Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, kemarin mengumumkan penundaan pelaksanaan pemilu parlemen hingga setahun mendatang. Pemilu seharusnya diselenggarakan pada 6 September 2020.
Langkah ini, menurut Lam, terpaksa dilakukan karena jumlah kasus Covid-19 di Hong Kong naik lagi. Politikus perempuan yang didukung Beijing ini akan menerapkan Undang-Undang Darurat untuk menunda pemungutan suara.
Namun, beberapa jam sebelum pengumuman Lam, 22 politikus pro-demokrasi menuding pemerintah berkonspirasi dengan anggota parlemen pro-Beijing untuk menunda pemilihan dengan menggunakan Covid-19 sebagai alasan.
Kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, kemarin mengumumkan penundaan pelaksanaan pemilu parlemen hingga setahun mendatang. Pemilu seharusnya diselenggarakan pada 6 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah ini, menurut Lam, terpaksa dilakukan karena jumlah kasus Covid-19 di Hong Kong naik lagi. Politikus perempuan yang didukung Beijing ini akan menerapkan Undang-Undang Darurat untuk menunda pelaksanaan pemungutan suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pengumuman yang harus saya buat hari ini merupakan yang paling sulit yang harus saya buat dalam tujuh bulan terakhir,” kata dia dalam jumpa pers. “Namun kami ingin memastikan keselamatan dan kesehatan masyarakat sekaligus memastikan pemilihan diadakan secara terbuka dan tidak memihak.”
Hal ini diamini juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin. Dalam jumpa pers kemarin, Wang mengatakan wabah Covid-19 di Hong Kong merupakan faktor yang benar-benar menjadi pertimbangan.
Dalam 24 jam terakhir, ada 121 kasus virus corona baru di Hong Kong, sehingga menambah total kasus menjadi 3.273 orang dengan 27 kematian.
Namun, beberapa jam sebelum pengumuman Lam, 22 politikus pro-demokrasi menuding pemerintah berkonspirasi dengan anggota parlemen pro-Beijing guna menunda pemilihan dengan menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan.
“Kami yang mewakili kehendak 60 persen warga Hong Kong dengan tegas menentang penundaan,” ujar mereka.
Kubu pro-demokrasi di Hong Kong berharap bisa mendapatkan peluang untuk memenangi pemilu dengan suara mayoritas, meskipun 12 kandidat dari pro-demokrasi didiskualifikasi.
Kelompok oposisi sangat ingin mengumpulkan dukungan untuk melawan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru, yang diterapkan Beijing terhadap Hong Kong pada 30 Juni lalu.
Pemilu parlemen 2020 akan menjadi ujian demokrasi pertama bagi Hong Kong sejak Beijing memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang akan memenjarakan orang sampai seumur hidup atas tuduhan upaya pemisahan diri (Hong Kong dari Cina), subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
Pemerintah Cina dan Hong Kong meyakinkan bahwa undang-undang itu tidak akan mengancam kebebasan Hong Kong. Mereka berdalih aturan itu diperlukan untuk menjaga ketertiban dan kemakmuran setelah berbulan-bulan berlangsung unjuk rasa anti-pemerintah.
Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong dinilai oleh beberapa aktivis sebagai akhir dari otonomi Hong Kong. Dalam pemilu parlemen ada 12 kandidat dari oposisi, termasuk Joshua Wong, pendiri Partai Demosisto.
Wong mengatakan pemerintah Hong Kong menganggap dirinya tidak bisa mengikuti pemilu karena menjalin kolusi dengan pihak asing dan memprotes Undang-Undang Keamanan Nasional.
“Keputusan mereka mendiskualifikasi kami benar-benar gila dan tidak berdasar. Undang-Undang Keamanan Nasional menjadi senjata resmi pemerintah untuk menekan oposisi,” ujar politikus berusia 23 tahun itu.
Diperkirakan ada lebih banyak kandidat yang dilarang maju dalam pemilu selama beberapa hari ke depan. Selain mendiskualifikasi kelompok pro-demokrasi, pemerintah Hong Kong mendiskualifikasi kelompok moderat, seperti Partai Sipil. Belum diketahui apa alasan diskualifikasi itu.
Menurut Wong, oposisi sesungguhnya berniat memanfaatkan kekesalan publik terhadap Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya. Jika pemilu legislatif ditunda, ia merasa momen berikutnya tidak akan sekuat sekarang saat publik tengah kesal-kesalnya.
“Namun melarang kami mengikuti pemilu bukan berarti mencegah langkah demokrasi dari kami,” tutur Wong, yang aktif mengorganisasi unjuk rasa anti-pemerintah.
Gubernur Hong Kong ketika masih menjadi bagian persemakmuran Inggris, Chris Patten, menyebut apa yang terjadi saat ini sebagai “pembasmian politis”. Sebab, Hong Kong dan Cina semakin tidak toleran terhadap pihak yang berbeda pandangan.
Langkah keras Beijing juga memicu risiko baru. Tekanan internasional telah meningkat dan beberapa negara Barat telah menawarkan paspor kepada warga Hong Kong yang dapat mendorong orang-orang terbaik meninggalkan wilayah itu.
REUTERS | HONG KONG FREE PRESS | SCMP
Jaksa Hong Kong Mundur
Jaksa Hong Kong, David Leung Cheuk-yin, yang dikenal karena penuntutan terhadap para pemimpin protes pro-demokrasi 2014, kemarin mengundurkan diri.
Melansir laman SCMP, mundurnya Leung diduga karena berselisih dengan Menteri Hukum Hong Kong Teresa Cheng. Berita kepergiannya disampaikan dalam surat elektronik yang dikirim kepada rekan-rekannya di Departemen Hukum, menurut sebuah sumber.
“Sangat disayangkan bahwa saya tidak bersepakat dengan (Menteri Kehakiman) dalam menjalankan (divisi penuntutan) dan situasinya tidak membaik dengan berlalunya waktu,” demikian Leung menulis.
“Hal ini tidak kondusif untuk kelancaran operasi penuntutan dan tentu saja bukan sesuatu yang saya, sebagai jaksa yang melayani Divisi selama 25 tahun dan merupakan kepala saat ini, ingin lihat,” demikian bunyi pesan perpisahan Leung kepada para kolega.
Pengunduran dirinya terjadi sebulan setelah Beijing memberlakukan keamanan nasional di Hong Kong.
Ia menenangkan anak buahnya yang khawatir dipindahkan ke divisi atau unit yang menangani Undang-Undang Keamanan Nasional. Leung menegaskan bahwa pemberitahuan akan diberikan kepada mereka sebelum pindah.
Namun Leung, sebagai jaksa utama kota itu, mengatakan tidak terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang baru. “Bantuan dan partisipasi saya dalam masalah (Keamanan Nasional) tidak diperlukan,” demikian dia menulis dalam e-mail itu.
Menteri Cheng, yang menghadiri jumpa pers dengan kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, membenarkan kabar tersebut. Namun Cheng menolak mengomentari ihwal mundurnya Leung.
“Saya pikir kami harus membiarkan dia (Leung) membuat pernyataan pada waktu yang tepat ketimbang mengomentari hal ini sekarang ketika kami menghadapi masalah yang lebih penting,” ujar Cheng.
Leung bergabung dengan Departemen Hukum pada 1995 sebagai penasihat hukum dan dipromosikan menjadi wakil direktur penuntutan publik pada 2012. Ia diangkat untuk menduduki jabatan teratas di divisi penuntutan pada 2017 di bawah Menteri Hukum Hong Kong saat itu, Rimsky Yuen Kwok-keung.
SCMP | RTHK | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo