Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kembang gula dibayar nyawa

Yamamoto, 59, kepala polisi wilayah shiga, jepang, membakar diri sampai tewas. ia kecewa, tugasnya untuk menggulung "manusia dengan 21 wajah" yang melancarkan pemerasaan kepada perusahaan kembang gula, gagal. (ln)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK seorang pun menyangka Shoji Yamamoto, 59, akan mengakhiri hidupnya secepat itu. Seusai serah terima jabatan kepala polisi di wilayah Shiga, Yamamoto masih sempat menyapa rekan-rekan sekerjanya dan wartawan yang berada di kantornya. Bahkan ia menawarkan ajakan minum bersama kepada atasannya, Kitoshi Doi, sebelum meninggalkan tempat itu pada pukul lima petang, Rabu pekan lalu. Empat puluh menit kemudian istrinya Miyo, yang baru pulang dari salon kecantikan, menemukan tubuh Yamamoto hangus terbakar di belakang rumah mereka di Kota Otsu. Sebuah kaleng kerosin berukuran 18 liter tergeletak di samping jasadnya. Agaknya Yamamoto sudah merencanakan perbuatan nekat itu. Di tas kerjanya, ia meninggalkan tiga pesan terakhir. Kepada Miyo yang sangat dicintainya, ia hanya menulis pendek, "Jagalah dirimu baik-baik." Dua pesan lain ditujukannya kepada kepala reserse wilayah Shiga dan kepada atasannya. "Saya tidak ingin merepotkan dinas kepolisian untuk mengurusi pemakamanku," tulisnya dengan ballpoint bertinta hitam. Menurut koresponden TEMPO di Jepang, banyak dugaan menghubungkan tindakan nekat Yamamoto dengan kegagalan polisi membekuk kelompok begundal yang menyebut diri mereka "Manusia dengan 21 Wajah". Kelompok ini, sejak tahun lalu, melancarkan aksi pemerasan dengan modus: menyebarkan kembang gula beracun sodium cyanide di antara produk keluaran pabrik Ezaki Glico dan Morinaga. Dengan cara itu, mereka berharap meraih sedikitnya seratus juta yen dari Morinaga saja. Tapi perusahaan kembang gula itu menolak meladeni tuntutan kelompok yang diperkirakan beranggotakan empat orang itu - konon, seorang di antaranya anak di bawah umur. Akibat ulah para begundal itu, pihak kepolisian di seluruh Jepang sibuk mencari mereka. Pihak produsen memperketat pengawasan dlstribusi pemasaran produk mereka. Dan para pengecer banyak yang menurunkan kembang gula hasil kedua pabrik tersebut dari rak dan etalase toko mereka untuk menghindari jatuhnya korban akibat "penyusupan" kembang gula beracun itu. Pada pertengahan musim panas lalu, kelompok begundal itu melayangkan sepucuk surat kaleng, yang menyatakan bahwa mereka "ingin berlibur sejenak ke Eropa". Tidak lama kemudian, datang surat berikutnya. Kali ini, dengan nada mengejek, mereka menuntut agar sejumlah pejabat kepolisian Jepang dipecat saja. Soalnya, "Mereka tidak bisa menangkap kami," tulis "Manusia dengan 21 Wajah" itu. Memasuki November lalu, Yamamoto mendapat info bahwa kelompok buron itu akan melangkahi wilayah kekuasaannya pada tanggal 14. Maka, Yamamoto merencanakan sebuah penyergapan terhadap sedan yang diduga ditumpangi anggota kelompok pemeras Itu. Upaya tersebut ternyata gagal berantakan - seperti yang dijelaskan oleh sumber-sumber kepolisian - karena kurangnya koordinasi di antara sesama petugas. Kegagalan itu rupanya sangat mengecewakan Yamamoto. Diduga ia menganggapnya sebagai aib di ujung titian karier setelah empat puluh tahun berdinas sebagai jagabaya masyarakat. Ia memang pernah tercatat sebagal satu dari empat perwira - di antara dua ratus kandidat - yang memenuhi persyaratan khusus untuk menduduki jabatan kepala polisi wilayah. Karenanya, setelah dua tahun diperbantukan pada Badan Kepolisian Nasional, Yamamoto dipromosikan sebagai kepala polisi wilayah Shiga pada 1982. "Kematian" Yamamoto itu berhasil menggugah semangat rekan-rekannya untuk segera membekuk para begundal tersebut. "Nantikanlah pembalasan kami," ujar seorang pejabat kepolisian wilayah Hyogo, geram. Akan berhasilkah mereka? Ancaman itu ternyata tidak menggentarkan kelompok "Manusia dengan 21 Wajah". Sebab, mereka, Senin pekan ini, masih mengirimkan sepucuk surat kaleng lagi, yang ditujukan kepada para anggota Diet, majelis rendah Jepang. Di surat yang bertuliskan 307 kata dalam 21 baris itu, mereka lantas berkata, "Untuk apa Yamamoto harus mati?" Dan mereka pun menunjuk korban-korban berikut yang pantas mendapat nasib serupa Yamamoto: kepala reserse wilayah Hyogo, Yoshino, dan kepala reserse polisi wilayah Osaka Shikata. James R. Lapian Laporan kantor TEMPO (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus