Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hasina Kembali ke Gelanggang

Kerusuhan padam setelah pemilu ditunda dan ditunjuk penyelenggara pemilu independen. Tapi tak ada jaminan pemilu berjalan mulus.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu kejutan muncul di Ibu Kota Dhaka, Senin pekan lalu, ketika aliansi partai oposisi Liga Awami menyatakan ikut pemilu. Padahal sebelumnya pemimpin Liga Awami, Sheikh Hasina Wajed, ngotot memboikot pemilu yang rencananya akan digelar pada 22 Januari ini. Keputusan Hasina itu merupakan puncak gelombang kerusuhan yang terjadi sepekan sebelumnya, ketika ia membakar kemarahan pendukungnya dengan memprotes niat Presiden Iajuddin Ahmed, yang merangkap sebagai perdana menteri sementara, menggelar pemilu.

Hasina menuntut Presiden Iajuddin melepas jabatannya sebagai perdana menteri. Sebab, sebagai penyelenggara pemilu, Iajuddin dianggap hanya akan menguntungkan partai pesaing Liga Awami, Partai Nasional Bangladesh (BNP) yang dipimpin Begum Khalida Zia. Maklum, Iajuddin dikenal sebagai pendukung BNP, dan BNP-lah yang mengusung Iajuddin ke kursi presiden pada 2002.

Selain itu, Liga Awami juga menuntut pemilu ditunda dan daftar pemilih diperbarui untuk menjamin pemilu yang bebas dan jujur. Aliansi 14 partai ini menuduh Komisi Pemilu yang berada di bawah pengaruh Iajuddin memalsukan daftar pemilih. ”Kami akan memboikot dan melawan, apa pun risikonya,” ujar Hasina.

Maka, jalanan di Ibu Kota Dhaka bak zona perang. Polisi menembakkan gas air mata, dan massa pendukung Liga Awami membalas dengan melempar bom molotov. Sedangkan jalan-jalan di luar Dhaka diblokade sehingga kota nyaris terisolasi. Aksi polisi memuncak pada Selasa, 9 Januari lalu, ketika polisi menembakkan 50 gas air mata dan peluru karet ke arah demonstran. Akibatnya, 45 orang tewas dan 200 orang cedera dalam kerusuhan selama tiga hari itu.

Tekanan massa di jalanan dan desakan militer agar Presiden Iajuddin Ahmed melepas jabatannya sebagai perdana menteri sementara akhirnya memadamkan kerusuhan itu pada Kamis 11 Januari. ”Tak mungkin menyelenggarakan pemilu sebagaimana jadwal,” ujar Iajuddin. Apalagi PBB dan Uni Eropa menunda semua dukungan teknis penyelenggaraan pemilu. ”Krisis politik di Bangladesh sangat membahayakan keabsahan proses pemilu,” ujar Sekjen PBB Ban Ki-moon.

Tapi, sebelum mundur, Iajuddin mengumumkan negara dalam keadaan darurat, memberlakukan jam malam di Dhaka dan 60 kota lainnya dengan melarang semua bentuk aksi massa, menunda pemilu, dan menunjuk Fakhruddin Ahmed sebagai perdana menteri sementara. Fakhruddin adalah ekonom terpandang dan bekas gubernur bank sentral.

Perubahan tiba-tiba inilah yang melumerkan kemarahan Hasina. ”Ini satu awal baru. Kami berharap untuk yang terbaik di masa depan,” ujar Sekjen Liga Awami, Abdul Jalil. Fakhruddin dianggap sebagai tokoh nonpartisan yang bisa menggelar pemilu yang bebas dan jujur. Tapi Fakhruddin harus mendepak pejabat komisi pemilu yang loyal pada pemerintah bekas Perdana Menteri Khalida Zia. Fakhruddin juga harus membuat daftar pemilih baru. ”Setelah itu, kami berpartisipasi,” kata Abdul Jalil.

Fakhruddin pun mulai membentuk dewan penasihat untuk menyelenggarakan pemerintahannya, dan diharapkan membuka pembicaraan dengan Liga Awami serta BNP untuk membangun konsensus. Tapi analis politik tak menjamin perubahan ini akan menghentikan konflik. Sebab, pusaran konflik sejatinya berada di antara Sheikh Hasina dan Khalida, yang bersifat pribadi.

Hasina, 60 tahun, adalah anak Bapak Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman. Sedangkan Khalida, 61 tahun, istri almarhum Jenderal Ziaur Rahman. Celakanya, konflik pribadi inilah yang membelah rakyat Bangladesh sejak rezim militer Jenderal Hossain Mohammad Ershad terguling pada 1991. Hasina dinilai keras kepala dengan menolak berkompromi atas semua tuntutannya dan menggerakkan massa melakukan kerusuhan, mengakibatkan konfrontasi tak terhindarkan.

Sebaliknya, kini muncul kekhawatiran Khalida Zia akan membalasnya dengan memboikot pemilu dan menggerakkan protes jalanan yang biasanya berujung pada kerusuhan. ”Tak ada satu pun dari dua partai itu yang menghormati kultur demokrasi,” ujar Dr Ataur Rahman, analis politik Universitas Dhaka.

Raihul Fadjri (The Daily Star, BBC, Financial Times, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus