Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba terdengar gemuruh di seluruh penjuru Kota Leninakan, di Republik Soviet Armenia. Lalu bumi di daerah Uni Soviet selatan itu pun terasa bergetar, dan kemudian hampir seluruh bangunan di kota itu roboh. Leninakan, dihuni 290 ribu jiwa, kota terbesar kedua di Armenia, praktis jadi puing karena gempa berkekuatan 6,9 skala Richter, Rabu pekan lalu. Guncangan gempa itu tak cuma terasa di Armenia, tapi juga sampai ke Amerika, membuat Mikhail Gorbachev, yang sedang mengadakan kunjungan kenegaraan di Negeri Reagan, menyingkat acaranya. Pemimpin glasnost itu balik ke negerinya Jumat pekan lalu, sehari lebih cepat dari yang direncanakan. Ia pun menunda kunjungannya ke Kuba dan Inggris. Gempa terburuk di kawasan Kaukasus dalam 80 tahun terakhir itu sampai awal pekan ini belum bisa dipastikan jumlah korbannya. Menurut siaran resmi yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Uni Soviet, Yevgeni I. Chazov, 50.000 orang mati. Menurut dugaan para wartawan, jumlah korban lebih dari 100.000 jiwa. Chazov tak mencoba membantah sinyalemen para wartawan, sebab banyak orang tertimbun hidup-hidup, jumlah korban masih bisa terus bertambah. "Paling sedikit 20 jiwa mati perlahan-lahan setiap jamnya," ujar Chazov. Tampaknya, korban gempa ini memang lebih besar dibandingkan korban gempa besar di Mexico City tiga tahun lalu (9.500 orang). Dan itu cuma menambah penderitaan orang-orang Armenia, yang sejak 10 bulan lalu bertikai dengan tetangganya, orang-orang Azerbeijan. Februari lalu kedua bangsa itu berebut daerah yang disebut Nagorno-Karabakh. Orang Armenia merasa, itulah daerah mereka berdasarkan sejarah, dan juga karena sampai sekarang sebagian besar penghuni daerah itu keturunan Armenia. Tapi bukan cuma orang Azerbeijan yang tak mau melepaskannya, juga Moskow dengan tegas menyatakan Nagorno-Karabakh masuk wilayah Republik Soviet Azerbeijan. Sejak itu, negara bagian negeri yang mulai menyingkapkan tirai tiraninya itu dilanda demonstrasi. Bentrok fisik antara orang Armenia dan Azerbeijan sering meletup. Entah mengapa orang-orang Armenia, sekitar 3,5 juta, dalam pertikaian ini selalu dikalahkan oleh orang-orang Azerbeijan yang berjumlah lebih dari 6,5 juta jiwa. Sampai pekan lalu tercatat 70 orang Armenia jadi korban. Bencana gempa sekarang ini tampaknya sama sekali tak melunakkan pihak Azerbeijan. Malahan mereka seolah mengail di air keruh. Tatkala bumi Armenia bergoyang, orang-orang Azerbeijan menyulutkan api ke beberapa rumah, mengejar-ngejar penghuninya. Konon, banyak orang Armenia yang lintang pukang mencoba menyelamatkan diri membawa pisau, tongkat, atau apa saja yang bisa dipakai melindungi diri. Soalnya, bukan cuma gempa yang mengancam jiwa mereka, juga si Azerbeijan. Itu sebabnya, sementara berbagai jenis bantuan (dokter, obat, alat pencari orang yang tertimbun, pemadam kebakaran) dari Inggris, Prancis, dan Amerika diterima dengan tangan terbuka, tawaran bantuan sejumlah dokter dari Azerbeijan ditolak pemerintah Armenia. Adalah kisah seorang Omaira Sanches gadis 13 tahun yang terbenam dalam lumpur ketika gempa melanda Mexico City, terulang di Armenia. Harian Sotsialisticheskaya Indstriya malaporkan, seorang gadis kecil separuh tubuhnya terbenam di reruntuhan. Sambil merintih ia memanggili ibunya dan minta dibawakan air minum. Seorang petugas penyelamat menyorongkan pipa air ke mulutnya. Sampai pekan ini berita tentang gadis itu belum jelas benar. Memang, ini bukan gempa terdahsyat dalam sejarah gempa (gempa di Iran, 1978, mencapai 7,7 skala Richter di Tangshan, Cina, 1976, berskala 7,8 sampai 8,2 dan di Mexico City tiga tahun lalu 8,1). Tapi bila diramalkan korban demikian besar, itulah sebuah ironi. Di negeri yang punya banyak peluru kendali dan pesawat tempur ini, ternyata alat penyelamat gempa kurang adanya. Koresponden koran pemerintah Komsomolskaya Pravda melaporkan bahwa hanya satu alat penderek yang bekerja sia-sia di depan gedung-gedung yang runtuh. Lain daripada itu -- mungkin karena 80 tahun aman dari gempa -- petugas pemantau gempa tampaknya agak lalai. Sebelum gempa menggoyang Leninakan, alat pemantau gempa di kawasan itu tiba-tiba bergerak pada skala antara 9 dan 10,7. Tak jelas, mengapa petugas tak buru-buru memberi tahu ke arah mana gempa bergerak. Dan lagi-lagi, ironis bahwa Soviet mengabaikan peta daerah rawan gempa yang dibuat oleh Institut Ilmu Bumi di Moskow pada tahun 1985. Akibatnya, di daerah potensial gempa pun orang membangun rumah tanpa ingat bahwa suatu kali mereka akan digoyang gempa termasuk orang-orang Armenia yang tanahnya dikelilingi gunung tinggi dan ngarai curam, daerah yang potensial gempa. Mungkin setelah glasnost dan perestroika, program ketiga Gorbachev adalah rumah tahan gempa. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo