Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDUA tangannya tak sengaja membetulkan letak rambut. Pancaran
wajahnya serius. Mengenakan setelan jas warna putih, Bashir
Gemayel, 34 tahun, menghadapi saat terpenting dalam hidupnya.
Siang itu, 23 Agustus, ia terpilih sebagai Presiden Libanon
ke-13.
Terpilihnya Bashir Gemayel tidaklah sama sekali di luar dugaan.
Orang muda yang sarai pengalaman ini dimatangkan dalam kancah
perang saudara Islam-Kristen yang berkecamuk di negerinya tahun
1975-1976. Tahun-tahun berikutnya, ia sibuk memimpin dan
mempersatukan golongan Kristen Maronit (secara tradisional tiap
Presiden Libanon berasal dari golongan ini), hingga kemudian
sanggup menghimpun pasukan Phalangis yang berkekuatan 25.000
orang. Basis mereka yang pertama berada di kawasan timur laut
Libanon.
Tentu Bashir, terbungsu dari 7 bersaudara anak Pierre Gemayel
tidak berhenti di sini. Pada mulanya ia membina karir sebagai
pengacara, lalu seperti tanpa kesulitan ia mencurahkan segenap
kemampuannya sebagai pemimpin militer merangkap politisi.
Tahun 1978, anak buahnya menyerangrumah kediaman Suleiman
Franjieh, bekas Presiden Libanon, yang juga seorang Kristen.
Dalam peristiwa berdarah ini tewas Tony, putra Suleiman
Branjieh, dengan istri, anak perempuannya serta 30 pengikut
mereka. Gemayel semakin berani. Pembersihan di kalangan Kristen
dilanjutkannya dengan membabat ratusan pengikut bekas Presiden
Camille Chamoun. Sejak itu pula pasukan Phalangis berhasil
menguasai Beirut Timur hingga sekarang.
Pintar membaca situasi, Gemayel juga sigap menjalin kerja sama
dengan Israel. Adalah dia yang terpilih sebagai sekutu oleh
Ariel Sharon, ketika Menhan Israel itu secara menyamar
berkunjung ke Libanon dalam rangka mempersiapkan serangan
Operasi Perdamaian Galilea.
Hasil kerjasama itu meyakinkan. Tentara sukarela Phalangis
adalah satu-satunya pasukan swasta -- kalau bisa disebut
demikian -- yang lengkap dengan barisan tank dan kendaraan lapis
baja. Namun Gemayel lihay menjaga citra dirinya. Dia
berhati-hati sekali. Penampilannya semula sedemikian rupa,
hingga di mata negara Arab, Gcmael seorang patriot Libanon,
bukan boneka Israel. Setidaknya itulah kesan yang tampak. Juli
silam, ia sempat berkunjung ke Riyadh atas undangan pemerintah
Arab Saudi.
Dalam kampanye pencalonan Presiden, Gemayel pernah berkata,
"Luas Libanon 10.452 km2 dan kita tidak sudi negeri ini
dipotong satu sentimeter pun." Baginya penyembuhan luka-luka
akibat perang saudara merupakan tujuan utama. Ia berjanji akan
berjuang menciptakan "Libanon yang kuat, berdaulat, merdeka dari
pasukan asing."
Prinsip utama ke arah "kedaulatan Libanon" ialah penarikan
mundur tentara Suriah dan Israel. Bersamaan dengan itu tentara
Libanon yang kuat harus mampu menjaga keutuhan wilayah
negaranya. Ini diutarakan Gemayel dalam sebuah karangan untuk
harian Wasbington Post, sebelum terpilih sebagai Presiden.
Begitu yakin ia akan tercapainya "kedaulatan Libanon" hingga ia
cuma minta waktu 2 minggu hanya untuk perundingan damai dengan
Israel. Barangkali yang akan jadi penghalang satu-satunya,
sesudah evakuasi PLO, adalah Suriah. Mingguan Al Ashr, media
resmi Suriah menuduh Gemayel boneka Israel yang membentuk
pemerintah Libanon yang pro-Zionis.
Sementara itu, negara-negara Arab berdiam diri, tanpa sambutan
untuk Gemayel. Tapi sebuah koran Arab Saudi menilai terpilihnya
Bashir Gemayel sebagai tragedi kedua sesudah evakuasi PLO dari
Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo