilai US$ 1,2 miliar untuk Proyek Nimbus, infrastruktur komputer dan teknologi lain untuk pemerintah dan militer Israel. Teknologi ini dapat digunakan Israel untuk memata-matai dan menghimpun data warga Palestina secara tidak sah. Dua raksasa teknologi itu tak pernah mengakui hal tersebut, tapi Alphabet telah memecat 28 karyawannya yang memprotes proyek ini pada 18 April 2024.

CUAD menilai investasi Columbia di tiga perusahaan itu secara langsung atau tidak telah terlibat dalam surveilans ilegal terhadap warga Palestina, yang mereka nilai sebagai bentuk kebijakan apartheid Israel. Columbia juga membuka Columbia Global Center di Tel Aviv pada April 2023 yang memfasilitasi kerja sama di bidang pendidikan, selain punya program sarjana ganda (dual degree program) dengan Tel Aviv University, kesempatan bagi mahasiswa Columbia untuk belajar di Tel Aviv University, dan pertukaran mahasiswa.

Tuntutan CUAD soal penghentian investasi atau divestasi dari Israel ini bukan hal baru. Gerakan ini sebenarnya merupakan bagian dari gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi terhadap Israel (BDS) yang digalang aktivis Palestina pimpinan Omar Barghouti dan Ramy Shaat sejak 2005. BDS mendorong berbagai negara, lembaga, dan masyarakat di dunia memboikot dan menarik investasi dari Israel, khususnya yang berhubungan dengan militer Israel.

Di Columbia University, desakan divestasi itu ada setidaknya sejak 2002. Pada 2018, misalnya, Student Government Association of Barnard College, senat mahasiswa Barnard College, sekolah tingkat sarjana khusus perempuan di Columbia, menggelar pemungutan suara dan 64,3 persen pemilih setuju kampus menghentikan investasinya di delapan perusahaan yang berhubungan dengan Israel. Pada 2020, Columbia College, sekolah tingkat sarjana, menggelar referendum dan hasilnya 61 persen lebih mahasiswa setuju terhadap divestasi.

“Sebagai pembayar pajak, sebagai warga Amerika, kami terus berjuang untuk mengatakan bahwa uang pajak itu harus diinvestasikan untuk komunitas kami, untuk pendidikan kami. Mengapa bermiliar-miliar dolar diinvestasikan untuk genosida?” tutur Danny Shaw. “Ini tak dapat diterima.”

Otoritas kampus umumnya mengabaikan seruan kemanusiaan mahasiswa ini dan sibuk mempersoalkan ujaran anti-Semit. Menurut Adi, tak dimungkiri bahwa sebutan anti-Semit kadang muncul di tengah aksi massa, terutama dari demonstran di luar pagar kampus, yang bukan di bawah koordinasi mahasiswa. Namun hal itu menjadi dasar bagi otoritas kampus untuk menskors atau memecat dosen yang terlibat demonstrasi. Beberapa di antara mereka adalah Jairo Fúnez-Flores, dosen di Texas Tech University; John Strauss, pengajar University of Southern California; dan Danny Shaw, yang diberhentikan dari John Jay College of Criminal Justice di New York.

“Mereka memecat kami, para profesor. Saya dipecat bulan lalu. Saya jadi profesor sudah 18 tahun di tingkat universitas. Mengapa mereka memecat saya? Karena saya mengatakan bahwa Palestina punya hak untuk eksis,” ucap Shaw.

Danny Shaw dituduh anti-Semit, label menakutkan di Amerika yang mirip dengan cap komunis di Indonesia. “Kata-kata kami, percakapan kami, cuitan kami, siapa saja yang kritis terhadap Israel dapat dipecat kapan saja. Semua orang menyebut hal ini McCarthyisme 2.0,” ujar Shaw.

McCarthyisme merujuk pada kebijakan pemerintah Amerika yang diprakarsai Senator Joseph R. McCarthy pada 1940-1950-an, yang mempersekusi siapa saja yang dianggap komunis. Akun media sosial Shaw juga dibanjiri cacian dan ancaman. “Amerika Serikat mengatakan bahwa kami punya kebebasan berbicara dan kebebasan akademik, tapi kita dapat melihat itu semua bohong.”

Menurut Shaw, protes ini diikuti ratusan orang, termasuk mahasiswa, dosen, dan staf kampus. “Kadang kala hanya beberapa ratus orang bila suhu udara menjadi sangat dingin di malam hari, tapi kami terus membesar,” katanya. “Bagi kami, ini seperti gerakan Columbia University pada 1985 melawan rezim apartheid di Afrika Selatan.”

Gerakan mahasiswa Columbia University punya sejarah panjang. Pada 1985, mahasiswa berdemonstrasi menolak investasi kampus di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Afrika Selatan di bawah rezim apartheid. Setelah demonstrasi berjalan selama hampir sebulan, kampus akhirnya menghentikan investasi yang berhubungan dengan Afrika Selatan.

Di akun Instagram mereka, CUAD juga mengunggah foto demonstrasi mahasiswa Columbia pada 1968. Saat itu mahasiswa menduduki Hamilton Hall, gedung administrasi kampus, sebagai protes atas keterlibatan kampus dalam menyokong campur tangan Amerika dalam Perang Vietnam.

Mereka juga menolak rencana pembangunan gimnasium baru yang desainnya diskriminatif karena membuat jalur masuk yang berbeda bagi kaum kulit hitam dan kulit putih. Kampus akhirnya menghentikan rencana pembangunan itu dan untuk pertama kalinya membentuk senat universitas, yang beranggotakan perwakilan dosen, mahasiswa, dan alumni.

Gerakan itu kini kembali bergema karena salah satu tuntutan mahasiswa Columbia saat ini adalah penghentian perampasan tanah, baik di Harlem maupun Palestina. “Hentikan perluasan, berikan pemulihan, dan dukung perumahan bagi penduduk Harlem yang berpenghasilan rendah. Tidak ada pembangunan yang dilakukan Columbia tanpa kontrol nyata dari masyarakat,” tulis CUAD.

Saat dulu hendak membangun gimnasium, Columbia telah menggusur lebih dari 700 penduduk Harlem, yang 85 persen di antaranya orang Afrika-Amerika atau Puerto Riko. Namun pendudukan Israel di Palestina jauh lebih mengerikan. Setelah memproklamasikan diri sebagai negara pada 1948, Israel mengusir sedikitnya 750 ribu warga Palestina, membunuh 15 ribu orang, dan menghancurkan sekitar 530 desa dan kota—peristiwa yang disebut Nakba atau bencana.

Setelah itu, rezim Israel terus membangun permukiman baru dan mengundang kaum Yahudi untuk menempatinya, meskipun komunitas internasional menyerukan penghentian kebijakan ini. Kini, menurut Al Jazeera, ada hampir 8 juta warga Palestina menjadi pengungsi.

Nemat Shafik rupanya gerah terhadap demonstrasi mahasiswa ini. Ketika demonstran menduduki Hamilton Hall, yang tak jauh dari perkemahan mereka, Shafik kembali mengundang NYPD. Personel NYPD menyerbu kampus pada Selasa malam, 30 April 2024. “Kemah dibubarkan. Mahasiswa ditangkap. Banyak sekali polisi yang dikerahkan, seribuan mungkin,” ucap Adi pada Rabu, 1 Mei 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Protes Gaza dari Columbia".

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus