Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini tidak ada peringatan Natal di Betlehem. Perayaan besar Natal yang diselenggarakan tiap tahun oleh pemerintah kota madya setempat - dengan tamu para VIP kalangan diplomat, tokoh-tokoh dunia, dan sebagian pemimpin Israel - dibatalkan. Ini adalah keputusan Wali Kota Betlehem: Elias Freij.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 16 tahun memimpin Betlehem kota kelahiran Yesus - baru sekarang Elias Freij meniadakan upacara Natal. Dan ini tak lain sebagai protes kepada pemerintah Israel, penguasa wilayah, yang telah membunuh dan menangkapi orang-orang Arab Palestina dalam kerusuhan paling gawat di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai gantinya diadakan misa malam, Jumat pekan lalu. Uskup Latin Giacomo Beltritti memimpin misa dengan hanya sekitar 1.500 jemaah. Umat Nasrani tidak berjejalan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. "Selama 19 tahun bekerja di sini, belum pernah saya menyaksikan upacara Natal sesedih sekarang," tutur seorang karyawan televisi Israel di sana. "Tiga tahun lalu juga hujan deras seperti ini, tapi jemaah tetap berjubel. Tidak sedikit seperti ini."
Hujan memang deras, tapi yang menjadi ganjalan adalah ketegangan politik akibat kebangkitan anak-anak muda Palestina sejak awal minggu kedua Desember lalu. Di Betlehem ketegangan itu juga terasa. Caracara tentara Israel menindas unjuk rasa itu tampak berlebihan. Sebanyak 36 orang Palestina tewas tertembak, dan lebih dari seribu orang lainnya ditahan.
Akibatnya pihak Israel harus menyediakan penjara darurat di dekat Hebron, Tepi Barat, dan memperluas yang sudah ada di Jalur Gaza. Dari Baghdad, dalam sebuah konperensi pers pekan ini, pemimpin PLO Yasser Arafat memberi keterangan berbeda. Menurut Arafat, orang Palestina yang tewas ada 62 orang, luka-luka 500 orang, 1.700 ditahan.
Seraya menunjukkan beberapa dokumen, ia tak lupa mengatakan bahwa semua yang tewas telah dikuburkan oleh Israel secara diam-diam. Tak bisa dipastikan mana informasi yang benar. Hanya untuk malam Natal, tentara Israel tidak mau ambil risiko. Setiap jemaah yang hendak memasuki gereja di Betlehem diharuskan melewati pemeriksaan ketat, antara lain melalui alat pendeteksi logam.
Seluruh jemaah yang berziarah ke tanah suci Nasrani di Palestina itu tak lebih dari lima ribu orang. Sekitar 2.000 jemaah lain, yang tidak masuk gereja, berdesakan di bawah payung dan tenda, seraya menyaksikan kegiatan misa lewat layar televisi raksasa. Sementara itu, satuan keamanan menyebar di segala sudut. "Dengan hujan, udara dingin, dan ketegangan politik, masyarakat kehilangan selera merayakan Natal," tambah Elias Freij.
Ketegangan memuncak sesudah empat warga Palestina tewas ditabrak truk di Jalur Gaza, pertengahan Desember lampau. Arafat menuduh bahwa orang-orang malang itu bukan tertabrak, tapi sengaja dibunuh. Entah mana informasi yang bisa dipegang, tapi kematian itu sudah menyulut kemarahan. Terjadilah aksi pembalasan, tanpa seorang pun yang memelopori dan mencetuskan. Dari segala penjuru, remaja Palestina melabrak tentara Israel.
Ada yang melempar kendaraan Israel dengan batu, ada yang menyerang tentara Israel dengan bom molotov. Mereka memasang barikade, memblokir jalan dengan ban-ban yang dibakar. Bahkan ada yang sempat menusuk seorang Yahudi, hingga tentara Israel gencar membalas dengan gas air mata dan siraman peluru tajam.
Dari persembunyiannya, anak-anak Palestina itu berteriak, "Bunuh saja orangorang Yahudi itu." Kedengarannya bombastis, tapi inilah pekik peperangan yang bisa bersipongang sampai tahun 2000 mendatang. "Kami tidak perlu diajari membenci pendudukan Israel ini," kata yang seorang. "Kami sangat merasa terpukul hingga tak takut lagi pada senjata tentara Israel," ujar yang lain, dipacu semangat menggebu.
Selama ini memang tak ada alternatif lain bagi mereka, kecuali dilahirkan, tumbuh, dan dewasa tanpa identitas. Status mereka tak jelas, karena hak-hak politik mereka tak diakui Israel. Singkatnya saja, mereka tak punya KTP, apalagi paspor. Yang disebut tanah tumpah darah mereka adalah wilayah caplokan Israel, hasil perang 1967 - Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka hidup dalam barak-barak penampungan, berimpitan di bawah udara yang berbau semangat permusuhan.
Di Gaza, tanah sempit seluas 10 x 50 km, hidup 40% dari 1,5 juta orang Palestina yang tinggal di wilayah pendudukan Israel. Dengan kepadatan 1.500 penduduk per hektar, "Gaza merupakan wilayah terpadat di dunia, sesudah Hong Kong," kata Fayez Abu Rahma, seorang ahli hukum di sana. Gaza adalah wilayah yang terlupakan, dengan penghuni yang nasibnya tak berketentuan. Selama 19 tahun berada di bawah Mesir sampai 1967 - kehidupan berjalan normal.
Tapi di bawah naungan Israel, kondisi sosial-ekonomi mereka seperti mengalami sekarat. Ada proses pemiskinan dan penggerogotan mental. Di bawah kondisi tertentu, para petani terpaksa meninggalkan ladangnya, nelayan menyingkir dari laut, dan anak-anak sekolah luntang-lantung -- pindah ke negeri orang pun tak jelas harus ke mana paspor tak ada pada mereka.
Sekitar 70 ribu orang setiap pagi melakukan perjalanan ulan~-alik ke wilayah Israel, untuk sekadar memburuh dengan upah rendah, sebagai kuli bangunan dan pemungut buah-buahan. Sampai kini seluas 50% dari wilayah sempit Gaza dikuasai tentara pendudukan Israel, dan dimanfaatkan untuk proyek-proyek keamanan dan permukiman Yahudi.
Lebih dari 20 bangunan modern berdiri di sepanjang pantainya, memupuk rasa terhina warga Palestina. Proyek dengan julukan Ha7uaii of Israel, yang dijadikan daya tarik agar lebih banyak orang Israel pindah ke sana, dibangun berdampingan dengan barak-barak warga setempat. Maka, orang yang datang akan melihat Gaza Gheto atau "Soweto gaya Israel".
Sekitar 630.000 Arab Palestina hidup di situ dalam kondisi mental dan fisik di bawah garis kemiskinan. Dan mungkin itulah yang ditargetkan oleh Israel. Wilayah pendudukan Israel lainnya, Tepi Barat, berada dalam kondisi lebih lumayan. Ada universitas di sini, dan tersedia tenaga terampil. Tetapi Israel tak ayal melakukan diskriminasi. Dalam soal pembagian air, misalnya. Air dengan debit 18 juta kubik per tahun dari Herodion, timur laut Betlehem, melulu dialirkan ke Yerusalem untuk dikonsumsi Yahudi penghuni Tepi Barat.
Warga asli, Palestina, harus menerima jatah maksimal hanya 6 juta kubik per tahun. Banyak hal lainnya yang disengaja atau tidak telah menjadikan Palestina sebuah bom waktu yang sangat berbahaya. Karena itu pula terjadi petualangan layang gantung, satu uji coba oleh seorang gerilyawan Palestina yang berhasil menyusup ke barak tentara Israel, November lalu. Dan tidak hanya itu. Ia pun berhasil membantai enam tentara Israel sebelum jatuh diberondong peluru lawan.
Lalu Israel balas dendam -- empat warga Palestina tewas dihantam truk -- setidaknya begitulah dugaan orang. "Menurut saya, salah satu penyebab aksi-aksi Palestina adalah jalan buntu yang mereka hadapi dalam upaya mendapatkan hak-hak sebagai manusia dan sebagai bangsa," kata Sari Nusseibah, profesor filsafat pada Universitas Bir Zeit, Tepi Barat.
Ia orang Palestina. Sedangkan menurut Yermiyahu Yovel, kolomnis Israel di harian Yediot Abronot, kerusuhan ini merupakan tahap baru dalam konflik Arab-Israel. "Barangkali kebangkitan Desember ini bisa pula merupakan awal revolusi Palestina, seperti Revolusi Oktober di Rusia," tambahnya.
Selama kerusuhan berlangsung, yang dimulai 8 Desember lalu dan masih secara sporadis meletup di beberapa tempat, Israel menghadapinya dengan kekuatan militer. Peluru berlepasan dari senjata mereka, disertai semprotan gas air mata. Kegawatan selama dua pekan itu meruak ke wilayah-wilayah sekitarnya.
Ratusan ribu pedagang Palestina di Israel mogok sambil menutup toko-toko mereka, awal pekan lalu, sebagai rasa setia kawan. Betapa tidak. Dalam sejarah pendudukan, inilah kerusuhan paling gawat. Di samping tewas 22 orang - sumber Palestina menyebut 36 orang, sementara Arafat menyebutkan 62 orang - dari yang terluka, sebagian malah dicomot dari rumah sakit untuk kemudian ditawan tentara Israel. Sementara itu, tentara dan polisi Israel yang terluka ada 31 orang, penduduk sipil 19 orang.
Jumlah orang Palestina yang tewas agaknya sengaja disimpangsiurkan oleh pihak tentara. Harian Hamishmar, koran Israel yang berhaluan kiri, mengutip sumber-sumber militer, mengatakan bahwa jumlah orang Palestina yang dikuburkan secara sembunyi-sembunyi di malam hari tak kurang dari 10 orang. Maka, dunia internasional, yang selama ini abai terhadap Pelestina, mulai menengok lagi bangsa yang dirampas tanah airnya itu. "Inilah satu 'kemenangan' mereka," kata Ibrahim Karaeen, orang Palestina yang menerbitkan majalah mingguan Al Az~dah.
Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan keras yang diambil pemerintah Israel. Bahkan Amerika Serikat, sekutu tepercaya Israel, mengirimkan pula nota ketidaksukaannya. Terutama karena tentara Israel melepaskan peluru beramunisi, bukan pelor karet. Tapi Menhan Yitzhak Rabin tentu tidak puas atas sikap AS.
Yasser Arafat berpendapat bahwa pemberontakan tersebut merupakan jawaban atas kebiiaksanaan politik tan~gan besi Israel (lihat wawancara). Menlu Mesir Boutros Ghali, dalam pesannya yang disiarkan radio militer Israel mclalui wawancara telepon, menyatakan bahwa Israel telah gagal menjaga keutuhan perjanjian Camp David. Kata ~hali, menurut perjanjian itu, "Yang menyangkut kepentingan masa depan wllayah pendudukan, kita semestmya melakukan negosiasi.
Lebih dari itu, semestinya pasukan Israel ditarik mundur dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, demi terciptanya pemerintahan provinsial Palestina. Tapi pelaksanaannya tak kunjung muncul." Ketika ditanya pendapatnya mengenai tindakan Israel, Ghali dengan lugas menjawab, "Kami tidak percaya bahwa Anda sanggup meredakan ke~daan dengan menggunakan peluru, terutama menghadapi anak-anak. Anda tentunya terikat Konvensi Genewa, yang sayangnya telah tidak Anda hormati dalam 20 tahun terakhir ini."
Lebih dari itu, kebengisan tentara Israel terlihat dari cara mereka mengobrak-abrik kampung pengungsi dan menyemprotkan gas air mata ke masjid. Bahkan dalam suatu episode, seorang tawanan Palestina mereka pajang di depan truk, dijadikan tameng hidup, menghadapi lemparan batu kaum perusuh.
Terakhir, hari Minggu kemarin, datang pula kabar dari kawasan rawan itu. Penampungan pengungsi Jabalya, Gaza, mengalami kekurangan bahan pangan empat hari setelah tentara memberlakukan jam malam. Dengan ini penderitaan penghuni barak-barak di Jalur Gaza lengkap sudah. Bahan pangan terancam, air minum hanya mengalir dua hari dalam seminggu.
Adalah pekerja sosial PBB yang membocorkan aib ini kepada dunia luar. Sejumlah 800 sekolah di Tepi Barat, yang diperintahkan oleh tentara untuk tutup sejak sepekan sebelumnya, hari Minggu telah dibuka kembali. Tetapi yang lain, di Jalur Gaza masih dinyatakan tertutup. Tekanan miiiter Israel tidak berhenti di situ. Menyusul pengadilan militer, yang diselenggarakan secara darurat di Nablus dengan tambahan di Ramallah, Hebron, dan Tulkarem.
Jumlah orang Palestina yang meringkuk dalam penjara (Israel) di Tepi Barat tak kurang dari 1.038. Enam ratus di antaranya hasil tangkapan selama kerusuhan. Dari Gaza, diciduk 600 orang. Menurut ahli hukum Raji Sourani, 85% tawanan terdiri dari remaja berusia 14-17 tahun.
Felicia Langer, penasihat hukum dari Israel yang selama ini sering membela pesakitan Palestina, menyatakan bahwa pengadilan terhadap mereka dilaksanakan tanpa rasa kemanusiaan. "Telah saya saksikan para tertuduh itu dicabut hak-haknya sebagai manusia," katanya. "Mereka diajukan ke sidang dalam keadaan berdarah, mata tertutup, tak berdaya."
Organisasi penasihat hukum Gaza, yang sudah mogok sejak 19 Desember lalu, memperpanjang protes tersebut seminggu lagi. Para petinggi di Tel Aviv tidak kompak dalam hal cara-cara penanganan yang ditempuh pihak militer. Menhan Yitzak Rabin dikecam bekas Menlu Abba ban, kini anggota Knesset.
Sikap moderat juga terwakili oleh Perdana Menteri Shimon Peres dan menteri tanpa portfolio Ezer Weizman. Hanya saja, Yitzhak Rabin kelihatannya mendapatkan dukungan masyarakat Israel. Dalam pengumpulan pendapat yang diterbitkan koran Yedioth Ahronoth, Jumat pekan lewat, 69% setuju militer bersikap lebih keras.
Sebanyak 23% menginginkan cara-cara yang sekarang, dan hanya 7% menghendaki cara lebih lunak. Jika demikian, tak ada pilihan lain bagi warga Palestina. Bukankah mereka tidak takut lagi pada senjata Israel?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Muhammad Cholid mengolah informasi dari pelbagai kantor berita. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pemberontakan Tanpa Senjata Marah kepada Israel"