Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Derita Pengungsi Rohingya Difilmkan dalam Lost at Sea

Dokter Lintas Batas meluncurkan film animasi pendek mengenai kenyataan warga Rohingya ketika mencoba melarikan diri dari Myanmar.

2 Februari 2024 | 17.35 WIB

Anak-anak pengungsi Rohingya antre untuk mendapatkan makanan di tempat penampungan sementara di Sabang, Aceh, 8 Desember 2023. Ratusan pengungsi Rohingnya menempati area gudang pelabuhan yang dijadikan tempat penampungan sementara setelah mereka melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal kayu dan terdampar di Aceh. REUTERS/Riska Munawarah
Perbesar
Anak-anak pengungsi Rohingya antre untuk mendapatkan makanan di tempat penampungan sementara di Sabang, Aceh, 8 Desember 2023. Ratusan pengungsi Rohingnya menempati area gudang pelabuhan yang dijadikan tempat penampungan sementara setelah mereka melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal kayu dan terdampar di Aceh. REUTERS/Riska Munawarah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Dokter Lintas Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF) meluncurkan film animasi pendek berjudul “Lost at Sea”. Film ini menggambarkan kenyataan warga Rohingya ketika mencoba melarikan diri dari Myanmar dan mengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo



“Warga Rohingya hidup tanpa pemenuhan hak-hak mereka di Myanmar, hilang harapan di Bangladesh, dan berisiko ditangkap di Malaysia,” demikian keterangan Dokter Lintas Batas, Jumat, 2 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 
Film Lost at Sea berlatar belakang 2017 yang mengisahkan pengalaman Muhib, seorang laki-laki etnis Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar lalu melintasi laut untuk mencari suaka ke Malaysia. Muhib terombang-ambing selama lebih dari dua pekan di atas kapal nelayan di Laut Andaman bersama pencari suaka lainnya. 


 
“Warga etnis Rohingya yang bertahan di Myanmar dan mereka yang melarikan diri ke Bangladesh, sama-sama berjuang bertahan hidup,” kata direktur operasional regional MSF Paul Brockmann, yang menambahkan warga etnis Rohingya tidak punya tempat tujuan.

Menurut Brockmann, warga etnis Rohingya merasa tidak aman dan tidak diberikan hak-haknya di mana pun berada. Untuk itu, penting bagi komunitas internasional mengakui betapa parahnya krisis pengungsi Rohingya dan berupaya mencapai solusi jangka menengah yang bisa menyelamatkan mereka.


 
Sejak mengalami tindakan kekerasan dari militer Myanmar pada Agustus 2017, ratusan ribu warga etnis Rohingya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Mereka adalah etnis minoritas muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.


 
Meskipun sudah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, etnis Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis resmi dan tidak diberi kewarganegaraan sejak 1982. Kondisi ini menjadikan mereka populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.

 

Film “Lost at Sea” diproduksi oleh MSF dan Noon Films berbasis di Barcelona, Spanyol. Film ini menyabet beberapa penghargaan internasional antara lain Heroes International Film Festival (Heroes IFF) untuk kategori Best International Short Film dan MUSOC (Festival for Social Cinema and Human Rights, Asturias): 4th Chema Castiello Award untuk Best Short Film.

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini

Nabiila Azzahra

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menjadi reporter Tempo sejak 2023 dengan liputan isu internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus