Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Jepang memberikan bantuan masing-masing senilai 100 ribu yen atau sekitar Rp12,5 juta untuk setiap anggota keluarga sebagai bagian dari program menggenjot konsumsi masyarakat. Tapi yang terjadi adalah, uang itu lebih banyak ditabung daripada untuk belanja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini seperti terjadi pada pasangan Keiki Nambu-Takako. Keluarga sopir bus di Tokyo dengan sembilan anak ini memanfaatkan stimulus pemerintah itu untuk membayar hipotek daripada pergi berbelanja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehati-hatian keuangan semacam itu telah membuat rumah tangga Jepang mengumpulkan aset sebesar Rp244 ribu triliun selama bertahun-tahun, dengan lebih dari setengahnya disimpan dalam tabungan. Gaya hidup hemat ini yang membuat pemerintah sakit kepala, karena bikin bisa ekonomi nasional hampir mati.
Pemerintah Perdana Menteri Fumio Kishida telah membayar hampir Rp244 triliun dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada keluarga. Namun tidak seperti stimulus AS yang mengangkat belanja konsumen, dampaknya terlihat terbatas di Jepang, di mana rumah tangga lebih cenderung menyimpan uang atau membayar utang seperti Nambus.
Ini menyoroti masalah yang konsisten dalam ekonomi nomor 3 dunia itu, di mana utang publik sudah lebih dari dua kali ukuran produk domestik bruto (PDB).
"Jika gaji ayah tetap sama tetapi harga terus naik, yang bisa kami lakukan hanyalah memintanya melakukan yang terbaik dan bekerja sebanyak yang dia bisa," kata Takako, 39 tahun.
Suaminya menghasilkan sekitar 5 juta yen atau sekitar Rp630 juta setahun, termasuk "bonus" diskresioner yang dibayarkan dua kali setahun oleh perusahaan Jepang tetap dipotong jika jam kerja berkurang seperti yang terjadi selama pandemi. Pada akhirnya, uang stimulus hanya membantu menutupi kekurangan itu, kata Keiki.
Usia anak-anak Nambus berkisar dari kurang dari satu tahun hingga 17 tahun. Anak-anak hanya mendapatkan air dan susu untuk diminum, meskipun keluarga tersebut mengkonsumsi sekitar lima liter susu sehari. Keiki memastikan anak-anak mandi cepat untuk menghemat tagihan air.
Dalam hal ukuran, Nambus hampir tidak khas - rata-rata rumah tangga Jepang telah menyusut menjadi 2,21 orang pada akhir 2020 dari 2,82 pada 1995, menurut data sensus. Rata-rata Tokyo bahkan lebih kecil, di 1,92.
Berikutnya: Gemar menabung
Konsumsi swasta menyumbang lebih dari setengah PDB Jepang. Tetapi rumah tangga mungkin hanya menghabiskan 10 persen dari uang stimulus dan menabung sisanya, kata Koya Miyamae, ekonom senior di SMBC Nikko Securities.
Ketidakamanan ekonomi membuat konsumsi tetap datar, kata Miyamae, dan lonjakan infeksi Omicron baru-baru ini juga membuat orang ragu untuk berbelanja.
Ekonom lain, Hideo Kumano dari Dai-ichi Life Research Institute, memperkirakan bahwa sekitar 75% dari BLT akan berakhir sebagai tabungan, meskipun ia memperingatkan bahwa jumlah itu bisa lebih tinggi jika orang tua memutuskan menyisihkan lebih banyak untuk pendidikan anak-anak mereka.
Kekhawatiran bahwa uang akan berakhir di tabungan mendorong beberapa kotamadya untuk membayar setengah dari stimulus dalam bentuk voucher. Tokyo bukan salah satunya.
Pembayaran tunai terpisah untuk semua penduduk Jepang pada awal pandemi menghasilkan sekitar 27 persen dari uang yang dihabiskan, menurut survei Juli 2020 oleh Mitsubishi Research Institute.
Nambus menerima 1 juta yen atau Rp124 juta untuk sembilan anaknya. Mereka awalnya tergoda dengan gagasan perjalanan keluarga semalam ke sebuah hotel yang dikelola oleh lingkungan kota mereka. Namun berhematlah yang menang, meskipun mereka menghabiskan sekitar Rp3 juta untuk sushi dan es krim.
Mereka juga akan menggunakan sebagian uangnya untuk membeli tas sekolah dan pakaian olahraga untuk Keifu, 6 tahun, yang akan mulai masuk sekolah dasar pada bulan April. Pakaian olahraga lungsuran sudah terlalu tipis setelah dipakai oleh enam kakakya.
REUTERS