Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kekejian di Hutan Dua Negara

Penyelundup menyandera imigran di hutan-hutan Malaysia dan Thailand. Bayar tebusan atau mati.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potongan tulang rahang manusia tergeletak di antara dedaunan dan batu di hutan Bukit Wang Burma, Desa Wang Kelian, Perlis, utara Malaysia, yang berbatasan dengan bagian selatan Thailand. Meski berwarna kekuningan dan membusuk, di rahang itu tampak gigi orang dewasa masih berbaris rapi. Kerangka semacam ini hanya sebagian dari temuan tim forensik Malaysia saat menelusuri hutan tempat penyekapan imigran oleh para penyelundup, Selasa pekan lalu.

Kepala Kepolisian Nasional Malaysia Jenderal Khalid Abu Bakar mengatakan ada 139 kuburan tersebar di 28 titik di kawasan perbukitan itu. Satu kuburan bisa berisi beberapa jenazah. "Ini pemandangan yang sangat menyedihkan. Saya terkejut. Kami tak mengira kekejaman seperti ini," kata Khalid, seperti dilaporkan Associated Press.

Seratus meter dari lokasi kuburan massal itu, berdiri gubuk dua tingkat. Menurut pengamatan The New York Times, bagian atas gubuk, meski sudah reyot, tampak seperti pos pengawas. Bagian bawah gubuk terbuat dari batang dan ranting pohon yang diikat dengan kawat berduri. Beralaskan tanah, bentuknya lebih mirip kandang hewan daripada tempat tinggal manusia. "Dilihat dari strukturnya, ini digunakan sebagai kandang manusia," ujar Mohammad Bahar Alias, pejabat senior polisi di Perlis. Bahar memperkirakan tempat itu bisa menampung hingga 300 orang.

Ada pula bagian mirip dapur dengan piring, panci, wajan, dan baskom berjejer. Sebuah boneka beruang Teddy merah muda dan sandal kecil oranye menunjukkan bahwa anak kecil pernah tinggal di sana. Sedangkan temuan rantai logam menandakan bekas penganiayaan. Polisi memperkirakan tempat itu baru ditinggal beberapa pekan, terlihat dari sisa sayuran, beras, dan peralatan masak yang lumayan baru.

Lokasi ini mirip dengan temuan sebelumnya pada awal Mei di hutan mangrove pesisir Laut Andaman, Provinsi Satun, Thailand. Tim sukarelawan Thailand tak perlu menggali tanah rawa terlalu dalam karena sudah muncul sepotong tulang. Mereka juga menemukan pakaian wanita membungkus tulang lain yang menguning. Mayor Jenderal Puthichart Ekkachan dari Kepolisian Thailand mengatakan total 36 jenazah ditemukan di tujuh lokasi penyekapan di sana.

Hutan-hutan lebat di utara Malaysia dan selatan Thailand memang kerap jadi titik singgah penyelundupan imigran menuju Asia Tenggara. Korbannya kebanyakan etnis Rohingya asal Myanmar serta warga Bangladesh yang mengarungi Teluk Bengal dan Laut Andaman dengan perahu selama berbulan-bulan.

Rohingya adalah etnis minoritas yang tak diakui sebagai warga negara dan didiskriminasi oleh pemerintah Myanmar. Mereka juga diserang ekstremis Buddha. Karena itu, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 120 ribu orang Rohingya kabur ke berbagai negara. Imigran asal Bangladesh berbeda; mereka cenderung "hijrah" karena motif ekonomi. Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyebutkan rakyatnya itu sakit mental dan menodai citra Bangladesh di mata internasional. "Tidak hanya bagi penyelundup, hukuman harus diberikan kepada mereka yang meninggalkan negeri ini secara ilegal," katanya, menurut Al Jazeera, Ahad dua pekan lalu.

Menurut Jeffrey Labovitz, Kepala Misi Organisasi Internasional untuk Imigran (IOM) Thailand, penyelundup menyandera imigran di hutan hingga ada anggota keluarga mereka datang membawa duit tebusan. "Mereka memukul imigran dan memintanya menelepon keluarga untuk datang membawa uang," ujar Labovitz, seperti dilaporkan The New York Times, walau pemerintah Malaysia dan Thailand belum merinci bentuk penganiayaannya karena menunggu hasil otopsi.

Alistair D.B. Cook, peneliti S. Rajaratnam School of International Studies di Nanyang Technological University Singapura, menambahkan bahwa penyelundup meminta tebusan hingga US$ 3.000 atau sekitar Rp 39 juta. "Pilihan lain adalah mati. Itu lebih buruk dari pemerasan."

Menurut The New York Times, gubuk penyekapan memang terpencil. Tapi mereka berada di jalur perdagangan utama yang menghubungkan Semenanjung Malaysia dengan Singapura dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Rute ini juga digunakan untuk perdagangan obat-obatan terlarang, bensin selundupan, dan pencari prostitusi dari Malaysia ke Thailand.

Belakangan, persisnya pada awal Mei, Thailand sebagai negara tujuan imigrasi giat menggelar razia penyelundup imigran. Karena itu, komplotan penyelundup kabur dari lokasi penyekapan dan membiarkan para imigran tak terurus. Walhasil, gerombolan imigran keluar menuju desa. Ketika itulah penduduk Desa Wang Kelian mulai mencium ada yang tak beres di hutan desa mereka. Imigran yang terabaikan keluyuran di jalanan dalam keadaan lemah dan terluka, lalu mengemis makanan dan air ke rumah-rumah penduduk dan masjid. "Mereka berjalan ke toko saya dengan luka di tangan dan kaki. Beberapa orang bahkan terlalu lemah untuk berbicara," ucap Lyza Ibrahim, pemilik kios buah, seperti dilansir The Guardian.

Warga desa lain yang enggan menyebut nama mengatakan sering mendengar cerita tentang nasib pedih imigran, tapi tak bisa berbuat banyak. "Kami hanya bisa menawarkan makanan, pakaian bersih. Tapi kami harus menelepon polisi dan mereka akan dibawa oleh polisi," ujarnya.

Abdul Rahman Mahmud, pemilik hostel di desa itu, juga bercerita bahwa para imigran sangat menderita. "Mereka makan biji-bijian dan dedauan atau apa pun yang mereka temukan," katanya, seperti ditulis Al Jazeera America, Rabu pekan lalu.

Mahyuddin Ahmad, juga warga Wang Kelian, mengaku sudah melihat imigran di desanya sejak dua tahun lalu. Namun mereka baru banyak terlihat dalam sebulan terakhir, berupa kelompok terdiri atas sepuluh orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Pria 55 tahun ini memberikan mi instan dan pakaian kepada imigran. "Itu pemandangan yang umum di sini. Kami tidak curiga karena kami pikir mereka dari Thailand," ujarnya.

Matthew Friedman, mantan kepala proyek antarbadan Perserikatan Bangsa-Bangsa soal perdagangan manusia, mengatakan cerita gubuk penyekapan imigran ini ada sejak sepuluh tahun lalu. "Kami sudah meneruskan informasi ini kepada pemerintah lokal, tapi tidak ada tindak lanjut," kata pria yang kini mengepalai Mekong Club, organisasi non-pemerintah anti-perbudakan di Asia, ini.

Pernyataan Friedman senada dengan laporan Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat pada 2009. Menurut laporan itu, berdasarkan penuturan imigran Myanmar yang kini tinggal di Amerika, ada ribuan golongan mereka menjadi korban pemerasan dan perdagangan orang di perbatasan Malaysia-Thailand. Laporan yang sama mempertanyakan keterlibatan pejabat Malaysia dan Thailand karena imigran yang ditahan di pusat penahanan diduga dijual ke sindikat perdagangan manusia.

Kepolisian Malaysia sendiri mengakui gubuk penyekapan imigran ada sejak 2013. Namun mereka membantah kritik yang menyebutkan bahwa mereka tak bertindak apa pun. "Kami sudah mengumpulkan informasi intelijen," ucap Jenderal Khalid Abu Bakar. Dia juga berjanji akan bertindak keras jika ada pejabat Malaysia yang terlibat.

Tak jelas apakah berkaitan dengan pernyataan itu, pada hari yang sama 12 polisi Malaysia ditahan terkait dengan perdagangan imigran. Menteri Dalam Negeri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi mengatakan investigasi awal mengungkap kaitan antara polisi hutan dan sindikat penyelundup. "Kami menduga beberapa di antara mereka terlibat," kata Ahmad Zahid. Dia bekerja sama dengan Departemen Kehutanan yang berwenang menegakkan hukum dalam kasus itu.

Lebih awal, selama Maret dan April, Kepolisian Malaysia bekerja sama dengan Kepolisian Thailand menahan 38 agen, pengangkut, pemimpin sindikat penyelundup, dan dua polisi. Mereka terdiri atas 21 warga negara Myanmar serta 16 warga Malaysia dan Indonesia. Untuk melancarkan operasinya, sindikat ini memalsukan dokumen Komisi Tinggi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR). Mereka dijerat dengan Pasal 26 A Undang-Undang Anti-Perdagangan Orang dan Anti-Penyelundupan Imigran Tahun 2007.

Penyelidik dari kepolisian Thailand mengatakan lokasi penyekapan imigran bisa beroperasi karena bantuan pejabat penegakan hukum Negeri Gajah Putih. Hampir 70 personel polisi dipindahkan dari pos mereka gara-gara terjaring razia. Patchuban Angchotipan, mantan pejabat yang juga gembong penyelundupan imigran, menyerahkan diri ke polisi setelah tempat penyekapannya terungkap. Dia pernah menjabat kepala pemerintahan Provinsi Satun. Polisi membekukan aset Patchuban senilai US$ 2 juta atau sekitar Rp 26 miliar.

Selain mempunyai bisnis haram, pria yang dikenal dengan nama Ko Tong itu memiliki perusahaan kapal cepat dan layanan feri di Laut Andaman, yang diduga digunakan pula untuk transportasi imigran. Kini dia didakwa berkolusi dalam menyelundupkan manusia, penahanan ilegal, dan penculikan. Meski demikian, perang melawan penyelundup belum berakhir. Masih ada komplotan yang dalam pelarian.

Penangkapan penyelundup pun rupanya belum cukup. Vivian Tan, juru bicara UNHCR, mengatakan pemberantasan penyelundupan manusia butuh pendekatan komprehensif dan aksi internasional yang sistematis. Dalam wawancara dengan BenarNews, Rabu pekan lalu, Tan berkata, "Ini jelas masalah regional yang butuh solusi regional. Awal yang baik jika negara-negara di kawasan (Asia Tenggara) membicarakan tantangan bersama sekarang."

Atmi Pertiwi (Al Jazeera America, Associated Press, The Guardian, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus