Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMA tak menjejakkan kaki di gereja, Anissa Latroche mendatangi Katedral Rouen di utara Prancis. Terakhir ke gereja, ia masih duduk di bangku sekolah. Saat itu ia mengikuti wisata belajar. Namun kali ini, bersama ratusan muslim lain, mahasiswi sosiologi itu mengikuti misa arwah untuk menghormati Jacques Hamel. Pastor di gereja St. Étienne du Rouvray, daerah tetangga Kota Rouen, itu tewas digorok sepekan sebelumnya.
Latroche terkejut saat mendengar berita kematian Pastor Hamel pada 26 Juli lalu. Ia makin bergidik tatkala mengetahui bahwa Adel Kermiche dan Abdel-Malik Nabil Petitjean, dua pelaku pembantaian sang pastor, berusia 19 tahun, sama seperti dirinya. "Saya bahkan belum memulai perjalanan hidup. Tapi mereka telah menghancurkan hidup mereka dan banyak orang lain," kata Latroche. "Saya sungguh tidak mengerti."
Hari itu Latroche, yang mengenakan jilbab biru pucat, tidak datang sendiri. Bersama beberapa temannya sesama muslim, ia memasuki pintu Katedral Rouen dengan langkah malu-malu. "Mereka sangat baik menyambut kami," Latroche menuturkan. Sikap jemaat gereja itu sungguh bertolak belakang dengan tindakan Kermiche dan Petitjean yang, dengan mengatasnamakan Islam, justru tak segan menghabisi nyawa Pastor Hamel.
Selain di St. Étienne du Rouvray, kawasan sejauh 133 kilometer di barat laut Paris, misa arwah berlangsung di Gereja St. Thérèse du Madrillet, dua hari sebelumnya. Tak jauh dari gereja itu, masjid Yahya menggelar doa bersama, yang diikuti sejumlah pemeluk Kristen, selepas salat Jumat. "Kejadian ini seharusnya memperkuat ikatan yang telah lama terjalin di antara kita," ujar Auguste Moanda-Phuati, pastor pengganti Hamel, di dalam masjid.
Imam Masjid Yahya, Abdellatif Hmito, mengatakan aksi brutal dua pelaku tidak akan pernah merusak hubungan harmonis antara komunitas muslim dan Kristen di St. Étienne du Rouvray. "Kalian, para pembunuh, tidak tahu sejarah kota ini, siapa Bapa Hamel, dan bagaimana sejarah masjid ini," kata Hmito dalam khotbahnya. "Kalian telah salah mengira tentang kami (umat Islam), dan kami tidak akan memaafkan kalian atas kejadian ini."
INSIDEN pembantaian Pastor Jacques Hamel mengentak publik Prancis. Dua pelakunya, Adel Kermiche dan Abdel-Malik Nabil Petitjean, memaksa pria 85 tahun itu berlutut di altar, dan menggorok lehernya dengan belati. Kermiche dan Petitjean, yang diketahui telah berbaiat kepada kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), bahkan sempat menyandera dua biarawati dan sepasang anggota jemaat lanjut usia, sebelum ditembak mati polisi.
Peristiwa horor di St. Étienne du Rouvray melengkapi rentetan aksi teror yang mendera Prancis dalam satu setengah tahun terakhir. Dari insiden Charlie Hebdo, yang menewaskan 12 orang; serangan Paris, 130 orang tewas; hingga aksi serudukan truk maut yang merenggut 84 nyawa di Kota Nice pada 14 Juli lalu. Para pelaku semua serangan mematikan itu diketahui berkelindan dengan kelompok Islam radikal, entah Al-Qaidah entah ISIS.
Pemerintah Prancis bereaksi keras, mengarahkan sorotan pada 2.500 masjid di penjuru negeri. Sejak Desember tahun lalu, di bawah status darurat nasional, mereka telah menutup 20 masjid yang dituding menyebarkan salafi radikal—interpretasi ketat atas ajaran Islam Sunni. Kelompok militan seperti ISIS menganut salafisme. "Sekitar 120 masjid di Prancis dianggap berhaluan radikal," seperti diberitakan France 24.
Respons semakin keras setelah serangan di Nice dan St. Étienne du Rouvray. Pemerintah memutuskan menyetop aliran dana asing untuk pembangunan masjid. "Tidak ada tempat di Prancis bagi mereka yang menghasut dan menyerukan kebencian di ruang doa atau di masjid-masjid," kata Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve. Terlebih, menurut catatan parlemen, sekitar 1.430 warga Prancis bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Polisi juga memantau 4.000 penduduk Prancis yang berpotensi menjadi ekstremis.
Bagi komunitas muslim Prancis, kebijakan itu dianggap menyudutkan umat Islam. "Masjid seakan-akan menjadi wadah pembibitan teroris," ucap Marwan Muhammad, direktur lembaga Collective Against Islamophobia in France. Brahim Ait Moussa, anggota serikat muslim di wilayah Pas-de-Calais, berkomentar senada. "Profil dua pembunuh (Pastor Hamel) bukan tipe remaja yang doyan ke masjid," ujarnya selepas menghadiri misa di Katedral Rouen.
Namun pemerintah Prancis bergeming. Menggandeng Dewan Muslim Prancis (CFCM), organisasi muslim terbesar di negara itu, mereka membentuk yayasan khusus untuk pembangunan dan pengelolaan masjid. Yayasan yang akan diresmikan pada Oktober mendatang itu bakal dibiayai dari pajak sektor makanan halal. Dengan begitu, tangan pemerintah tetap bersih dari campur tangan langsung terhadap urusan agama.
Bagi Prancis, negara dengan 5 juta penduduk muslim, terbesar di Uni Eropa, keberadaan yayasan itu sangat vital. Konstitusi 1905 mengatur Prancis sebagai negara sekuler, disebut laïcité. Dampak dari aturan ini, haram bagi pemerintah untuk mendanai lembaga keagamaan, baik masjid, gereja, maupun sinagoge. Namun, akibatnya, "Banyak masjid bergantung pada dana asing," begitu menurut para ahli, seperti dikutip The Atlantic.
Arab Saudi dan Qatar tercatat paling getol mendanai masjid-masjid di Prancis. Lewat badan-badan amal, miliaran duit petro-dolar dari dua negara kaya minyak itu mengalir ke Eropa. Seperti dilaporkan situs Modern Diplomacy, sepanjang 1982-2002, Arab Saudi dan Qatar telah mensponsori pendirian sekitar 1.500 masjid, 210 pusat studi Islam, dan 2.000 sekolah Islam di penjuru Benua Biru.
Arab Saudi dan Qatar juga mengekspor ulama. Di Austria, misalnya, ada 200 masjid dan 90 imam hasil "sumbangsih" dua negara Arab itu. Adapun Jerman memiliki 1.000 masjid dan 1.500 imam. Di Prancis terdapat 1.600 masjid dan 1.250 imam. "Ratusan miliar dolar telah digelontorkan untuk 'menyebarkan' Islam dan mempromosikan ideologi wahabi di Amerika Serikat dan Eropa," begitu menurut Modern Diplomacy.
DI mata senat Prancis, pengaruh asing tidak semata lewat pendanaan masjid. Pelatihan terhadap imam masjid juga disorot. Saat ini Prancis masih harus menyewa sekitar 300 imam dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. "Tapi mereka tidak beradaptasi dengan baik, tidak memahami nilai-nilai Prancis, bahkan banyak yang tidak becus berbahasa Prancis," demikian menurut senat dalam laporan pada 5 Juli lalu.
Soal sorotan senat itu, Perdana Menteri Prancis Manuel Valls memastikan para imam masjid kelak wajib dilatih di Prancis. Apalagi, menurut Dewan Muslim Prancis, "Hanya 20 persen dari semua imam di negara ini adalah warga Prancis." Pemerintah tak ragu mendepak imam masjid yang dinilai "melenceng". Sejak 2012, Prancis telah memulangkan 40 imam asing. "Mereka dideportasi. Masjid mereka ditutup," kata Menteri Cazeneuve.
Hassan El Alaoui, yang bertanggung jawab mencalonkan imam lokal dan regional di Prancis, menilai peran imam sangat vital. "Masih ada 100-160 masjid yang akan ditutup karena menyebarkan kebencian, imamnya berkhotbah takfiri," ujarnya, merujuk pada ajaran yang mengkafirkan sesama muslim hanya karena tidak sepaham. "Khotbah takfiri seharusnya dilarang di negara-negara Islam, terlebih di negara aman seperti Prancis."
Mahardika Satria Hadi (The Local, Al Jazeera, France 24, Press TV, Le Monde)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo