Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai jurnalis senior di Ramallah, Khaldoun Barghouti tak bisa hidup tenang. Pembatasan yang diterapkan Israel di wilayah Palestina di Tepi Barat mengharuskannya memperbarui izin tinggal setiap tiga tahun sekali. "Jika tidak, Anda akan kehilangan semua hak sebagai warga, dari kesehatan sampai jaminan hari tua," katanya saat berkunjung ke kantor Tempo, Jumat tiga pekan lalu.
Pada 2007, Israel mengeluarkan aturan yang mewajibkan warga Palestina di Tepi Barat mendapatkan izin tinggal dengan beberapa syarat tertentu. Jika memenuhi syarat, mereka bisa mendapatkan izin dan kartu identitas khusus berwarna oranye dengan logo Angkatan Bersenjata Israel (Israel Defense Forces) yang berlaku tiga tahun.
"Identitas warga Tepi Barat secara resmi diberikan oleh Otoritas Palestina, tapi pada kenyataannya dikeluarkan oleh Israel. Jadi, kalau Israel bilang tidak, saya tidak bisa mendapatkan kartu identitas. Ini contoh kecil pendudukan Israel," ujar editor berita internasional di Alhayat Aljaeeda itu.
Barghouti menjelaskan melalui surat elektronik pada Rabu pekan lalu bahwa isolasi dari dunia luar juga dirasakan warga Tepi Barat. Mereka yang ingin meninggalkan Tepi Barat dikontrol ketat oleh Israel. Banyak warga Palestina yang tak diizinkan keluar dengan alasan keamanan. "Secara pribadi, saya kenal satu orang yang tidak bisa meninggalkan Tepi Barat selama 27 tahun. Masih banyak lagi warga yang mengalami hal seperti dia."
Pria 40 tahun itu menuturkan kontrol Israel membuat penduduk di Tepi Barat tak bisa bepergian bebas ke luar negeri. Ketiadaan bandar udara membuat warga yang ingin ke luar negeri harus lebih dulu ke Yordania agar bisa melanjutkan perjalanan lewat jalur penerbangan. Jarak tempuh menjadi berkali lipat lebih jauh. Tempat yang berjarak hanya 7 kilometer bisa saja menjadi 200 kilometer karena harus menempuh jalan memutar.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi, membenarkan kabar bahwa Israel telah mengambil alih hampir semua kontrol di wilayah Palestina. Masalah utama di Tepi Barat, menurut dia, adalah berlakunya dua sistem yang bertindihan. Berdasarkan Perjanjian Oslo (1993), Israel seharusnya menarik diri dari kota-kota besar di Tepi Barat. Dalam kenyataannya, Israel mempertahankan kendali di wilayah lain. Karena itulah hingga saat ini Tepi Barat terbagi atas tiga zona, yakni A, B, dan C.
Mehdawi menjelaskan, Zona A meliputi beberapa kota utama, seperti Bethlehem, Ramallah, Nablus, Jenin, Tulkarem, dan Jericho. Di zona ini, pemerintah Palestina memegang kendali penuh urusan keamanan dan administrasi. Zona B merupakan kota-kota kecil. Di zona ini, pemerintah Palestina tak memiliki kendali atas keamanan, tapi masih mengatur administrasi, seperti kesehatan dan pendidikan. "Di zona ini, keamanan sudah menjadi bagian dari kendali tentara Israel," kata Mehdawi di kantornya, Selasa pekan lalu.
Sebanyak 65 persen dari total wilayah Tepi Barat masuk kategori Zona C, yang sepenuhnya berada dalam kendali Israel, baik keamanan maupun administrasi. Tanpa kontrol pemerintah Palestina, penculikan dan penangkapan warga kerap terjadi di zona ini tanpa ada proses peradilan. Saat ini ada sekitar 350 anak di bawah usia 13 tahun yang ditangkap dan dipenjara oleh Israel.
Di ketiga zona itu, menurut Mehdawi, Israel membuat pos pemeriksaan yang jumlahnya mencapai 568 unit. "Jadi, secara teknis, Anda tak bisa bepergian ke mana pun secara bebas karena Anda akan diperiksa segalanya," ucapnya.
Khaldoun Barghouti menceritakan bagaimana tentara Israel mengontrol semua jalan utama, memiliki puluhan pos pemeriksaan; mereka dapat menyerang kota, desa, dan kamp pengungsi Palestina, bahkan dapat menangkap atau membunuh siapa saja. Israel juga terus membangun permukiman yang membuat daerah perkotaan Palestina terpisah. Padahal Tepi barat seharusnya menjadi bagian utama dari negara merdeka Palestina.
Pembangunan permukiman terus menjadi sumber ketegangan dalam pembicaraan damai Israel-Palestina, termasuk yang kandas pada April lalu setelah sembilan bulan tanpa tanda-tanda kemajuan. Israel menolak tuntutan Palestina untuk menghentikan pembangunan permukiman, sehingga menimbulkan tudingan Israel tak serius dalam perundingan yang dimediasi oleh Amerika Serikat itu.
Laporan organisasi advokasi pemukim Yesha Council menunjukkan adanya peningkatan populasi pemukim Israel di Tepi Barat sebesar dua persen hanya dalam enam bulan. Kenaikan ini mengindikasikan adanya pertumbuhan pemukim yang pesat meski Israel masih dalam status berunding.
Yesha Council merilis, pada Juni 2014, jumlah pemukim Israel di Tepi Barat menjadi 382.031 jiwa. Angka ini bertambah dari jumlah pada 31 Desember 2013 sebesar 374.469 jiwa. Berarti pertumbuhan pemukim Yahudi pada semester pertama tahun ini dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan penduduk di Israel yang hanya 1,9 persen per tahun.
Kepala Utusan Luar Negeri Yesha Council, Dani Dayan, yang dikutip Associated Press, mengatakan peningkatan itu didorong oleh pertumbuhan penduduk secara alami dan masuknya pemukim baru karena alasan ideologi, gaya hidup, ataupun ekonomi. Umumnya perumahan di permukiman Tepi Barat lebih murah ketimbang di Israel sendiri. Di Israel, harga apartemen sederhana di kota-kota besar bisa lebih dari US$ 500 ribu. Inilah yang membuat permukiman di Tepi Barat lebih menarik bagi keluarga muda Israel.
Bagi warga Palestina, masalahnya, itu tadi, kehidupan di Tepi Barat banyak diatur oleh Israel, termasuk pemanfaatan sumber daya alam. Lebih dari 500 ribu warga Israel yang tinggal di permukiman Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dapat menikmati sumber daya alam secara bebas, terutama air bersih. Sebaliknya bagi warga Palestina. Menurut Al-Haq, organisasi hak asasi manusia, pemukim Israel di Tepi Barat mengkonsumsi air enam kali lebih banyak daripada warga Palestina yang tinggal di sekitarnya.
Dengan segala pembatasan dan kontrol oleh Israel, tingkat pengangguran di Tepi Barat kini mencapai 20 persen dari total jumlah penduduk. Di Tepi Barat dan Gaza, sekitar 140 ribu orang bekerja di Otoritas Palestina (pegawai negeri sipil). Ada juga yang bekerja di sektor swasta. Namun sektor pertanian tetap menjadi sumber mata pencarian penting meski ada kesulitan pemasaran produknya, ditambah persaingan dengan produk pertanian Israel.
"Setiap kebutuhan yang tidak tersedia di Tepi Barat harus diimpor dari luar negeri melalui pelabuhan Israel. Ini termasuk bahan baku yang dibutuhkan dalam industri," kata Barghouti.
Penduduk di Tepi Barat juga benar-benar terpisah dari mereka yang ada di Jalur Gaza. Penyebabnya, Israel memblokade jalur penyeberangan Gaza-Tepi Barat dengan membangun lima pintu masuk yang hanya bisa dilalui secara terbatas. Misalnya, pintu pertama hanya untuk dilalui oleh orang secara individual yang ingin menyeberang ke Gaza, tentu dengan izin khusus. Lalu pintu kedua hanya untuk lalu lintas bahan bakar dan makanan segar. Begitupun pintu ketiga hingga kelima, yang memiliki fungsi tertentu dengan pembatasan ketat.
"Tapi semua pintu itu memiliki kapasitas yang bisa dilalui. Seberapa banyak orang atau barang yang bisa lewat semuanya diatur setiap hari. Tanpa persetujuan Israel, kami tak bisa mengirim apa pun ke Gaza," kata Duta Besar Mehdawi.
Rosalina (Associated Press)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo