Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ke Selatan Bertemu Saddam

Dibui sejak Desember 2003, mantan Presiden Irak Saddam Hussein tak kunjung diadili. Kesepian dan terasing, dia punya cara untuk bertahan; bersenda gurau dengan para serdadu Amerika yang mengawalnya serta bersahabat dengan burung-burung di taman penjara. Kepada para penjaganya dia berkisah tentang Presiden Bush, Bill Clinton, Ronald Reagan serta membagikan resep jitu memilih wanita.

Selama beberapa pekan, wartawan Tempo Faisal Assegaf menggali kisah-kisah Saddam di penjara dari kuasa hukumnya. Mantan Presiden Irak itu punya 23 orang kuasa hukum. Ketuanya, Ziad Khasawneh, mengundurkan diri pekan lalu karena berang pada izin besuk yang tak kunjung turun bagi timnya dari otoritas Amerika di Irak.

Laporan Faisal dituliskan kembali oleh Wenseslaus Manggut, Philipus Parera, dan Akmal Nasery Basral—setelah diperkaya dengan sejumlah riset.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima mobil militer itu merapat ke suatu kamp di Bagdad pada dini hari Minggu, 12 Juni 2005. Isinya sejumlah serdadu Amerika Serikat (AS) yang mengawal penjara Saddam Hussein di Bagdad, ibu kota Irak. Mantan Presiden Irak itu masuk kerangkeng setelah ditangkap di pinggiran Tikrit pada Desember 2003. Jangan tanya di mana lokasinya. Bahkan 23 anggota tim kuasa hukum Saddam tak tahu letaknya. Hanya otoritas Amerika di Irak yang punya informasi tersebut.

Pada Minggu pagi di bulan Juni itu, para serdadu menjemput Khalil ad-Dulaimi, salah seorang kuasa hukum Saddam. Sejurus kemudian, rombongan beriringan meninggalkan kamp. Dulaimi menumpang mobil yang di tengah. Dua mobil mengawal di depan. Yang dua lagi siaga di belakang, lengkap dengan senjata siap tempur. Pengacara itu ditemani oleh seorang tentara berpangkat kapten.

Mobil yang ditumpangi Dulaimi berkaca hitam pekat. Antara kursi belakang dan sopir dibatasi partisi gelap. Dulaimi tak bisa melihat ke luar, juga tak bisa menengok si pengemudi. Rombongan itu meluncur ke sebuah tempat entah di mana. Dulaimin yang berasal dari Bagdad cuma merasa mobil itu melaju ke arah selatan dengan kecepatan tinggi.

Sudah tiga kali Dulaimi menemui Saddam Hussein. Dua pertemuan berlangsung pada Desember 2004 dan April 2005. Prosesinya selalu sama. Ia dijemput serombongan serdadu, bergerak ke selatan dari arah bandara dalam suasana mencekam sekaligus menjengkelkan. Dia pengacara, tapi selalu dikawal bak penjahat kelas kakap.

Sejauh ini, baru Dulaimi yang menengok langsung ke penjara. Dua anggota kuasa hukum lainnya, Izzam Ghazzawi serta seorang pengacara lain asal Irak, baru mendapat izin kunjungan. Mengenai waktunya: ”Kami tidak tahu,” ujar Izzam kepada Tempo. Mantan Jaksa Agung AS Ramsey Clark, salah seorang pembela Saddam, juga lolos daftar ”laik kunjung” walau, itu tadi, belum ada kejelasan soal waktu.

Jadilah Dulaimi ”sosok tunggal” yang bertatap muka langsung di dalam sel dengan Saddam. Dalam percakapan dengan Tempo via telepon internasional seusai kunjungan, Dulaimi mengatakan, ada alasan-alasan pribadi yang membuat dia tak dapat menceritakan pengalamannya secara langsung. Rekan Dulaimi, Izzam, yang kemudian membeberkan hasil besuk koleganya kepada wartawan mingguan ini.

Tim pengacara Saddam adalah orang-orang yang berkaliber tinggi di bidangnya. Mereka berasal dari berbagai negara. Ada Roland Dumas, mantan Menteri Luar Negeri Prancis, Aisyah Qadhafi, putri Presiden Libya Muammar Qadhafi, Zyad Najdawi, seorang pengacara Yordania, serta Giovanni de Stefano dari Italia.

Mereka tak pernah bisa menemui kakek tua itu secara langsung. Saking kesalnya, ketua tim kuasa hukum Saddam, Ziad Khasawneh, mengundurkan diri pada Rabu pekan lalu. Dia mengaku berang sekali karena otoritas Amerika di Irak tak seujung kuku pun hirau pada protesnya. ”Tim kami amat sulit menemui Saddam Hussein. Bagaimana kami akan membelanya?” Jabatan kepala tim pembela kini dipegang Ramsey Clark.

Saddam Hussein sendiri tak pernah percaya pada keadilan yang dibikin tuan-tuan di Washington (lihat wawancara Tempo dengan Izzam Ghazzawi). Lahir sebagai anak petani di Tikrit, 68 tahun silam, Saddam adalah hantu tirani di Timur Tengah. Ia menggelorakan perang melawan Iran. Dia memimpin aneksasi Kuwait pada 1991, yang menyebabkan Perang Teluk I (Januari 1991–Februari 1991) meledak. Di puncak masa jayanya, musuh-musuh politik Saddam mudah meriang begitu mendengar namanya. Berkat keberaniannya melawan kepongahan Amerika Serikat, sebagian warga Irak menjunjungnya sebagai pahlawan.

Penyerbuan Amerika ke Irak yang bermula pada Februari 2001 mengubah segalanya. Di penjara itu, Saddam menjadi kakek paling sepi sejagat. Punya anak, istri, dan cucu, tapi mereka tak pernah datang menjenguk karena militer Amerika tak sudi memberi izin. Saddam hidup sendirian dalam bui berukuran 4 x 5 meter. Tidak ada jendela, cuma satu pintu. Gelap. Udaranya pengap. Saddam memasang foto kedua putranya, mendiang Uday dan Qusai, di dinding penjara. Keduanya tewas dalam pertempuran sengit di Bagdad ketika serdadu Washington menyerbu kota. Binar mata Saddam selalu meredup manakala dia menatap kedua potret itu.

Kepada Tempo, Izzam melukiskan kenangan Dulaimi tentang kondisi di ruangan sel ”Tuan Presiden”—begitu mereka menyebut Saddam—seperti ini: ”Di kamar itu terdapat satu dipan, sehelai selimut, dan sebuah bantal. Ada kamar mandi beserta kakus. Tak ada meja. Tak ada alat komunikasi. Tak ada televisi dan radio. Cuma ada satu kursi.” Saddam kerap duduk termenung di kursi itu.

Dua tahun di penjara itu, sosok flamboyan penguasa Irak itu lenyap tanpa bekas. Rambutnya awut-awutan. Janggutnya yang putih uban menjuntai ke mana-mana. Dokter militer Amerika memeriksa kesehatannya seminggu sekali.

Kegiatan Saddam di penjara berawal pada dini hari. Dia selalu salat subuh—menurut kuasa hukumnya, Pak Tua itu tak pernah alpa salat lima waktu walau waktunya mungkin tak pernah tepat. Tak ada jam dalam selnya. Untuk menetapkan waktu salat, kata Izzam Ghazzawi, ”Dia menggunakan perasaan.” Para serdadu Amerika memberinya selembar sajadah dan sebuah peci.

Pada jam sarapan, Saddam menyantap serabi Irak. Lalu dia mencuci baju, celana, seprai, lalu menjemur kasur dan mengepel lantai. Untuk mengusir kebosanan, Saddam rajin menyiram bunga. Kadang-kadang ia bermain dengan burung-burung yang berkeliaran di taman penjara atau bersenda gurau dengan para penjaga. Para wartawan berlomba-lomba mendapatkan kisahnya di dalam penjara, namun tak semiang pun militer Amerika sudi memberi izin. Maka, rupa-rupalah cara juru warta mendapatkan kisahnya dari penjara.

Wartawan Tempo Faisal Assegaf, misalnya, mengorek cerita tentang Saddam dari ahli hukumnya. Lain lagi cara majalah bulanan Amerika, GQ. Dalam terbitan terbarunya dua pekan lalu, GQ menurunkan reportase panjang tentang Saddam Hussein. Kisah itu mereka dapatkan melalui Sean O’Shea, tentara Amerika yang pernah 10 bulan mengawal Saddam di penjara. Menurut O’Shea, sebulan setelah dibui, Saddam mulai doyan makanan ringan Amerika. Ia mengemil Cheetos, gemar membuat kopi sendiri dan membagikannya kepada para penjaga. Tapi, kata O’Shea sembari tertawa, ”Rasanya tak enak.”

Saddam juga doyan cerutu Kuba yang diberikan serdadu penjaga. Sembari mengisap cerutu dia memberi wejangan politik kepada mereka dan tak segan-segan mengkritik para pemimpin Amerika. Presiden Bush dan ayahnya, George Bush, kata Saddam, bukanlah pemimpin yang cerdas. Bill Clinton, menurut dia, cukup baik. Dia memuji Ronald Reagan sebagai pemimpin yang hebat, terutama dalam memperjuangkan perdamaian.

O’Shea menuturkan, pada suatu hari seorang serdadu datang mengabarkan kematian Ronald Reagan. Saddam terlihat sedih. Sejenak ia menyendiri. Matanya berbinar ketika berujar kepada serdadu penjaga: ”Saya dan Reagan berkawan baik.”

Saddam juga gemar bergurau tentang wanita. Biasanya, sembari mengisap cerutu dia membagikan resep-resep jitu untuk mendapatkan wanita idaman. ”Carilah wanita yang baik. Tidak terlalu pintar, tapi tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu tua, tapi tidak terlalu muda. Harus bisa memasak,” kata Saddam sembari tertawa kepada para serdadu muda Amerika itu. Hubungan dia dengan para penjaganya cukup akrab. ”Jika semua masalah ini berakhir,” kata Saddam, ”saya akan mengajak kalian tinggal di istana saya dan kalian bisa melihat betapa jelitanya Irak.”

Walau dikerangkeng dalam penjara, rasa percaya dirinya tidak pudar. Suatu ketika dia berkata kepada serdadu penjaga: ”Saya masih presiden negeri ini.” Saddam juga berkali-kali minta dipertemukan dengan Presiden Bush. ”Ia tahu saya tak punya apa-apa. Tak ada senjata pemusnah massal. Ia tahu bahwa ia tak akan menemukan senjata itu,” ujarnya.

Saddam boleh jadi tak bakal pernah bertemu dengan Bush. Pemerintah Amerika juga tampaknya kian menghindari pembahasan perihal senjata pemusnah massal yang dibantah Saddam. Ketika Dulaimi mendampingi bekas pemimpin Irak itu dalam pemeriksaan pada 12 Juni, hakim Raid al-Juhi cuma mencecar Saddam dengan pertanyaan seputar pembunuhan massal warga Syiah di Dujail, sekitar 60 kilometer di utara Bagdad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus