Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Korea Selatan, Moon Jae In, menjadi tersangka dalam kasus suap terkait bantuannya kepada menantu laki-lakinya untuk mendapatkan posisi strategis di sebuah perusahaan maskapai penerbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status Moon Jae In terungkap dalam surat penggeledahan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Korea Selatan pada Jumat, 30 Agustus 2024. Penggeledahan tersebut dilakukan di rumah anaknya, Moon Da Hye. Status tersangka ini muncul usai mantan menantu Moon, yang disebut Seo, mendapat pekerjaan di maskapai penerbangan Easter Jet yang didirikan Lee Sang Jik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggerebekan di rumah anak Moon juga dilakukan setelah Kejaksaan Korea Selatan menerima laporan aduan terkait soal nepotisme, perekrutan Seo di Thai Eastar Jet pada 2020. Saat ini, Seo telah bercerai dengan Da Hye.
Menurut dokumen tuntutan pengadilan, Moon dan istrinya menafkahi keluarga putri mereka selama beberapa waktu. Namun, dukungan tersebut dihentikan setelah Seo mulai bekerja di Thai Eastar Jet.
Profil Moon Jae In
Moon Jae In, yang menjabat sebagai Presiden Korea Selatan dari 2017 hingga 2022, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah politik modern Korea Selatan. Sebelum menjadi presiden, Moon adalah pemimpin Partai Demokrat Korea yang liberal pada periode 2015-2016. Ia lahir pada 24 Januari 1953 di Pulau Geoje, provinsi Gyeongsang Selatan, dan dikenal sebagai seorang pengacara serta aktivis hak-hak sipil di Korea Selatan.
Moon Jae In adalah putra sulung dari Moon Yong-hyung dan Kang Han-ok, dari lima bersaudara. Keluarganya memiliki latar belakang yang penuh perjuangan, di mana orang tuanya melarikan diri dari Korea Utara saat Perang Korea, khususnya menjelang serangan musim dingin Cina pada tahun 1950.
Moon menempuh pendidikan di Universitas Kyung Hee, Seoul, pada tahun 1972. Di sana, ia terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa yang menentang rezim otoriter Presiden Park Chung-Hee. Aktivisme ini membuatnya dikeluarkan dari universitas dan bahkan sempat dipenjara. Namun, hal tersebut tidak menghentikan semangatnya untuk terus memperjuangkan demokrasi dan hak-hak sipil.
Setelah dikeluarkan dari universitas, Moon bergabung dengan militer Korea Selatan pada tahun 1975 dan bertugas sebagai komando pasukan khusus. Ia turut serta dalam Operasi Paul Bunyan pada Agustus 1976, sebuah operasi militer yang dilakukan setelah dua perwira AS dibunuh oleh pasukan Korea Utara di zona demiliterisasi (DMZ).
Setelah menyelesaikan dinas militernya pada 1978, dikutip dari laman Brittanica, Moon kembali melanjutkan studinya di Universitas Kyung Hee dan lulus dengan gelar sarjana hukum pada tahun 1980. Dua tahun kemudian, ia mendirikan praktik hukum di Busan bersama temannya, Roh Moo-Hyun. Mereka berdua fokus pada kasus-kasus hak sipil dan hak asasi manusia, termasuk membela serikat pekerja dan aktivis mahasiswa yang dianiaya oleh rezim Presiden Chun Doo-Hwan. Ketika demokrasi mulai pulih pada tahun 1987, Roh memasuki dunia politik, sementara Moon melanjutkan kariernya di bidang hukum.
Ketika Roh Moo-Hyun terpilih sebagai presiden pada Desember 2002, Moon diajak untuk bergabung dalam kabinetnya. Setelah Roh mulai menjabat pada Februari 2003, Moon diangkat sebagai sekretaris senior untuk urusan sipil, peran yang membuatnya dikenal sebagai "Bayangan Roh" karena pengaruhnya yang besar dalam pemerintahan.
Pada Maret 2004, ketika Roh menghadapi mosi pemakzulan, Moon menjadi bagian dari tim hukum yang membela Roh di Mahkamah Konstitusi. Berkat dukungan publik yang menentang pemakzulan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mendukung Roh pada Mei 2004. Selain itu, Moon juga membantu mendirikan Kompleks Industri Kaesong, sebuah zona perdagangan bebas yang dikelola bersama oleh Korea Utara dan Korea Selatan, sebagai bagian dari kebijakan "sinar matahari" yang diusung oleh Kim Dae-Jung.
Dikutip dari Forbes, Moon Jae In pertama kali terjun ke dunia politik elektoral pada tahun 2012 dengan memenangkan kursi di Majelis Nasional untuk distrik Sasang, Busan. Pada pemilihan presiden yang digelar pada Desember tahun yang sama, Moon menjadi kandidat Partai Demokrat Bersatu (DUP) dan bersaing melawan Park Geun-Hye, putri dari Park Chung-Hee. Meski kalah tipis, Moon tetap aktif dalam politik nasional.
Pada Februari 2015, ia diangkat sebagai ketua Aliansi Politik Baru untuk Demokrasi (NPAD), penerus DUP. Namun, pada tahun 2016, Moon memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali untuk kursi Majelis Nasionalnya.
Moon akhirnya terpilih sebagai Presiden Korea Selatan ke-12 pada Mei 2017, setelah pendahulunya, Park Geun-hye, dimakzulkan. Dalam masa jabatannya, Moon menyelenggarakan Olimpiade Musim Dingin di PyeongChang pada tahun 2018.
MYESHA FATINA RACHMAN I SITA PLANASARI I BRITANNICA I FORBES