Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam daftar tamu sejak awal sudah tercatat bakal hadir Pangeran Charles dan putranya, Pangeran Henry; Perdana Menteri Australia Tony Abbott; serta Perdana Menteri Selandia Baru John Key. Tamu-tamu kenegaraan lain menyusul kemudian. Acaranya, pada Jumat pekan lalu itu, adalah peringatan operasi militer di Semenanjung Gallipoli pada 1915-yang merupakan salah satu kemenangan besar Turki dalam Perang Dunia I. Tapi pelaksanaan kegiatan kenang-mengenang ini mengundang kontroversi.
Pertempuran di semenanjung itu dimulai pada 25 April 1915 dan baru berakhir pada 9 Januari 1916. Pasukan Turki (kala itu masih Kesultanan Utsmaniyah) berhasil mematahkan serbuan pasukan Inggris dan Prancis yang berupaya merebut Konstantinopel (kini Istanbul). Hingga tahun lalu, Turki merayakannya setiap 18 Maret dan 25 April. Pemindahan tanggal peringatan pada tahun ini, menjadi 24 April, dinilai sebagai manuver politik.
"Ini politik murahan untuk mencoba meredakan tekanan terhadap Turki pada tahun peringatan seabad pembantaian warga keturunan Armenia di Turki," kata Ohannes Kiliçdagi, peneliti dan penulis untuk Agos, mingguan yang terbit di Armenia.
Pembantaian yang disebut Kiliçdagi itu tahun ini diperingati besar-besaran. Menurut rencana, ratusan orang akan berkumpul di Lapangan Taksim di Istanbul, tempat yang sudah sejak 2010 dipilih sebagai lokasi kegiatan yang sama. Di Diyarbakir, kota di bagian timur Turki yang pada 1915 menjadi basis pemantauan operasi pembunuhan massal itu, akan digelar pawai. Kegiatan utama dilangsungkan di Yerevan, ibu kota Armenia, dengan sejumlah tamu kenegaraan dari Rusia, Prancis, Inggris, dan negara-negara lain.
Selama bertahun-tahun pemerintah Turki menolak tuduhan melakukan pembantaian terencana atau genosida itu-yang dimulai dengan penangkapan para intelektual Armenia. Meski mengakui terjadi kekejian, pemerintah Turki beralasan pada masa itu ribuan orang memang terbunuh-kebanyakan warga negara Turki-karena perang dan kelaparan. Buku sejarah resmi Turki menghapus kejadian itu sebagai bagian dari cara untuk memaksakan amnesia kepada rakyat Turki.
Menurut warga Armenia, sekitar 1,5 juta orang Kristen Armenia secara sistematis dibantai di Turki bagian timur, melalui pembunuhan massal, pemindahan paksa, dan kelaparan. Banyak sejarawan dan ahli hukum non-Turki menyebut tragedi itu genosida-termasuk Raphael Lemkin, pengacara dari Polandia, yang mengusulkan istilah ini pada 1944.
PEMBANTAIAN di tengah-tengah kekacauan Perang Dunia I itu terjadi pada saat kepemimpinan Kesultanan Utsmaniyah merasa melihat adanya ancaman di dalam negeri. Khawatir penduduk Kristen Armenia sedang merencanakan persekutuan dengan Rusia, musuh utama Kesultanan, para pejabat melancarkan apa yang oleh sejarawan disebut sebagai genosida pertama di abad ke-20. Sekitar 1,5 juta warga Armenia menemui ajal, sebagian karena pembantaian seperti yang terjadi di Cungus, desa di bagian timur Turki, sebagian yang lain saat dipaksa berbaris menuju gurun pasir di Suriah.
Kisah tentang kejadian itu dituturkan turun-temurun antargenerasi. Misalnya seperti yang diingat Vahit Sahin, 78 tahun, warga Cungus. "Mereka melemparkan orang-orang kami ke dalam lubang itu, semuanya pria," ujarnya tentang sebuah celah di tanah yang menganga dalam tak jauh dari sebuah gereja tua. Tak ada yang tahu jumlah pasti yang jadi korban.
Pembinasaan itu merupakan kekejian terbesar yang terjadi pada masa Perang Dunia I, yang hingga kini tetap menjadi warisannya yang dipertentangkan dengan sengit. Pemerintah Turki tidak hanya diam, tapi juga menafikannya. Bagi warga Armenia yang selamat dan keturunannya, tragedi itu berperan sebagai penanda utama identitas, luka psikis yang diturunkan.
"Warga Armenia telah melalui satu abad penuh, berteriak kepada dunia bahwa (genosida) ini terjadi," kata Gafur Turkay, yang kakeknya, sebagai anak-anak, selamat dan dilindungi oleh satu keluarga muslim. Belakangan, setelah mengetahui warisan leluhurnya, dia mulai mengidentifikasi diri sebagai warga Armenia dan berganti memeluk Kristen. "Kami ingin menjadi bagian dari negara ini dengan identitas asli kami, sebagaimana kami memang begitu seabad yang lampau," ujarnya.
Sebelum Perang Dunia I, warga keturunan Armenia sebenarnya hidup damai dengan warga Turki lainnya selama empat abad sejak penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada 1453. Mereka memang warga kelas dua, tapi memiliki cukup otonomi dalam hal budaya dan agama di enam provinsi di bagian timur. Mereka yang menjadi pengusaha dan profesional mengadu nasib di Istanbul dan kota-kota di pantai barat.
Setelah mengalami kemunduran, Kesultanan Utsmaniyah mengubah orientasi. Terpengaruh nasionalisme Eropa, para penguasanya beralih dari gagasan mengenai kesultanan yang multikultural menjadi imperialis. Ini mengangkat nilai-nilai homogenitas etnis dan solidaritas muslim. Yang terjadi pada masa Perang Dunia I berawal di sini.
Harapan sempat terbit tahun lalu, ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan rasa dukanya kepada cucu-cucu korban pembantaian yang disebutnya tak berperikemanusiaan itu. Tapi sekitar 100 ribu warga Turki keturunan Armenia jadi merasa terasingkan menyaksikan apa yang justru terjadi tahun ini-bahwa akan ada upaya mengerdilkan peringatan seabad upaya pembersihan etnis itu.
"Setelah kata-kata Erdogan tahun lalu, ini sangat mengecewakan," ucap Nayat Karakose, koordinator program di Hrant Dink Foundation, yayasan di Istanbul yang mempromosikan rekonsiliasi, riset, serta kebudayaan Turki dan Armenia. "Kami tadinya mengharapkan langkah yang lebih positif ketimbang upaya menggeser perhatian internasional dari ikhtiar Armenia untuk menggugah kesadaran tentang genosida itu." Hrant Dink adalah nama yang dipinjam dari seorang wartawan keturunan Armenia yang dibunuh pada 2007.
MENGHADAPI makin kuatnya gerakan yang menuntut diakuinya genosida itu, Erdogan kembali ke dalih yang sudah digunakan bertahun-tahun. Nada pernyataannya bahkan menyerang. "Warga diaspora Armenia berupaya menanamkan kebencian terhadap Turki melalui kampanye global tentang klaim genosida menjelang peringatan seratus tahun (peristiwa) 1915," ujarnya.
Dia juga bereaksi keras terhadap Paus Fransiskus, yang menggunakan kata "genosida" untuk melabeli pembantaian warga Armenia, dan menepis apa pun hasil pemungutan suara parlemen Eropa yang mengakui terjadinya genosida itu. "Itu akan masuk ke satu telinga dan keluar dari telinga lain," katanya.
Selain bermain politik murahan seperti diindikasikan Kiliçdagi, Erdogan sebenarnya sedang memainkan kartu untuk mengukuhkan kedudukannya. Menurut Orhan Kemal Cengiz, wartawan dan aktivis hak asasi manusia Turki, pemilihan umum parlemen yang akan datang menyebabkan konsesi apa pun yang bernilai baik dari partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan, jadi mustahil.
"Mereka sedang berusaha menggalang lebih banyak suara nasionalis. Erdogan adalah politikus yang sangat pragmatis, yang sadar akan keuntungan politik yang bisa dia peroleh dari langkah apa pun yang dia jalankan," ujar Cengiz.
Di Turki, yang terbelah-belah antara kelompok sekuler dan agamis, kaum kaya dan miskin, serta golongan liberal dan konservatif, isu tentang genosida warga Armenia adalah faktor pemersatu. Sebuah jajak pendapat baru-baru ini yang dilaksanakan Center for Economics and Foreign Policy Studies, lembaga riset di Istanbul, mendapati hanya sembilan persen warga Turki yang berpendapat pemerintah harus melabeli kekejian itu sebagai genosida dan meminta maaf. Bisa dipahami mengapa Erdogan memilih tetap membentengi amnesia rakyat Turki.
Isu genosida warga Armenia, menurut Cengiz, adalah masalah hati nurani dan moralitas. "Erdogan bukan pemimpin yang akan menyelesaikannya," katanya.
Purwanto Setiadi (aina, Financial Times, The Guardian, The New York Times, Today's Zaman)
Genosida Warga Armenia
GENOSIDA Armenia adalah pembinasaan 1,5 juta warga Armenia yang dilakukan Kesultanan Utsmaniyah pada 1915-1918. Tindakan ini berlangsung saat kesultanan itu berada di ambang keruntuhan, pada masa Perang Dunia I. Tragedi ini luas diakui sebagai ketidakadilan sosial paling dikenal pada masanya dan merupakan genosida kedua yang paling sering dikaji (setelah Holocaust). Tapi selama seabad pemerintah Turki menyangkal tuduhan genosida ini.
Penyebab
Sejak akhir 1800-an memang timbul ketegangan antara warga Turki dan warga Armenia. Tapi penyebab utama genosida adalah Perang Dunia I. Setelah terlibat perang, Kesultanan Utsmaniyah gagal menguasai kembali wilayah yang direbut Rusia, sekutu Armenia. Warga Turki menuding warga Armenia sebagai penyebab kekalahannya.
Delapan Tahap
" Klasifikasi. Warga Armenia dan warga Turki terpisah satu dengan yang lain, terutama berdasarkan agama. Warga Turki adalah muslim, sedangkan warga Armenia beragama Kristen atau nonmuslim.
" Simbolisasi. Warga Turki melabeli warga Armenia sebagai kaum Kristen. Warga Turki menyebut diri mereka sebagai "kita", dan "mereka" untuk warga Armenia.
" Dehumanisasi. Selain membatasi hukum sipil bagi warga Armenia, warga Turki memaksa semua warga Armenia pindah ke gurun pasir agar mereka mati kelaparan.
" Organisasi. Warga Turki membuat rencana deportasi ribuan warga Armenia ke gurun pasir Mesopotamia dan Suriah, tempat mereka akhirnya meninggal.
" Polarisasi. Propaganda dilancarkan untuk melarang perkawinan antara warga Turki dan warga Armenia serta menjauhkan kedua kelompok ke tingkat ekstrem; warga Armenia disebut bersekutu dengan Rusia-musuh warga Turki.
" Persiapan. Genosida disiapkan dengan cara melepas para penjahat Turki dari penjara dan menjadikan mereka pemimpin militer. Pemisahan dan deportasi dilaksanakan, harta warga Armenia disita.
" Pembasmian. Eksekusi dilakukan melalui pembunuhan langsung, memaksakan kondisi kelaparan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pawai menuju kematian. Sebagian warga Armenia dipaksa lari ke tempat pengasingan.
" Penyangkalan. Hingga kini Turki (penerus Kesultanan Utsmaniyah) membantah ada genosida terhadap warga Armenia. Pemerintah Turki mengeluarkan jutaan dolar untuk kampanye penyangkalan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo