Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tidak diragukan lagi bendera Inggris, Union Jack akan
diturunkan dari semua tiang bendera di Hong Kong pada tanggal 1
Juli 1997. Sebagi gantinya akan berkibar Hung Qi (baca: Hung
Ji) bendera merah RRC. Pada hari itu Hong Kong, yang semula
koloni Inggris, akan berpindah kiblat ke Beijing. Pulau batu
yang dahulu miskin dan tandus itu, kini menjadi sebagai wilayah
termahal di dunia (harga tanah tertinggi: HK$ 42.800 per m2:
sewa tanah tertinggi: HK$ 321 per m2) dengan ribuan pencakar
langit berdesakan di seantero penjuru, seusai perjanjian, harus
dikembalikan Inggris kepada yang empunya.
Dalam tempo kurang dari satu abad, Hong Kong telah menobatkan
dirinya sebagai pusat modal ketiga terkuat di dunia, sesudah New
York dan London. Pelabuhan bebasnya yang mementalkan pulau itu
ke tingkat ekonominya yang sekarang, telah menjelma jadi titik
teramai lalu lintas laut di belahan bumi Selatan -- tiap hari
10.000 kapal barang berseliweran di antara-ribuan jung-jung
Cina.
Perkembangan pesat dan menakjubkan dari Hong Kong bahkan sampai
mengilhami Bapak Nasionalisme Cina Dr. Sun Yat Sen dengan
gagasan-gagasan revolusioner. Selang beberapa dekade kemudian,
penguasa RRC melihat lain. Di hadapan Majelis Umum PBB, 1971,
mereka menyuarakan tuntutan. Katanya: "Hong Kong dan Makao
adalah bagian dari wilayah Cina, karena itu penyelesaiannya
merupakan urusan dalam negeri Cina pula. Untuk itu akan
dicarikan jalan keluar yang pantas, apabila kondisinya telah
matang."
Kapan? Beijing ternyata lebih sibuk memperjuangkan Taiwan dan
repot dengan berbagai urusan "revolusi dan pembangunan dalam
negeri". Hong Kong seperti terlupakan sampai Perdana Menteri
Inggris Margaret Thatcher dalam kunjungannya ke Cina September
1982, mengingatkan perjanjian sewa Hong Kong yang sudah akan
berakhir dalam waktu 15 tahun.
Sebenarnya, sesuai bunyi perjanjian Nanking, Hong Kong yang
luasnya 32 mil persegi itu, abadi (in perpetuity) menjadi milik
Inggris. Tapi keabadian itu tidak ada gunanya, karena begitu hak
sewa New Territories yang dipegang Inggris habis (juga pada 1
Juli 1997), Hong Kong kontan kehilangan 90% dari seluruh luas
tanahnya, berikut lapangan udara, sumber air minum, separuh
jalur bawah tanah, dan sebagian besar wilayah perumahan. Dalam
kata lain, tidak ada gunanya bagi Inggris mempertahankan Hong
Kong lebih lama.
"Kami akan pergi, begitu batas waktunya lewat," tutur Thatcher
di hadapan para pemuka RRC di Beijing. Ini sesuai dengan tekad
Inggris untuk melepaskan seluruh koloninya secara bertahap.
Bukankah kolonialisme itu sudah terlalu kuno? Akan halnya
Falkland tentu berbeda, karena pulau itu "ditemukan" Inggris,
bukan disewa.
Tapi ramai-ramai isu Hong Kong bukanlah bermula dari niat baik
PM Inggris itu. Juga bukan karena tuntutan Cina. Hatta,
tiba-tiba disadari bahwa kontrak-kontrak dagang, sewa-menyewa
tanah, dan penanaman modal umumnya berlaku di sana dalam kurun
waktu 15 tahun. Dari sinilah ketahuan, bahwa tahun 1997, sudah
kurang dari 15 tahun.
Dan sejak itu gelombang keresahan muncul tak tertahankan.
Sebelum perundingan pertama RRC-Inggris berlangsung awal Juli
silam, orang kaya Hong Kong sudah lebih dulu memindahkan modal
mereka ke AS, Eropa Barat, dan Jepang. Sementara mereka memang
masih beroperasi dari pulau itu, tapi sewaktu-waktu bisa saja
angkat kaki. Memang, belum terjadi eksodus menyolok, ke AS,
Kanada, ataupun Australia, namun paspor dan pelbagai surat-surat
penting lainnya sudah disiapkan. Juga surat bukti
kewarganegaraan.
Nasib Hong Kong ternyata dipandang sangat serius, hingga
dianggap perlu melakukan poll pendapat umum. Hasilnya: 95%
memilih kelangsungan status quo di bawah Inggris. Secara
pribadi, para pengusaha bersikap lebih kritis, sebagian besar
kaum intelektual memandang RRC dengan curiga, sedangkan rakyat
kecil (50% dari 5,5 juta penduduk Hong Kong) pasrah menunggu.
Tercemplung dalam situasi yang serba tidak menentu, bidang
ekonomi segera terkena bencana. Nilai HK$ merosot terhadap US$,
kegiatan perdagangan berkurang. Pasar modal mengalami kelesuan
yang berulang sejak tahun silam, nilai saham rata-rata turun
21%. Harga tanah untuk industri anjlok 40%-80%, sewa gedung
20%-30%.
Tingkat pertumbuhan ekonomi cuma mencatat 4% (1982), dibanding
11% (1981). Penambahan investasi hanya 2% (1982) dibandingkan
13% (1981). Seorang pengusaha yang dilanda prihatin sampai
berkata: "Hong Kong menanggung beban ganda: ekonomis dan
politis."
Beijing, yang sangat berkepentingan dengan kemakmuran Hong Kong,
tentu tidak senang melihat segala kemerosotan itu. Menyambut
perundingan pertama tentang Hong Kong, di Beijing, Deng
Xiaoping, orang kuat Cina berpesan: "Cina tidak mengirim
pejabatnya ke Hong Kong. Kota itu berhak mempunyai badan-badan
hukum dan legislatifnya sendiri, yang tentu saja harus serasi
dengan UUD Cina."
Pernyataan Deng itu didukung konstitusi RRC yang baru, yang
meski tidak khusus menyebut Hong Kong, ada mencantumkan
kata-kata "daerah administrasi khusus dibolehkan, jika dipandang
perlu." Di Hong Kong, ucapan Deng ditafsirkan sebagai kesediaan
RRC menerima sebuah Pemerintah Hong Kong yang otonom dengan
kekuasaan lokal yang luas. Apalagi, kepada tamunya, Deng belum
lama ini menegaskan: "Hong Kong bisa saja diperintah oleh
penduduk koloni itu dan ia tidak mesti seorang keturunan Cina."
Sampai di mana kebenaran kata-kata Deng bisa dipegang? Apakah
itu sekadar menenteramkan atau menyamarkan usaha-usaha RRC yang
terus dilancarkan kini? Nampaknya, dugaan terakhir ini yang
betul. Tahun lalu, Bank of China, membeli sebidang tanah paling
strategis di bilangan Victoria, Hong Kong. Ini semata-mata untuk
menetralisasi kecurigaan penduduk yang waktu itu sedang
parah-parahnya dihinggapi wabah cemas.
Kejutan lain adalah peresmian Industri Cemerlang Abadi, yang
menurut direkturnya Wang Guangying, akan bertugas mengimpor
teknologi Barat untuk modernisasi Cina. Wang, adik mendiang
Presiden RRC Liu Shaoqi berkantor di lantai lima Pusat
Perdagangan Timur Jauh, di Hong Kong. Masyarakat setempat
menilainya sebagai bagian strategi RRC menyambut kembalinya
koloni itu ke pangkuan ibu pertiwi.
Tapi yang lebih penting adalah pengangkatan Xu Jiatun, ketua
PKC Provinsi Jiansu, sebagai kepala Kantor Berita Cina di Hong
Kong merangkap sebagai konsulat tidak resmi RRC. Kantor ini
sejak lama mewakili berbagai kepentingan RRC, juga berfungsi --
mengeluarkan visa untuk mereka yang berkunjung ke daratan Cina.
Mengapa Xu ? Kuat dugaan, supaya persiapan Beijing menyambut
Hong Kong bisa diatur rapi. Bukankah di hadapan satu diskusi, Xu
pernah berkata: "Sebelum dan sesudah pemulihan kedaulatan Cina
atas Hong Kong, tindakan-tindakan yang mustahak akan diambil,
terutama dalam upaya mempertahankan kemakmurannya."
Sementara seorang pejabat Beijing sudah tidak enggan lagi bicara
soal kemakmuran, sejumlah pengusaha Hong Kong yang khusus
diundang ke RRC, justru semakin waspada. "Jika Cina berniat
menguasai Hong Kong tahun 1997 kelak, koloni itu tak ayal, akan
kehilangan kekayaannya dalam waktu singkat," begitu komentar
salah seorang dari mereka.
Tapi kekhawatiran itu dengan cepat ditangkis Deng. "Tidak cuma
perasaan, tapi pundi-pundi penduduk Hong Kong juga akan dijaga
baik-baik," katanya. Pastilah Beijing tergiur akan potensi modal
Hong Kong, tapi apakah sikap yang sama juga terwakili dalam
perundingan, itu masih tanda tanya.
Setelah berunding dua kali di Beijing, awal dan akhir Juli,
menurut PM Zhao Ziyang, perundingan sudab harus selesai paling
lambat dalam tempo dua tahun. Delegasi Hong Kong dipimpin Duta
Besar Inggris di Beijing, Sir Percy Craddock, sementara delegasi
RRC dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Yao Guang. Perundingan
disebutkan "bermanfaat dan konstruktif", sedangkan London
kabarnya akan mengeluarkan pengumuman, pada saat yang tepat.
Sikap hatihati ini dipertahankan kedua pihak, satu hal yang
mengesankan betapa pentingnya stabilitas ekonomi Hong Kong di
mata mereka.
Kericuhan memang tidak dapat dihindarkan, di saat Gubernur Hong
Kong Sir Edward Youde menamakan dirinva "wakil rakyat Hong Kong"
kepada wartawan yang mengerumuninya di Beijing. Pernyataan ini
langsung dikoreksi menteri luar negeri Cina. "Tuan Youde hanya
berhak mewakili Pemerintah Inggris," katanya.
RRC memang terlalu peka mendengar istilah kedaulatan. Sebab
kasus Hong Kong ini berkaitan erat dengan citra kedaulatan
negara itu di mata dunia. Seorang pengamat di Indonesia
berpendapat sama. Dia juga yakin, kembalinya koloni itu ke bawah
naungan RRC bukan saja mengukuhkan keabsahan rejim Deng, juga
membuktikan sekaligus pada dunia bahwa soal-soal bekas jajahan
tidak terkecuali Taiwan, bisa diselesaikan secara damai oleh
RRC.
Sejauh yang menyangkut Hong Kong, sikap Beijing sudah tidak bisa
ditawar. Bukankah ada tiga sasaran: modernisasi, kembalinya
Taiwan, dan pulihnya kedaulatan Cina atas Hongkong merupakan
tugas besar sebelum negara itu memasuki ambang abad ke-21?.
Jadi, koloni itu harus kembali dan Pemerintah Inggris mesti
angkat kaki. Tapi perumusan untuk itu semua, masih harus
dirundingkan.
Spekulasi tak ayal berkembang. Di Hong Kong silang-siur pendapat
mengesankan penduduknya tidak terlalu mengunggulkan penguasa
Inggris. Tapi lebih mempertahankan sistem ekonomi yang ada,
sistem kapitalis, yang kabarnya hampir-hampir murni. Di sini
harta apa pun bisa disimpan atau ditransfer dengan sangat mudah,
sedangkan pajak pendapatan tertinggi cuma 15%. Tidak salah jika
Ketua Kamar Dagang Hong Kong, Jimmy Mc Gregor berkata: "Hong
Kong adalah pangkalan kapitalis terakhir di dunia."
Dalam iklim seperti itu, salahkah jika banyak pengusaha Hong
Kong curiga pada itikad baik Beijing? "Pejabat sama (maksudnya :
RRC) percaya bahwa kita bisa hidup di bawah administrasi
komunis, tapi dengan sistem ekonomi kapitalis. Mereka jelas
tidak mengerti apa yang mereka katakan. "Suratkabar Financial
Times di London yang baru saja bubar itu, malah berani berkata,
"Orang-orang Cina itu mestinya mengaku saja tidak sanggup
mengelola Hong Kong. Kalau itu mereka lakukan, Hong Kong bukan
lagi Hong Kong namanya."
Ketua Far East Stock Exchange, Ronald Li meragukan, apakah
Beijing bisa memberlakukan sistem politik dan hukum yang bisa
dipercaya. Direktur Unisouth & South Textiles, Liu Hon-tong,
memastikan, "Pikiran komunis akan menghancurkan sistem di Hong
Kong. Tapi jika kebebasan individu dan kelancaran gerak modal
bisa dipertahankan di sini, siapa yang penguasa tidaklah jadi
soal benar." Maksudnya: Inggris boleh, Cina pun boleh.
Sementara itu Alex Woo, direktur Central Textiles, tidak yakin
bahwa konsep negara sejahtera yang dianut Inggris bisa diterima
di Hong Kong. Sedangkan sistem komunis pasti akan ditolak.
"Kalau mau sejak dulu saja kami menyeberang perbatasan," ucapnya
ringan.
Namun, ada juga kelompok yang cenderung memihak Beijing.
Kelompok dengan nama Meeting Point itu belum lama ini bikin
geger Hong Kong. Terdiri dari para cendekiawan muda, mereka
mengunggulkan pemisahan kekuasaan yang sayang tidak jelas: 'RRC,
menangani urusan luar negeri dan pertahanan, Hong Kong urusan
dalam negeri. Seorang walikota diangkat lewat pemilihan, sebuah
dewan kota bertugas membuat laporan tahunan ke Beijing. "Tapi
bagaimana persisnya nanti hubungan Hong Kong, RRC, itulah yang
luput dari konsep mereka.
Apa pun gagasan masing-masing pihak, yang pasti semua itu tidak
bisa dilepaskan dari posisi Hong Kong yang unik. Posisi yang
bisa dimanfaatkan oleh penduduknya sendiri, Pemerintah Inggris
dan RRC. Sukar dijelaskan bagaimana koloni sempit berbatu-batu
itu bisa memberi makan 5,5 juta jiwa 2 juta di antaranya adalah
pelarian dari RRC. Sebagian mereka tertampung sebagai tenaga
kerja murah, entah di pabrik mainan, plastik, rambut palsu,
alat-alat elektronik, ataupun di industri film. Sebagian lagi,
mencari sesuap nasi dalam cara-cara yang terkadang hampir-hampir
mustahil. Tapi apa pun caranya, mereka tetap dapat bernapas dan
berkembang biak.
Bagi RRC, Hong Kong adalah sumber devisa utama: 40% seluruhnya.
Lewat pulau ini, dahulu RRC, memasarkan barang-barang keluar.
Kini, untuk membina empat wilayah ekonomi khususnya, Shenzen di
antaranya, RRC bisa belajar banyak dari Hong Kong. Sedangkan
bagi Inggris, koloni itu tetaplah partner dagangnya yang terkuat
di Asia, meski ekspornya ke sana lebih kecil.
Tiap tahun rata-rata Hong Kong mencatat US$ 100 juta untuk
neraca perdagangan yang aktif dengan Inggris. Pasar Inggris
memang belakangan banyak beralih ke Eropa, tapi perusahaannya
masih banyak yang mangkal di sini. Perlu juga di catat,
sepertiga dari penghasilan Hong Kong, mengalir ke dalam kas
pemerintah "crown colony."
Dalam iklim begitulah Hong Kong berkembang mulai dari pelabuhan
bebas meningkat ke pusat perdagangan, melaju ke industri ringan
(barang mainan, plastik, tekstil). Ketika Taiwan dan Korea
Selatan muncul di pasaran tekstil, Hong Kong meloncat ke
industri pakaian jadi yang mengutamakan mutu tinggi. Pengusaha
muda di sana segera pula rnenciptakan produk-produk baru,
misalnya, pesawat telepon yang disainnya genit dan pelbagai alat
elektronik.
Namun, investasi terbesar masih tertanam di bidang real-estate,
asuransi, perbankan, perkapalan. Nama besar yang menonjol: Hong
Kong & Shanghai Bank Corporation Hong Kong Land, Cheung Kong
Holdings, Sun Hung Kai Properties, dan Carrian Group. Sebagai
perusahaan konglomerat, model mereka sudah menjelajah ke AS,
Eropa Barat, dan Jepang, belakangan ke negara-negara Asia
Tenggara. Dalam situasi tidak menentu seperti sekarang, banyak
pengusaha Hong Kong diam-diam menilai Singapura sebagai negeri
paling ideal untuk investasi, meski rakyatnya belum tentu
menyambut mereka dengan tangan terbuka. Indonesia sendiri
mencatat investasi modal Hong Kong sebagai kedua terbesar,
sesudah Jepang. Pada (periode 1967-1980) untuk wilayah Jawa
Timur saja mereka menanamkan modal sebesar US$ 47,854 juta.
Bagi pemilik modal besar seperti raja kapal Y.K. Pao, jelas
tidak ada masalah. Dalam nada setengah berolok-olok, ia bahkan
diramalkan akan menjadi gubernur Cina yang pertama di Hong Kong.
Tapi bagi rakyat kecil bagaimana? Tidak syak lagi, dalam batin
mereka tetap merasa diri Cina, tapi dalam sikap dan cara hidup,
mereka kapitalistis. Untuk mereka yang terperangkap dalam
dualisme seperti ini, Ronald Li menawarkan satu pemecahan,
praktis. Supaya Beijing tidak kehilangan muka, katanya, Inggris
mesti menyerahkan koloni Hong Kong kepada RRC sebelum 1997, tapi
kemudian Cina menyewakannya kembali pada Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo