Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya, pertemuan tertutup Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pekan lalu ber-langsung tegang. Biasanya pertemuan untuk memilih ketua lembaga penting itu berjalan mulus-mulus saja. Kali ini, urusannya agak runyam. Bukan karena urusan pelanggaran suatu negara yang sangat serius pemilihan tersebut jadi sangat tegang, melainkan karena Libya.
Kelompok negara Afrika yang dimotori Afrika Selatan mengajukan negeri pimpinan diktator Muammar Qadhafi tersebut sebagai ketua komisi itu untuk periode 2003-2004. Kursi ketua komisi itu cukup prestisius, yang biasanya diduduki secara bergiliran dari satu kelompok negara ke kelompok lainnya—Asia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Namun Amerika Serikat menentang pencalonan Libya, musuh bebuyutannya. Alasannya, Libya adalah negara dengan daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, dalam versi Washington, Libya merupakan salah satu dari enam negara pendukung terorisme.
Tapi semua rapor merah versi Amerika itu tidak laku. Libya berhasil mendudukkan duta besarnya, Najjat al-Hajjaji, ke kursi pemimpin sidang tahunan komisi hak asasi manusia yang akan berlangsung Maret-April mendatang. "Ini merupakan kemenangan besar untuk mengembalikan hak kepada orang-orang yang tertindas," ujar Hassuna al-Shawsh, juru bicara Departemen Luar Negeri Libya.
Tak mengherankan jika Libya begitu gembira. Berbeda dengan kandidat lain sebelum ini, Libya harus melewati jalan yang sulit untuk mencapai hal itu. Untuk pertama kalinya sejak berdiri pada 1947, ketua komisi itu dipilih dengan cara pemungutan suara alias voting. Najjat al-Hajjaji terpilih berkat dukungan 33 dari 53 negara anggota. Tiga negara menolak, termasuk Amerika dan Kanada, sementara 17 negara, termasuk negara-negara Eropa, abstain.
Dalam sistem yang biasa dilakukan, sebenarnya Libya tidak perlu bersusah payah lagi untuk duduk di kursi itu. Sebab, Afrika, yang memperoleh jatah kepemimpinan tahun ini, sudah menunjuknya. Afrika berhak menentukan siapa pun untuk menjadi wakil mereka di situ.
Jatah kursi pemimpin lembaga itu memang digilir dari beberapa kelompok negara: Asia (Asia dan Timur Tengah), Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Eropa Barat serta negara-negara lain. Amerika Serikat, Kanada, dan Australia menjadi bagian kelompok Eropa Barat ini.
Menurut I Gusti Agung Wesaka Pudja, diplomat Indonesia yang tahun lalu duduk di komisi ini, sebenarnya ada dua negara yang mengajukan diri di kelompok Afrika, yakni Aljazair dan Libya. Namun, setelah ada proses lobi dan negosiasi di antara negara-negara Afrika, mereka memutuskan memilih Libya. "Itu harus dihormati," ujar Wesaka Pudja, Direktur Hak Asasi Manusia, Kemanusiaan, dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri Indonesia. Menurut Pudja, pada 1999, Asia juga memutuskan Nepal mewakilinya, tapi tidak ada soal. Nepal adalah negeri yang tidak bersih dari catatan pelanggaran hak asasi mansuia.
Namun Amerika tidak sependapat dengan Pudja dan anggota komisi yang lain. Karena catatan pelanggarannya di dalam negeri, Libya tidak layak menjadi pemimpin lembaga yang memiliki wewenang tertinggi dalam pengawasan hak asasi manusia di seluruh dunia ini. Komisi itu berwenang membuat draf konvensi atau traktat serta mengirim tim investigasi atau special rapporteur ke negara-negara yang dianggap melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia. Komisi ini juga memiliki mandat memantau dan melaporkan pelanggaran hak asasi manusia di sebuah negara, termasuk di Israel, misalnya, sekutu Amerika di Timur Tengah.
Laporan yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika menuding Libya sebagai negara yang memiliki sistem pengawasan yang berlapis-lapis untuk memonitor dan mengontrol aktivitas perorangan. Juga melakukan berbagai pelanggaran serius. Qadhafi, yang duduk menjadi pemimpin besar setelah kude-ta pada 1969, memerintah negerinya dengan tangan besi. Dia membungkam semua potensi oposisi dengan berbagai cara, dari larangan berorganisasi, penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan, hingga penyiksaan.
Lebih dari itu, Libya selama ini tidak mau membuka pintu negerinya untuk tim investigasi PBB atau organisasi nonpemerintah seperti Human Rights Watch.
Keberatan lain Amerika, Libya hingga kini belum sepenuhnya bebas dari sanksi PBB berkaitan dengan kasus meledaknya pesawat Pan Am 103 di Lockerbie, Skotlandia, pada 1988, yang menewaskan 270 orang. Amerika menuduh Libya berada di balik serangan teror itu. Ronald Reagan sempat mengebom Tripoli sebagai bentuk balas dendam. Dan itu tidak cukup. Amerika meminta PBB memberikan sanksi keras kepada Libya karena negara pimpinan Qadhafi itu menolak menyerahkan tersangka teroris ke negerinya. Bahkan sanksi itu masih berlaku meski empat tahun lalu Qadhafi menyerahkan kedua mantan agen dinas rahasianya yang terlibat dalam serangan di Lockerbie, bukan ke Amerika, tapi ke pengadilan netral di Belanda.
Pendapat Amerika didukung oleh beberapa organisasi nonpemerintah, antara lain Human Rights Watch. "Dengan menyamakan kebijakan represifnya sebagai perlindungan hak asasi manusia, Libya memberikan sinyal tidak seharusnya duduk di badan PBB yang paling penting ini," ujar Joanna Weschler, wakil Human Rights Watch di PBB.
Tak aneh, sejak nama Libya muncul pada Juli lalu, Amerika langsung bergerak mencegahnya. Negeri penyokong perang terhadap terorisme ini membujuk negara-negara Afrika agar memilih calon lain.
Namun Benua Hitam, yang dimotori Afrika Selatan, mengabaikan semua seruan dan lobi Amerika itu. Setelah bujukannya tidak mempan, Amerika mengeluarkan senjata pamungkas: menekan. Amerika menantang dilakukannya voting untuk menentukan apakah Libya bisa menjadi ketua atau tidak. "Ini sebuah preseden," ujar Wesaka Pudja. Belum pernah sebelumnya ketua komisi dipilih lewat voting.
Afrika Selatan menyayangkan tindakan Amerika tersebut dan merasa pilihan negara-negara Afrika tidak dihormati. "Hak kelompok regional untuk mengajukan kandidatnya seharusnya dihormati," ujar Sipho George Nene, Duta Besar Afrika Selatan untuk PBB. Meski demikian, Afrika akhirnya menerima tantangan Amerika. Dan mereka menang.
Amerika harus gigit jari. Suara galaknya tidak cukup menakuti anggota lainnya, bahkan juga sekutunya di Eropa. Hanya dua negara mendukung Amerika. Kelompok Eropa, karena tidak menemukan titik temu, menyerahkan keputusan kepada negara masing-masing untuk menerima atau menolak Libya.
"Amerika Serikat sangat kecewa melihat anggota komisi memilih Libya, yang diketahui oleh semuanya sebagai negara yang terus melanggar hak asasi manusia dan negara yang masih kena sanksi PBB," ujar Kevin E. Moley, Duta Besar Amerika Serikat di PBB.
Merasa pilihan kelompok Afrika tidak dihormati, sebaliknya, Sipho George Nene menantang kelompok Eropa untuk melakukan voting terhadap wakil yang mereka ajukan, yakni Australia. Namun jiwa besar ditunjukkan Duta Besar Libya, Najjat al-Hajjaji, yang oleh kalangan diplomat di Jenewa dijuluki sebagai Cleopatra. Suasana panas ini didinginkannya dengan berkata, "Kita harus menghormati pilihan kelompok Eropa."
Sebenarnya, menurut I Gusti Agung Wesaka Pudja, penolakan Amerika ini lebih berbau politis. Kekuasaan ketua komisi itu, menurut dia, tidaklah sebesar yang dibayangkan. Semua keputusan komisi itu sangat bergantung pada semua anggota. Selain itu, menurut Pudja, catatan baik atau buruk akan kondisi hak asasi manusia adalah relatif. "Saya melihat, kasus-kasus menonjol di Libya yang ditunjukkan Amerika adalah yang terjadi di waktu-waktu lalu," ujar Pudja.
Bahkan sebenarnya Human Rights Watch juga mengakui adanya komitmen baru yang lebih positif setelah Libya muncul di arena pencalonan. Libya mengumumkan niat untuk mengkaji kembali, bahkan mengganti, sistem pengadilan rakyat. Bahkan Tripoli juga mengindikasikan akan membuka pintu bagi penyelidik hak asasi manusia internasional. Semua menunggu langkah positif Libya dan sang Cleopatra di arena hak asasi manusia.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, Reuters, ArabicNews, Albawaba)
Pelanggaran HAM Libya
- Eksekusi ekstrayudisial yang dilakukan agen negara
- Penangkapan sewenang-wenang dan penahanan jangka panjang tanpa pengadilan
- Penyiksaan dan hukuman atau perlakuan buruk lain yang sistemais terhadap tahanan dan warganya
- Adanya hukuman mati untuk kejahatan yang tidak bisa dikategorikan sangat serius, termasuk tindakan politik dan ekonomi
- Tidak ada sistem yudisial yang independen
- Diskriminasi terhadap perempuan dalam banyak urusan, seperti warisan, kebebasan berpindah kewarganegaraan, dan perceraian
- Pembatasan dalam kebebasan berekspresi, terutama dalam mengkritik pemerintah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo