Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, di rumahnya di Lahore, Asma Jehangir, seorang aktivis hak asasi manusia, berusaha mencerna apa yang sedang dilihatnya di layar televisi. Sabtu malam, 3 November, Presiden Pervez Musharraf mengumumkan keadaan darurat di seluruh negeri. Kilah Musharraf sederhana saja: ia bersungguh-sungguh memerangi terorisme. Tapi konsekuensinya luar biasa: Musharraf telah membekukan konstitusi dan membolehkan polisi menahan seseorang tanpa dakwaan.
Asma Jehangir terenyak. Ia masih terpaku di depan televisi ketika pintu rumahnya di Lahore diketuk orang. Sejumlah polisi muncul. ”Mereka menyatakan saya menjalani tahanan rumah,” kata Ketua Komisi Hak Asasi Pakistan ini. Memang, sejak hari itu kota-kota besar di Pakistan memperlihatkan panorama sama: gelombang demonstrasi, kemudian disusul penangkapan oleh polisi. Hingga Selasa pekan lalu sekitar 3.500 orang telah digelandang ke rumah tahanan. Masyarakat memprotes Musharraf. Mereka sebagian besar pengacara, selebihnya aktivis hak asasi dan partai oposisi.
Polisi menggunakan gas air mata dalam penyerbuan ke kantor Asma Jehangir, membawa pergi 70 orang anggotanya. Polisi bentrok dengan pengacara yang mencoba menggelar demonstrasi di sejumlah kota. Satu foto di halaman muka koran Pakistan menunjukkan seorang polisi memukuli seorang pengacara dalam posisi jongkok dengan judul besar, seraya memindahkan suasana pengadilan ke jalan raya: ”Keberatan Ditolak”.
Kini kekuasaan Musharraf hampir meliputi semua. Ia bisa leluasa bertindak sebagai polisi, jaksa, sekaligus hakim. Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry, yang hendak dipecat Musharraf tapi gagal, kini juga meringkuk dalam tahanan rumah. Ia menolak mengesahkan pemberlakuan keadaan darurat. Kini, dengan undang-undang darurat di tangan, Musharraf telah memecat Iftikhar dan enam hakim agung lainnya. Menurut Musharraf, Iftikhar bersalah karena telah meloloskan informasi tentang tahanan rahasia badan intelijen Pakistan. Langkah yang mengakibatkan belasan militan dan aktivis antipemerintah terpaksa dibebaskan.
Sebagaimana sebelumnya, Iftikhar melawan. Meski terkurung di rumahnya yang dikepung tentara di Islamabad, ia mengobarkan perlawanan ratusan pengacara yang berkumpul di kantor Asosiasi Pengacara Islamabad lewat telepon seluler, Selasa pekan lalu. Suara Iftikhar yang disambungkan ke pengeras suara mengajak para pengacara melawan Musharraf. ”Jangan takut. Tuhan akan membantu kita, dan akan tiba saatnya konstitusi berkuasa dan kediktatoran tak akan berlangsung lama,” ujar Iftikhar.
Kantor itu pun riuh. Mereka meneriakkan yel-yel anti-Musharraf: ”Musharraf kriminal. Kami tak akan menerima seragam dan peluru.” Setelah pidato provokasi usai, sekitar 1.000 pengacara itu berupaya menerobos barikade ratusan polisi untuk menggelar demonstrasi di jalanan. Dan bentrokan pun terjadi. Lemparan batu dari kubu pengacara berbalas pukulan tongkat dari polisi. Sekitar tiga orang pengacara dan tiga polisi luka-luka. Kerusuhan yang sama berlangsung dalam demonstrasi pengacara di kawasan timur kota. ”Inilah kudeta terhadap masyarakat sipil,” ujar Ali Dayan Hasan, peneliti dari Human Rights Watch.
Bagi rakyat Pakistan yang sudah muak dengan Musharraf, pemberlakuan keadaan darurat ini merupakan kudeta Musharraf yang kedua. Kudeta pertama pada 1999 ketika ia mendongkel pemerintahan Nawaz Sharif. Sebagaimana kudeta pertama, undang-undang darurat diberlakukan, lalu semua kekuasaan pun mengalir ke tangan Musharraf. Menurut Musharraf, undang-undang darurat diberlakukan karena lembaga peradilan yang dipimpin Iftikhar Muhammad Chaudhry mengintervensi kebijakan pemerintah. Selain itu, Pervez Musharraf juga menegaskan bahwa langkahnya berguna untuk mengatasi meningkatnya serangan bom bunuh diri yang berpuncak pada pengeboman di kantor Musharraf di Rawalpindi, 30 Oktober lalu. Musharraf menuduh serangan yang menelan korban 667 orang itu didalangi kelompok muslim radikal.
Meski begitu, diduga Musharraf kalap karena Mahkamah Agung akan membatalkan kemenangan Musharraf dalam pemilihan presiden di parlemen pada 6 Oktober lalu—pemilu yang diboikot kubu oposisi. Padahal Musharraf telah ”berkorban” demi mempertahankan posisinya sebagai presiden untuk lima tahun mendatang, termasuk dengan cara membujuk bekas Perdana Menteri Benazir Bhutto berbagi kekuasaan atas desakan Amerika Serikat. Karena itu, pemilu parlemen yang semula akan digelar pada Januari tahun depan pun diundur pada pertengahan Februari.
Benazir memang di persimpangan jalan: tetap mempertahankan koalisi dengan Musharraf atau bergabung dengan oposisi dan para pengacara untuk menggusur rezim militer Musharraf. Impiannya mengembalikan kekuasaan pemerintahan sipil yang demokratis berantakan gara-gara keputusan Musharraf memberlakukan undang-undang darurat. Sejauh ini Benazir hanya berani menentang Musharraf dengan ”halus”. Ia meminta sang jenderal memulihkan konstitusi dan mengulangi retorika yang sebelumnya banyak ia umbar. ”Kami ingin Jenderal Musharraf memenuhi janjinya, yang dia berikan kepada kami dan kepada rakyat Pakistan, bahwa dia akan melepaskan seragam militernya sebagai panglima angkatan bersenjata,” kata Benazir.
Semula Benazir tak terlalu bergairah berhadapan langsung dengan Musharraf. Reaksinya sama dengan Amerika Serikat yang adem ayem ketika Musharraf memberlakukan keadaan darurat. Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, yang pernah mewanti-wanti agar Musharraf tidak memberlakukan keadaan darurat, hanya bisa dengan santun mengatakan lebih baik Musharraf secepatnya memulihkan konstitusi dan menggelar pemilu. Benazir mempertimbangkan banyak hal, terutama kepentingan partai dan dirinya. Setelah seminggu lebih keadaan darurat diberlakukan, barulah Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin Benazir berencana menggelar demo, Jumat pekan lalu, di Rawalpindi.
Namun polisi bergerak cepat. Rumah Benazir dikurung agar tak bisa datang, dan pengikutnya pun tak bisa masuk ke taman kota yang sudah dibarikade polisi. Menteri Informasi Tariq Azim memastikan bahwa Benazir tidak dalam status tahanan rumah. Polisi, katanya, hanya berusaha melindungi ”demi keselamatannya (Benazir) sendiri”. Sekali lagi, ia mengingatkan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras yang menyambut kedatangan Benazir, 18 Oktober lalu. Tapi semua orang bisa membaca bahwa Benazir sekarang berstatus tahanan rumah.
Meski begitu, hingga Jumat siang Benazir belum beringsut dari agendanya semula: sebuah demonstrasi besar di Rawapindi selepas salat Jumat, kemudian aksi ”jalan damai” dari Lahore ke Islamabad pada 13 November. Sebelum Musharraf mencabut keadaan darurat, aksi-aksi massa ini jalan terus, begitu pesan Benazir.
Dengan massa pendukungnya yang besar lagi setia, Benazir memang berada dalam posisi yang cukup menentukan kelanjutan Musharraf dan oposisi. Tapi perkembangan hingga akhir pekan lalu menunjukkan bahwa keputusan Musharraf membatasi gerak Benazir dan menghantam aksi oposisi di jalan-jalan justru akan mengukuhkan kembali aliansi lama: Benazir dan kelompok oposisi lainnya. Dengan kata lain, Musharraf kembali menjadi musuh bersama.
”Ini adalah waktu yang paling tepat bagi Benazir,” ujar Asha Amirali, aktivis Gerakan Hak Rakyat Pakistan. Situasi mulai memisahkan Benazir dengan Musharraf. Perkembangan ini bisa mengembalikan kepercayaan oposisi terhadap Benazir dan menjadikan Musharraf musuh bersama. Kalau itu yang terjadi, Amerika harus mencari jenderal pengganti di Pakistan.
Raihul Fadjri (AP, BBC, Washington Post, The News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo