Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA-BISA Presiden Jimmy Carter sedang menjalankan sebuah
diplomasi yang berjudul mengetuk hati. Atau, kalau tidak,
menyinggung perasaan".
Pekan lalu ke Jakarta misalnya datang Ny. Patricia Derian
pembantu menteri luar negeri urusan hak-hak asasi manusia dan
perikemanusiaan. Dengan pakaian sederhana dan tanpa rias, Ny.
Derian, 48 tahun--yang oleh bawahannya cuma dipanggil Pat -
memang tak nampak sebagai seorang pengusut atau inspektur
jenderal. Tapi para pemimin negeri lain belum tentu enak untuk
menerimanya. Ia tak jadi ke Korea Selatan karena Presiden Park
mengatakan masuk angin.
Di Jakarta toh ia berhasil bertemu dengan Presiden Soeharto,
Kaskopkamtib Sudomo, Menteri Kehakiman Mochtar, para penyeru
hak-hak asasi seperti pengacara Adnan Buyung Nasution, dan
mengunjungi rumah tahanan di Salemba, Jakarta. Waktunya baik.
Beberapa minggu sebelumnya 10.000 tahanan G-30-S/PKI dibebaskan,
dan dalam rencana dua tahun kemudian semuanya bisa lepas. Pat
Derian menyatakan gembira. Ia sendiri sempat bertemu dengan
beberapa bekas tahanan.
Siaran persnya yang dibagikan beberapa belas menit sebelum ia
berangkat, penuh dengan penghargaan kepada Indonesia. Tapi ia
katakan juga bahwa ia jadi sedih oleh pengalamannya melihat
tahanan di Salemba. Apa maksudnya? Kalimat itu sudah menyatakan
apa maksudnya, jawabnya.
Namun apa itu sebenarnya belum persis benar--seperti halnya
politik luarneBeri Carter sendiri, ketika ia memberi tekanan
pada masalah hak-hak asasi. Di Manila seorang pongacara
menanyakan tidakkah politik Cartor itu cuma senjata ideologis
buat menghadapi Uni Soviet. Pat Derian menjawab bukan. Ia,
dengan semangat seorang idealis, menyatakan akan mengundurkan
diri pada saat ia ketahui bahwa komitmen Carter kepada hak asasi
manusia ternyata tak sungguh-sungguh.
Derian memang bukan dari kalangan birokrasi Departemen Luar
Negeri AS. Semangatnya tinggi dan buat sementara diplomat AS
sendiri mungkin agak terlampau berapi-api. Pat Derian, lulusan
Universitas Virginia jurusan Perawatan, adalah orang yang
diangkat Carter bukan dari kalangan yang berkecimpung dalam
diplomasi dan kenyataan-kenyataan negeri asing. Pengalamannya
hanya dalam gerakan untuk hak-hak warganegara di AS.
Adakah Derian datang untuk me-lobby pemerintah lain supaya lebih
menghormati hak-hak individu warganegara? Bisakah seorang
pejabat tinggi negara pemberi bantuan seperti AS datany untuk
tujuan itu tanpa memberi kesan bahwa ia sedang inspeksi atau
mendesak? Dalam sebuah wawancara Derian menjawab, bahwa mustahil
buat AS untuk memaksa pemerintah lain mengubah
praktek-prakteknya. Di Jakarta ia menyatakan pula: AS tak
mencoba memaksakan pandangannya pada orang lain. Meskipun
begitu atas pertanyaan wartawan TEMPO Fikri Jufri ia mengakui
bahwa rakyat AS, melalui wakil mereka di Kongres, ingin agar
bantuan negeri itu diikatkan dengan usaha AS dalam meningkatkan
penjagaan hak asasi di negeri lain.
Hanya ditegaskannya bahwa bantuan Pangan akan bebas dari ikatan
semacam itu. Kami tak akan merenggutkan makanan dari orang yang
lapar, atas nama hak asasi. Tapi ketentuan baru toh dicantumkan,
agar pangan itu benar sampai kepada rakyat yang kelaparan.
Syarat ini lebih lunak ketimbang syarat bantuan militer, yang
tak akan diberikan kepada negara di mana terdapat masalah hak
asasi manusia yang gawat.
Agaknya, seperti Presiden Woodrow Wilson 60 tahun yang lalu
lihat box), Carter dan para pembantunya, dengan nafas moralisme
yang kuat, mencoba mengubah dunia. Kita tak bisa memiliki sebuah
dunia di mana orang jadi korban oleh keadaan dan pemerintah
mereka sendiri, kata Pat Derian.
Itu memang bukan tekad baru bagi AS. Di tahun 1898 AS, atas nama
moral, membebaskan pejuang kemerdekaan Kuba dari tindasan
Spanyol. Tapi pembebasan Filipina dari Spanyol ternyata disertai
kekejaman tentara AS sendiri terhadap penduduk. Dan di masa
Eisenhower dan Menteri Luarnegeri Dulles, AS jadi semacam polisi
dunia untuk menjaga dunia bebas dari komunisme. Tapi akhirnya
adalah sebuah Vietnam yang juga dikutuk.
Mungkin karena moral adalah seperti cahaya. Ia bisa menerangi
tapi juga bisa memerangi, tapi bisa juga menyilaukan. Terutama
bila ia kita lihat di cermin, dengan rasa kagum pada diri
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo