Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Karut-Marut di Gedung Putih

Buku terbaru jurnalis The Washington Post mengungkap kekacauan Gedung Putih pada era Trump.

6 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WASHINGTON, DC - Telepon Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis berdering pada April 2017, beberapa saat setelah serangan senjata kimia yang diduga dilakukan pemerintah Suriah terhadap warganya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ujung telepon, Presiden Donald Trump meminta Mattis melakukan hal luar biasa. Ia meminta sang Menteri membuat rencana pembunuhan terhadap pemimpin Suriah, Bashar al-Assad, dan jenderal-jenderalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ayo bunuh mereka! Ayo, kita bunuh banyak orang mereka!" kata Trump disertai sumpah serapah.

Mattis pun menyetujui usul itu untuk menenangkan Trump. Kemudian, alih-alih melakukan permintaan Trump, Mattis mengatakan kepada anak buahnya bahwa, "Kita tidak akan melakukannya. Tindakan kita akan lebih terukur." Amerika Serikat kemudian dilaporkan melakukan serangan udara yang tidak mengancam jiwa Assad.

Kisah pembangkangan Mattis merupakan bagian dari buku terbaru tentang kekacauan di Gedung Putih era Trump yang ditulis oleh jurnalis veteran The Washington Post, Bob Woodward. Bersama Carl Bernstein pada 1972, Woodward berhasil mengungkap skandal Watergate yang menjungkalkan Presiden Richard Nixon.

Ini adalah buku kedua yang menguak kisah Gedung Putih pada era Trump setelah Fire and Fury karangan Michael Wolff.

Buku terbaru Woodward bertajuk Fear: Trump in the White House berhasil mencuri perhatian publik Negeri Abang Sam setelah The Washington Post pada Selasa lalu menuliskan sejumlah cuplikan tentang potret terburuk kepemimpinan Trump selama hampir dua tahun terakhir.

Judul buku ini berasal dari pernyataan Trump ketika masih menjadi kandidat presiden. Dalam wawancara oleh Woodward dan jurnalis politik The Post, Robert Costa, pada 2016, Trump mengatakan bahwa, "Kekuatan utama, saya bahkan tidak ingin mengatakannya, adalah ketakutan."

Ketakutan pula yang dirasakan para pembantu Trump sejak taipan properti itu memegang tampuk kekuasaan di Gedung Putih pada Januari 2017. Perangai Trump yang kerap tak bisa dikontrol dan diprediksi membuat banyak orang di sekitarnya melakukan "kudeta" ataupun hal-hal yang dirahasiakan dari sang Presiden. "Rasanya kami berjalan di tepi jurang secara terus-menerus," ujar mantan staf sekretariat presiden, Rob Porter, kepada Woodward. "Pada waktu lain, kami jatuh dari tebing, dan tidak ada tindakan yang dilakukan."

Salah satu "kudeta" dalam buku setebal 448 halaman ini adalah kisah mantan penasihat ekonomi Trump, Gary Cohn, yang mencuri sebuah surat dari meja Trump yang akan secara resmi menarik Amerika dari pakta kesepakatan perdagangan bebas dengan Korea Selatan.

Cohn melakukan tindakan nyaris serupa ketika Trump hendak menarik Amerika keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) pada musim semi 2017. Amerika hingga kini masih terikat oleh dua perjanjian tersebut.

Cohn akhirnya menyatakan Presiden adalah "seorang pembohong ulung" dan mengancam untuk mengundurkan diri setelah melihat cara Trump menghadapi protes berdarah kaum supremasi kulit putih di Chalottesville, Virginia, pada Agustus 2017. Cohn-mantan bankir Wall Street keturunan Yahudi-geram setelah Trump mendukung kelompok supremasi kulit putih. Apalagi ketika ditemukan simbol swastika di salah satu kampus tempat putrinya sekolah. Cohn pun mengundurkan diri pasca- Chalottesville.

Trump mengundang kritik keras karena mengatakan "orang-orang baik" di kedua belah pihak yang bertikai dalam demonstrasi itu. Belakangan, ia mengutuk kelompok neo-Nazi dan supremasi kulit putih. Woodward mengatakan Trump menyebut pidato yang kedua sebagai "kesalahan terbesar yang pernah kubuat" dan "pidato terburuk yang pernah kulakukan".

Kekesalan terhadap Trump juga dirasakan tangan kanannya sendiri, Kepala Staf Gedung Putih John Kelly. Mantan jenderal marinir ini dilaporkan menyebut Trump idiot. Ia juga ragu akan kondisi kejiwaan Trump. "Kita hidup di Crazytown (kondisi di mana segala sesuatunya sudah kacau/gila)," tutur Kelly dalam suatu rapat.

Tentu saja, baik Trump maupun staf Gedung Putih membantah buku yang diklaim Woodward didasarkan pada wawancara ratusan jam dengan berbagai pihak di dalam Gedung Putih.

Trump menanggapi buku itu melalui kicauan di Twitter dengan mengunggah pernyataan dari Kelly, Mattis, hingga Sekretaris Pers Sarah Sanders. Kelly membantah menyebut Trump idiot. "Kami berdua paham cerita itu bohong belaka," kata Kelly.

Presiden 72 tahun itu menyebut kutipan yang dibuat Woodward dibuat-buat dan merupakan pembohongan kepada publik. "Apakah Woodward merupakan bagian dari Partai Demokrat? Sedang diburu waktu?" presiden ke-45 Amerika tersebut menyindir. THE WASHINGTON POST | THE IRISH TIMES | SITA PLANASARI AQUADINI


Nepotisme ala Trump

Paras cantik Ivanka Trump berubah menjadi menyeramkan ketika ahli strategi Steve Bannon menghentikannya saat akan menerobos masuk ke Gedung Putih. "Ingat, Anda hanyalah staf Gedung Putih," ujar Steve Bannon.

Ivanka berbalik ke Bannon. "Saya bukan seorang staf! Saya tidak akan pernah menjadi staf. Saya anak perempuan pertama Presiden!" teriaknya.

Wartawan terkenal, Bob Woodward, memasukkan kisah itu dalam buku barunya, Fear: Trump in White House. Kutipan buku itu ditulis pada Selasa lalu oleh The Washington Post dan sebagian besar bercerita tentang kekacauan di Gedung Putih sejak Trump menjabat 19 bulan terakhir.

Dalam buku yang akan dirilis pada Kamis pekan ini tersebut, Woodward menulis perselisihan antara Bannon dan anak perempuan tertua Presiden Donald Trump itu. Bannon dalam perdebatan tersebut marah dan mengecam Ivanka Trump.

"Kau staf sialan!" Bannon dilaporkan berteriak kepadanya. "Anda berjalan di sekitar tempat ini dan bertindak layaknya Anda bertanggung jawab, padahal Anda tidak lebih hanya staf!" teriak Bannon lagi.

Kemarahan Bannon dipicu oleh kecenderungan Ivanka untuk memotong rantai komando standar dan melaporkan setiap masalah langsung kepada ayahnya. Padahal setiap staf Gedung Putih lainnya diminta melapor kepada kepala staf pada saat itu, Reince Priebus.

Rupanya, sebagai putri sulung Trump, Ivanka merasa dia tidak terikat dengan aturan yang sama. Ivanka Trump dan suaminya, Jared Kushner, adalah penasihat senior untuk Presiden, meskipun mereka tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam pemerintahan. BUSINESS INSIDER | DAILY MAIL | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus