Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Ahad, 29 Juli, bekas Menteri Pertanian Jepang Norihiko Akagi muncul dalam rapat kabinet dengan kepala diperban. ”Kulit saya iritasi,” ujarnya seraya menunjukkan kuitansi pembelian obat. Tapi media massa malah mencemooh dengan mengatakan bahwa wajah Akagi, 48 tahun, mewakili keadaan kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe: babak-belur, seperti habis dipukuli.
Cemooh terhadap Abe, 52 tahun, dan kabinetnya terus berlanjut. Partai Liberal Demokrat (LDP) dipermalukan Partai Demokrat Jepang (DPJ) karena kehilangan hampir separuh kursi yang harus mereka pertahankan sebagai mayoritas di Majelis Tinggi pada pemilu itu. LDP, yang menjelang pemilu memang babak-belur karena sejumlah skandal, dengan susah payah hanya meraih 37 kursi. Sedangkan lawannya, partai oposisi kiri-tengah DPJ, berhasil menambah 60 kursi dari 121 kursi yang diperebutkan.
Dengan kemenangan itu, DPJ menguasai 109 kursi (mayoritas) dari 242 kursi Majelis Tinggi, sedangkan LDP, yang sebelumnya mayoritas, kini terpuruk dengan 83 kursi setelah ditambah 20 kursi dari koalisinya, Partai Komeito Baru. Ini kekalahan terbesar LDP selama 50 tahun memerintah Jepang. Banyak pendukung LDP menyeberang, memilih partai lain. ”Pada pemilu sebelumnya, saya mencoblos LDP di bawah Koizumi (pendahulu Abe),” ujar Takeshige Iijima, 53 tahun, setelah mencoblos di Yokohama. Iijima pun menarik kesimpulan, ”Jepang di bawah kepemimpinan Abe bakal mandek.”
Kekalahan LDP segera memakan korban. Norihiko Akagi mundur Rabu pekan lalu setelah diributkan media massa karena ketidakcocokan catatan dana politiknya. Padahal ia baru dilantik Juni lalu. Dengan demikian, Akagi menjadi menteri ketiga yang mengundurkan diri dari kabinet Abe yang terbentuk September tahun lalu.
Akagi mundur justru sebelum Abe melaksanakan niatnya merombak kabinet sebagai reaksi pertama menghadapi kekalahan. Tapi, menurut Yoichi Masuzoe, legislator partai oposisi DPJ, pengunduran diri Akagi itu justru menimbulkan spekulasi bahwa inilah strategi Abe memperpanjang usia kabinetnya sekarang.
Padahal jajak pendapat yang dipublikasikan Rabu pekan lalu menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap kabinet Abe setelah pemilu melejit hingga sekitar 60 persen, angka tertinggi dalam 10 bulan masa pemerintahannya. ”Dengan tingkat persetujuan begitu rendah, sulit memulihkan popularitas hanya lewat perombakan kabinet,” ujar Yu Uchiyama, analis politik dari Universitas Tokyo. Sebab, kata dia, tak akan ada seorang pun yang berkompeten betul-betul menginginkan menjadi menteri di bawah kepemimpinan Abe.
Apalagi, di mata pendukung LDP, Abe dan kabinetnya punya sederet catatan buruk. Bekas Menteri Pertanian Toshikatsu Matsuoka, yang digantikan Norihiko Akagi, gantung diri gara-gara skandal dana partai pada Mei lalu. Sebelumnya, Januari lalu, Menteri Kesehatan Hakuo Yanagisawa mundur karena menggambarkan perempuan sebagai ”mesin pembiak”. Menteri Pertahanan Fumio Kyuma juga mundur pada Juli lalu setelah pidato kontroversi tentang pengeboman Amerika terhadap Jepang pada Perang Dunia II.
Tapi dosa Abe terbesar adalah hilangnya 50 juta catatan pensiun yang selama ini dibayar rakyat Jepang. ”Masalah pensiun itu buruk sekali. Kami semua khawatir uang yang kami bayar ada di situ,” ujar Kazuyoshi Tobita, 71 tahun, pemilik restoran di wilayah Saitama, dekat Ibu Kota Tokyo.
Padahal, selama 17 hari kampanye, Abe tancap gas pada masalah ekonomi. Ia memasang iklan satu halaman penuh surat kabar memohon pemilih yang ”marah dan cemas” semacam Nenek Tobita tadi supaya ”berpikiran damai dan penuh harapan”. Tapi Abe terlambat. Sebagian pendukung LDP sudah patah arang. ”Sejak dulu, saya selalu memilih LDP, tapi kini saya memilih Ozawa,” ujar Tobita. Ozawa yang dia maksud adalah pemimpin oposisi Ichiro Ozawa, 65 tahun.
Maka vonis pun diketuk oleh sebagian pemilih LDP yang tergambar dari hasil jajak pendapat. Jajak pendapat koran liberal Asahi Shimbun yang dipublikasikan Rabu pekan lalu menunjukkan 47 persen responden menyatakan Abe harus mundur. Sebaliknya, 40 persen mendukung Abe jalan terus. Jajak pendapat lain menunjukkan sekitar angka itu. ”Saya lebih suka dia mundur,” ujar Tobita. Maka Asahi Shimbun menyimpulkan, ”Pemilih memberi sinyal yang jelas. Perdana menteri harus mengundurkan diri.”
Dalam tradisi politik Jepang, perdana menteri mundur ketika menghadapi kekalahan yang sama. Tapi Abe berusaha meniru citra pendahulunya, Junichiro Koizumi, sebagai pemimpin yang kuat menolak desakan mundur. ”Reformasi baru setengah jalan, saya tidak bisa kabur sekarang,” katanya.
Apalagi, jika Abe mundur, LDP tak siap mencari penggantinya. Dalam struktur partai, jika Abe mundur, Sekretaris Jenderal LDP Hidenao Nakagawa akan menggantikannya. Tapi, masalahnya, Nakagawa sudah menyatakan akan mundur. Kandidat lain, Menteri Luar Negeri Taro Aso, mendukung Abe supaya bertahan. Ia berjanji akan ikut mundur jika Abe mundur. ”Kami tidak sanggup menyebabkan kevakuman politik,” ujar Abe berkilah.
Memang kekalahan LDP di Majelis Tinggi itu tak mengharuskan Abe mundur dan kabinet LDP bubar, karena LDP merupakan mayoritas dalam Majelis Rendah dan berhak membentuk kabinet. Tapi, jika Abe ngotot bertahan, posisi mayoritas partai oposisi sekarang di Majelis Tinggi akan menyulitkan Abe melaksanakan program kabinetnya. ”Mustahil dia memerintah secara efektif,” ujar Gerald Curtis, analis politik Jepang di Universitas Colombia, Amerika.
Sebab, kekalahan di Majelis Tinggi berarti legislator dari partai oposisi DPJ akan menjadi ketua parlemen, dan kubu oposisi sebagai mayoritas baru bisa merecoki kabinet Abe dengan menolak undang-undang yang diajukan pemerintah. Salah satu isu penting adalah memperpanjang undang-undang khusus antiterorisme yang akan berakhir 1 November mendatang.
Jika undang-undang ini diterima Majelis Tinggi, kapal perang Pasukan Bela Diri Maritim dapat melanjutkan tugas yang sudah berlangsung sejak 2001 memasok bahan bakar untuk angkatan laut Jepang di Samudra Hindia dan pasukan negara lain yang terlibat dalam operasi kontraterorisme di Afganistan. Jepang mengirim pasukan ke Afganistan setelah Amerika mendongkel rezim Taliban. ”Kami menentang undang-undang itu sebelumnya, jadi kami tidak akan menyetujuinya kali ini,” ujar Ozawa. Ia menuding Abe mendukung kebijakan luar negeri Amerika secara membabi-buta.
Dengan posisi DPJ sebagai mayoritas, perpanjangan undang-undang itu terancam, dan implikasinya hubungan mesra Jepang-Amerika bisa rusak. ”Jika kami tak dapat meloloskan revisi undang-undang itu, fundamen aliansi Jepang-Amerika akan guncang,” ujar seorang anggota senior LDP. Hubungan Jepang-Amerika baru saja digoyang DPR Amerika dengan lolosnya resolusi, Senin pekan lalu, agar Jepang meminta maaf karena memaksa ribuan perempuan bekerja sebagai budak seks pada Perang Dunia II. ”Abe telah tamat,” kata Gerald Curtis.
DPJ sudah tak sabar lagi merebut kursi perdana menteri. Analis politik pun menilai partai oposisi punya prospek mengambil alih kabinet. Bahkan Ozawa berada pada urutan tertinggi sebagai politikus yang pantas menjabat perdana menteri meski kondisi kesehatan jantungnya bermasalah. ”Demokrat (DPJ) sedang menuju kursi kekuasaan dan tak punya risiko apa pun,” ujar Tsuneo Watanabe, analis politik pada Pusat Studi Internasional dan Strategi di Tokyo.
Tak aneh, kubu oposisi segera melempar isu pemilu sela untuk menguji mandat LDP di Majelis Rendah. ”Pertempuran baru saja dimulai. Saya akan berusaha mengganti pemerintah dengan menantang koalisi pemerintah di Diet,” ujar Ozawa. Ide ini didukung analis Yu Uchiyama. Menurut dia, satu-satunya jalan untuk menghindarkan Jepang dari kekacauan politik adalah segera menggelar pemilu Majelis Rendah. ”Dengan pemilu Majelis Rendah, kubu mayoritas (LDP) bisa memperkuat basisnya,” ujar Uchiyama.
Tapi sekali lagi Abe menolak. Dan gempa politik bakal melanjutkan gempa besar yang membocorkan reaktor nuklir Kashiwazaki-Kariwa, Juli lalu.
Raihul Fadjri (AP, Reuters, Asahi Shimbun, NY Times, Yomiuri Shimbun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo