Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Israel menolak keras resolusi gencatan senjata yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB pada Senin, 25 Maret 2024. Hal ini dikarenakan resolusi tersebut menekan Israel untuk menghentikan serangan-serangannya di Gaza, Palestina, selama bulan suci Ramadan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resolusi gencatan senjata ini untuk pertama kalinya disahkan sejak Israel menggempur Gaza selama lima bulan terakhir. Resolusi itu resmi disahkan berkat dukungan dari 14 anggota DK PBB yang menyetujuinya. Sedangkan Amerika Serikat memilih abstain dalam pemungutan suara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataan di akun X, Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz mengatakan pada Senin bahwa Tel Aviv tidak akan melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Negara Israel tidak akan gencatan senjata. Kami akan menghancurkan Hamas, dan akan terus berperang sampai seluruh sandera kembali ke rumah," kata Katz dikutip dari Al Jazeera.
Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan juga menyatakan bahwa resolusi tersebut gagal menuntut gencatan senjata dengan syarat pembebasan tawanan di Gaza. Ia menyatakan resolusi tersebut merusak upaya untuk memastikan pembebasan tawanan.
“Ini merugikan upaya-upaya ini karena memberikan harapan kepada teroris Hamas untuk mendapatkan gencatan senjata tanpa membebaskan para sandera. Semua anggota dewan… seharusnya memberikan suara menentang resolusi yang tidak tahu malu ini,” katanya.
Namun menurut hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan mengikat semua negara anggota PBB. Termasuk Israel dan Palestina yang berstatus pengamat PBB. Dengan demikian, apabila suatu negara tidak mematuhi resolusi, maka DK PBB akan mengeluarkan sanksi.
Sanksi Bagi Negara yang Melanggar Resolusi PBB
Dikutip dari journal.ubaya.ac.id, berikut adalah sanksi-sanksi bagi negara yang melanggar keputusan-keputusan DK PBB.
1. Penangguhan Hak-Hak Istimewa Sebagai Anggota PBB
Dalam Pasal 5 Piagam PBB diatur bahwa Majelis Umum PBB atas rekomendasi Dewan Keamanan PBB memiliki kewenangan untuk menangguhkan hak-hak istimewa keanggotaan dari anggota yang menolak untuk mengikuti tindakan penegakan yang diambil.
2. Pengusiran Suatu Negara dari Keanggotaan di PBB
Berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB, pengusiran merupakan tindakan yang diambil oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB terhadap negara yang terus-menerus menentang, melawan, atau melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB.
Bagi PBB, tindakan pengusiran sebenarnya dapat menimbulkan kesulitan karena dapat menutup kemungkinan bagi negara tersebut untuk mengajukan kembali keanggotaannya di masa mendatang.
Pengusiran merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara anggota PBB secara terus menerus mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Sanksi ini pernah diterapkan dalam kasus Yugoslavia pada 1992.
Negara tersebut tidak dapat meneruskan keanggotaan di PBB dan harus mengajukan lagi keanggotaannya sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Piagam dan tadak lagi dapat ikut serta dalam persidangan.
3. Embargo Ekonomi
Negara-negara yang melanggar prinsip-prinsip PBB, yang secara langsung dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 41 Piagam. Sanksi tersebut dapat berupa pemutusan seluruh atau sebagian hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio, dan sarana komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik.
Sanksi ekonomi yang bersifat wajib atau dapat dipaksakan sesuai dengan Pasal 41 Piagam ini pertama kali diberlakukan terhadap Iraq pada tanggal 6 Agustus 1990, setelah invasi Iraq ke Kuwait. Meskipun demikian, Iraq tetap tidak mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB bahkan setelah penerapan sanksi tersebut.
4. Sanksi Militer
Jika suatu negara yang melanggar aturan masih menolak untuk mematuhi keputusan Dewan Keamanan PBB, maka sanksi militer dapat diterapkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 Piagam, yang memberikan wewenang bagi DK PBB untuk menggunakan angkatan udara, laut, atau darat yang diperlukan untuk menjaga atau mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional.
Tindakan ini dapat mencakup demonstrasi, blokade, dan tindakan militer lainnya yang melibatkan angkatan udara, laut, atau darat dari negara-negara anggota PBB.
Sanksi militer pernah ditujukan kepada Iraq pada 29 November 1990. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 678 mengancam Iraq dengan sanksi militer sesuai dengan Pasal VII Piagam jika Iraq tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1441, yang dikeluarkan pada tanggal 8 November 2002.
5. Pembentukan Pengadilan Kejahatan Intenasional
Sanksi terakhir bagi negara yang melanggar resolusi adalah pembentukan pengadilan kejahatan internasional oleh DK PBB untuk mengadili pelanggar HAM berat. Berdasarkan Pasal 29 Piagam PBB, DK PBB memiliki kewenangan untuk membentuk Pengadilan HAM Internasional ad hoc bila pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh suatu negara tidak sesuai dengan standar internasional.
DK PBB pemah memutuskan untuk membentuk Pengadilan Kejahatan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran secara serius terhadap hukum kemanusiaan internasional yang mereka lakukan di wilayah bekas Yugoslavia yang dikenal dengan nama Interational Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICYT) pada 22 Februari 1993, dan kemudian telah pula dibentuk Pengadilan Kejahatan untuk Rwanda (Interational Tribunal for Rwanda).
Pilihan Editor: Mampukah Resolusi DK PBB tentang Gencatan Senjata Menghentikan Perang Israel di Gaza?
RIZKI DEWI AYU | AL JAZEERA