Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jejak Politis Sang Vokalis

Bono Vox, penyanyi grup rock Irlandia, U2, bersanding dengan pasangan Bill dan Melinda Gates sebagai tokoh paling berpengaruh pada 2005 menurut versi majalah Time.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA hari sebelum peringatan 25 tahun kematian John Lennon pada awal Desember 2005. Bono Vox berdiri di balkon apartemennya yang menghadap taman Central Park, New York. ”Kamu tahu lagu John Lennon yang saya paling tidak senangi?” ia bertanya. Sebelum lawan bicaranya menjawab, Bono menukas, ”Imagine. Akar lagu itu adalah pemikiran (Lennon) bagaimana sesuatu seharusnya terjadi. Tapi orang-orang membajak idenya dan menjadikan Imagine sebagai lagu kebangsaan para pengkhayal. Saya tak suka berkhayal,” ujar Bono alias Paul David Hewson kepada Josh Tyrangiel dari majalah Time.

Bono bukan pengkhayal. Itu sebabnya Time memilih rocker kelahiran Dublin, Irlandia, 45 tahun silam, itu sebagai Tokoh Tahun Ini bersama taipan internet, pasangan Bill dan Melinda Gates. Bono menjadi penyanyi pertama yang masuk daftar sepanjang 78 tahun sejarah penghargaan Time. Kehormatan ini dia terima bukan karena prestasinya menghela U2—grup rock yang dibangunnya pada 1976 dan sudah menjual lebih dari 50 juta keping album di Amerika saja. Bukan pula karena kata-katanya didengar mendiang Paus Yohanes Paulus II sampai Nelson Mandela.

Bono adalah perkecualian dalam peta musik rock. Ia bisa mendebat George Bush atau membuat Tony Blair mengangguk kepada ide-idenya. Dalam pertemuan Kelompok Delapan (G8) di Gleneagles, Skotlandia, Juni lalu, lima dari delapan kepala pemerintahan bertemu dengan musisi ini. Sehari sebelumnya, Bono mengunjungi Downing Street 10, kantor Perdana Menteri Inggris. Dia lihat para negosiator kedelapan negara—mereka disebut Sherpa—belum sepakat tentang cara penyaluran dana bantuan sebesar US$ 50 miliar (Rp 500 triliun).

Setelah memperkenalkan diri, Bono berkata: ”Dua puluh tahun lagi Anda akan mengenang pekan ini sebagai salah satu saat yang paling membanggakan dalam hidup Anda.” Matanya menyapu seisi ruangan. Menjelang penutupan sidang, dia berujar kepada Presiden George W. Bush, ”Dalam banyak hal, sulit menerka apa yang Tuhan inginkan dari kita. Tapi untuk yang satu itu—menolong negara-negara yang amat miskin—Tuhan akan memberikan anugerah-Nya.” Retorikanya menyihir para pendengar. ”Bono benar-benar menguasai isu yang diusungnya—jauh lebih baik dibandingkan 99 persen anggota Kongres,” ujar Senator Republiken dari Pennsylvania, Rick Santorum.

Kisah Bono menaklukkan Kongres Amerika Serikat adalah legenda tersendiri. Pada tahun 2000, dia mampu melunakkan hati Bill Clinton untuk menghapus utang sejumlah negara berkembang, Clinton memberikan angka US$ 6 miliar (sekitar Rp 60 triliun) sebagai komitmen pemerintahannya. Sebagai langkah awal, Clinton meminta Kongres menyediakan dana tunai US$ 435 juta. Bono bersorak dan memasuki Kongres dengan kepala tegak.

Namun, Kongres menolak. ”Akhirnya saya sadar, meski Presiden sudah berkata ya, tapi ia bukan Elvis. Kongres adalah Elvis di Amerika,” ujarnya sebelum melanjutkan dengan kalimat berikut, yang kini sering dikutip, ”Tidak, Kongres Amerika adalah Kolonel Parker (manajer Elvis yang menentukan apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan sang bintang—Red.).” Berdasarkan catatan yang diterbitkan Jubilee 2000, jumlah yang disetujui Kongres hanya US$ 110 juta.

Sejak itu Bono melakukan pendekatan individual. Mula-mula dia dekati Senator Republiken Ohio, John Kasich, pakar fiskal konservatif yang suka musik. Setelah itu, Bono melobi Ketua Kongres Minoritas Nancy Pelosi dari Partai Demokrat. Pelosi yang tak begitu tertarik memberinya sedikit waktu untuk bertemu di Bandara Dulles sembari menanti pesawatnya. Bono datang. ”Dalam waktu singkat, saya lihat pengetahuannya yang mendalam tentang topik yang ia sampaikan. Komitmennya amat tinggi,” Pelosi memuji.

Pada 2002, Menteri Keuangan Amerika Serikat Paul O’Neill membawa Bono berkeliling empat negara Afrika. Sepulang dari sana, Bono membentuk organisasi nirlaba yang oleh sahabatnya, Bob Geldof, disebut DATA, nama yang memiliki dua makna, sebagai akronim dari Debt, AIDS, Trade in Africa, sekaligus sebagai target politik (democracy, accountability, transparency in Africa).

Awal tahun ini, sebelum Paul Wolfowitz terpilih sebagai Presiden Bank Dunia menggantikan James Wolfensohn, nama Bono juga disebut-sebut sebagai calon presiden. Tak tanggung-tanggung, dukungan dinyatakan oleh Menteri Keuangan John Snow dalam wawancara dengan televisi ABC. ”Saya mengaguminya. Ia sudah melakukan banyak hal dalam pertumbuhan ekonomi dunia,” ujarnya. Sayang, pilihan Snow tak mendapat sambutan luas di kabinet Bush.

Dalam biografinya, Three Chords and the Truth, digambarkan bagaimana sejak U2 berdiri, Bono selalu menjadikan panggung sebagai kelas pendidikan politik bagi para pendengarnya. Sembari menampilkan lagu-lagu dengan progresi kord sederhana yang hanya terdiri dari ”tiga jurus”, syair-syair lagu yang ditulis Bono kerap bercerita tentang kepedihan akibat digempur perang, solidaritas kemanusiaan, dan keinginan untuk melibas sekat-sekat yang membatasi antarperadaban.

Akibat kegemarannya ini, Bono sering bertumburan pendapat dengan gitaris The Edge alias Dave Evans. ”Saya tidak antipolitik, tapi mestinya pembicaraan tentang itu di tempat lain, bukan di pentas musik,” keluh The Edge. Toh, sebagai vokalis yang memegang mikrofon, kehendak Bono juga yang berlaku. Eloknya, sejak berdiri 30 silam, ketika mereka masih berusia 14-15 tahun, U2 tetap mampu menjaga kekompakan sebagai sebuah band.

Loyalitas. Barangkali inilah sifat lain Bono. Seperti kelompok musiknya, pernikahan Bono dengan teman SMP, Alison ”Ali” Stewart, yang membuahkan empat anak juga nyaris tak tersentuh skandal. Di luar aktivitasnya sebagai mitra diskusi kepala pemerintahan di sejumlah negara, Bono juga dikenal sebagai aktivis Amnesti Internasional, Greenpeace, Chernobyl Children’s Project, serta Make Poverty History.

Kedekatan sang vokalis dengan para pemimpin negara seperti Bush atau Blair tak selalu dipandang positif. Wartawan radikal George Monbiot, yang pernah dijatuhi hukuman in absentia di Indonesia, menuliskan kecamannya dalam kolom harian The Guardian, 21 Juni 2005. Menurut Monbiot, kedekatan Bono dengan pusat kekuasaan membuat ia dapat dijadikan tameng untuk melegitimasi berbagai kebijakan negara-negara maju. Bono menjawab, ”Pekerjaan saya—semua aktivitas ini—akan segera dilupakan. Tapi saya berharap problem-problem besar di dunia bisa secepatnya kita atasi.”

Bono pun terus bergerak, seperti salah satu lirik yang paling sering dinyanyikan penggemarnya: I have climbed highest mountain/I have run through the fields/.. I have spoke with the tongue of angels/I have held the hand of a devil/... But I still haven’t found what I’m looking for.

Akmal Nasery Basral


1985 U2 tampil di Live Aid, konser amal untuk mengatasi kelaparan di Afrika. Setelah konser, Bono dan istrinya, Alison Hewson, terbang ke Ethiopia. Mereka menjadi sukarelawan di rumah yatim piatu di kota kecil Wello. Parahnya tingkat kelaparan, perang, dan korupsi yang dia saksikan mulai menggelisahkan Bono.

1996 Jubilee 2000 berdiri di London, Inggris, dengan tujuan penghapusan utang bagi 42 negara HIPCs (Heavily Indebted Poor Countries).

1997 Bono mendapat informasi dari Jamie Drummond, pengacara dan aktivis Jubilee 2000, meski Live Aid sukses meraup US$ 200 juta (sekitar Rp 2 triliun), namun utang yang harus dibayarkan Ethiopia setiap tahun kepada lembaga-lembaga keuangan internasional berjumlah US$ 500 juta.

1997 Bono diangkat sebagai juru bicara Jubilee 2000. Ia mulai berteman dekat dengan ekonom Jeffrey Sachs, yang memperkenalkan dia dengan berbagai forum ilmiah.

1999 Bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II di Vatikan (Satu dari sedikit pose tatkala Bono terlihat tak memakai kacamata di depan publik).

2000 Presiden Clinton menyetujui penghapusan utang terhadap negara-negara HIPCs sebesar US$ 6 juta.

2002 Mendirikan DATA (Debt, AIDS, Trade in Africa).

2005 Bergabung dengan Make Poverty History.

2005 Masuk nominasi penerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus