Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok militan di Mali mulai memblokade kota bersejarah Timbuktu dengan memotong akses jalan pada bulan Agustus 2023 dan kemudian menutup jalur sungai dan udara dalam sebuah serangan yang menempatkan kota itu sekali lagi di garis depan pemberontak, begitu Prancis dan Pasukan Perdamaian PBB mundur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kekhawatiran kami adalah penembakan tersebut,” kata pengusaha Sory Touré di Timbuktu, yang diduduki oleh kelompok afiliasi Alqaeda satu dekade lalu, seperti dikutip Reuters, Selasa, 3 Oktober 2023. “Ini menciptakan psikosis yang nyata dan meninggalkan kesan mendalam. Saya memiliki ketakutan ini dalam diri saya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengeboman dimulai segera setelahnya. Pada 21 September, para saksi mata mengatakan roket menghantam sebuah rumah sakit, menewaskan dua anak, dan mendarat di dekat sebuah sekolah tempat para penyintas serangan kapal penumpang yang menewaskan lebih dari 100 orang berlindung.
Sejak PBB mulai menghentikan misi penjaga perdamaiannya pada bulan Juli, militan melancarkan serangan di Mali tengah, pertempuran kembali terjadi antara tentara dan pemberontak Tuareg yang bersekutu dengan ISIS di utara dan timur.
Mali, kini diperintah junta yang menolak dukungan pasukan PBB dan Perancis, berada dalam kehancuran dan kekerasan sehingga berisiko menambah ketidakstabilan di Sahel, Afrika Barat, wilayah yang sudah terguncang akibat kudeta militer di negara tetangga Burkina Faso dan Niger.
Para ahli membandingkan situasi Mali sekarang dengan posisinya pada 2012 ketika pemberontakan Tuareg lainnya diambil alih oleh kelompok militan yang merebut Timbuktu dan bergerak ke selatan menuju ibu kota Bamako.
“Konflik ini meningkat dengan cepat,” kata Ulf Laessing, kepala program Sahel di yayasan Konrad Adenauer yang berbasis di Bamako. “Ada risiko perang saudara.”
Pada 2012, pasukan Perancis dan PBB melakukan intervensi untuk menghentikan kemajuan di Mali. Namun saat ini tidak akan ada intervensi seperti itu.
Penguasa militer Mali, yang mengkonsolidasikan kekuasaan melalui dua kudeta pada 2020 dan 2021, memutuskan hubungan dengan bekas kekuatan kolonial Prancis dan mengusir pasukannya. Pada bulan Juni, mereka memerintahkan pasukan berkekuatan 13.000 orang yang dikerahkan oleh PBB untuk pergi.
Grup Wagner Rusia, yang telah mengirimkan 1.000 tentara bayaran untuk mendukung junta, gagal mengisi kekosongan tersebut dan dituduh melakukan serangan terhadap warga sipil.
Lebih dari 650 orang tewas dalam konflik di Mali dalam dua bulan setelah PBB mulai menarik diri, peningkatan lebih dari 40% dibandingkan dua bulan sebelumnya, kata kelompok Armed Conflict Location & Event Data Project yang berbasis di AS.
Pihak berwenang Mali pada hari Senin menyatakan bahwa September adalah bulan yang penuh gejolak tetapi mereka akan terus melawan musuh untuk melindungi negara dan rakyatnya.
REUTERS
Pilihan Editor Polisi India Geledah Kantor Media dan Rumah Para Jurnalisnya