Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMIS, 31 Agustus, seharusnya menjadi salah satu tanggal paling bersinar dalam sejarah perdamaian Darfur, Sudan Barat. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa baru saja menyetujui pengiriman belasan ribu anggota pasukan perdamaian ke Darfur. Rombongan ini sedianya akan menggantikan ribuan tentara Uni Afrika yang telah dua tahun bertahan di kawasan konflik itu.
Ternyata harapan itu nyungsep. Pekan lalu, pemerintah Sudan menolak resolusi yang ditudingnya ilegal. Khartoum memutuskan: tentara asing tak akan diterima di teritori Sudan. Pasukan perdamaian Afrika, yang dikirim oleh Uni Afrika, pun didesak untuk segera pulang kampung, paling lambat akhir September.
Kecemasan akan ”bencana ciptaan manusia” di Darfur kian memuncak. Bahkan para aktivis lembaga kemanusiaan yang selama ini membantu di pengungsian terpaksa angkat koper. Situasi tak aman. International Rescue Committee melaporkan tewasnya seorang suster di Pusat Kesehatan Hashaba di El Fasher, Darfur. Tenaga medis yang lain pun segera berkemas meninggalkan kawasan itu. Akibatnya, menurut laporan IRC, daerah itu tak punya pusat layanan kesehatan.
”Pemerintah Sudan harus bertanggung jawab… dan menjelaskannya kepada dunia,” kata Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Namun, Sudan tak mau digertak. Presiden Sudan Omar Al-Bashir malah balik menuding rencana kedatangan pasukan PBB sebagai ”bagian dari konspirasi menyeluruh untuk menggoyang kekuasaan negeri itu”.
Presiden Sudan meminta semua unsur internasional hengkang dari tanah air mereka, termasuk tentara-tentara dari negara tetangga satu benua. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan, Jamal Mohamed Ibrahim, menggelar konferensi pers dengan satu pesan: ”Kami minta kepada mereka, tolong tinggalkan kami.”
Perang telah mencabik-cabik kawasan tandus dan miskin itu sejak 2003. Kelompok milisi Arab, Janjaweed—didukung pemerintah Sudan—melakukan genosida terhadap 200 ribu warga kulit hitam di Darfur. Lalu muncullah kelompok-kelompok pemberontak—Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM)—yang memerangi pemerintah. Khartoum dituding melakukan pembasmian etnis untuk mengeliminasi orang kulit hitam Afrika demi keunggulan orang Arab.
Pertempuran bertahun-tahun telah menewaskan ribuan orang dan memaksa ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Aneka kesepakatan damai dibuat, namun tak jua terlaksana di lapangan. Bahkan, beberapa bulan lalu, kedua faksi pemberontak menolak meneken perjanjian damai. Perang rupa-rupanya menjadi pilihan ”terbaik” mereka.
Konflik ini berbuah petaka-petaka kecil dari waktu ke waktu dengan akumulasi korban tewas mencapai 70 ribu orang (menurut PBB). Pekan lalu, misalnya, seorang wartawan ditemukan tewas dengan kepala terpenggal. Mohammed Taha, editor surat kabar Al-Wifaq, sejak Mei tahun lalu menjadi sasaran kemarahan muslim di negeri itu. Pasalnya, harian itu memuat artikel yang mempertanyakan asal-usul Nabi Muhammad. Tak mengherankan jika kematian Taha dikaitkan dengan kelompok Islam garis keras Sudan.
Negara-negara tetangga Sudan di Benua Afrika tak tinggal diam. Mereka mengirim pasukan perdamaian untuk melindungi warga sipil dan kelompok kemanusiaan yang berupaya menolong. Sayangnya, pasukan tetangga ini gagal menumpas pertumpahan darah. Selain karena kedatangannya yang tak direstui Khartoum, rombongan ini juga cekak dana dan fasilitas. Dua hal itulah yang paling dibutuhkan. Seperti disemburkan Deputy Chairman Uni Afrika Patrick Mazimhaka: ketersediaan dana tak akan berpengaruh tanpa dukungan politik pemerintah Sudan.
Karena itu, salah satu solusinya adalah menyerap tentara Uni Afrika itu ke dalam pasukan internasional yang lebih besar dengan perlengkapan memadai. Namun, apa boleh buat, selama Khartoum tak sepakat, ide ini hanya mimpi di siang bolong.
Pemerintah Sudan menyatakan punya rencana lain untuk menggapai damai. Mereka mengumumkan akan kembali menurunkan ”produk dalam negeri” alias tentara lokal yang berjumlah sepuluh ribu orang. Konon, Sudan menolak pasukan perdamaian asing—yang mereka sebut ”penjajahan model baru”—karena khawatir akan diseret ke International Criminal Court dengan tuduhan kejahatan kemanusiaan.
Alih-alih damai, gebrakan ini malah berpotensi memicu konflik baru. PBB dan lembaga kemanusiaan internasional segera menjerit. Ide ini, kata Jan Egeland, pejabat PBB di Darfur, akan menurunkan keamanan di Darfur ”dari sangat buruk menuju bencana”. Meski begitu, Amerika, yang bersama Inggris mendukung resolusi PBB itu, tetap optimistis Sudan akan luluh. Untuk urusan ”bujuk-membujuk” inilah Presiden George W. Bush telah bertemu dengan Presiden Sudan, Omar al-Bashir.
Tapi John Pendergast dari International Crisis Group—lembaga think-tank terkemuka di Amerika—menyemburkan ketidakpercayaannya pada Sudan. Sejarah membuktikan, negara itu hanya mau menikmati insentif yang diberikan pihak-pihak asing tanpa mau memberi apa pun sebagai balasannya. Hal ini, kata Tuan Pendergast, sangat mungkin terulang kembali di masa kini.
Ujung-ujungnya, PBB akan sampai ke pilihan terakhir: menjatuhkan sanksi kepada Sudan. Menteri Inggris untuk urusan Afrika, Lord Triesman, menyatakan, ”Inilah periode kritis, dan seluruh dunia harus menggunakan pengaruhnya atas Sudan.”
Namun, urusan tekan-menekan ini bisa jadi tak mulus. Tak semua anggota Dewan Keamanan akan mengangguk dengan ide pemberian sanksi ini. Cina, yang menjalin bisnis minyak dengan Sudan dan memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, kemungkinan akan menolak jika negara rekan bisnisnya itu dikenai sanksi. Amerika Serikat mengirim Jendayi Frazzer, US Assistant Secretary for African Affairs, untuk membujuk Khartoum supaya menyetujui kedatangan pasukan PBB. Pemerintahan George W. Bush lebih hati-hati lantaran Sudan pernah menjadi tempat tinggal Usamah Bin Ladin di era 1990-an dan masuk daftar ”negara yang mensponsori terorisme”.
Pemerintah Inggris, yang bersama AS mensponsori Resolusi Dewan Keamanan PBB itu, juga menyatakan bahwa menginvasi Sudan bukanlah pilihan yang realistis.
Apa boleh buat, kepentingan sejumlah negara malah membuat Sudan berada di atas angin. Dengan menampik pasukan perdamaian Afrika Utara dan menolak Resolusi Dewan Keamanan, Khartoum menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tak mempan ditekan. Damai dan Darfur tampaknya belum bisa bersanding.
Andari Karina Anom (BBC, The Economist, Sudanese News Agency)
Cerita Genosida
s Nazi Jerman melancarkan holocaust terhadap warga Yahudi pada masa Perang Dunia II, 1933-1944. Lebih dari 6 juta korban di Jerman, Austria, Polandia, dan negara-negara di bawah kontrol Nazi.
Pemerintahan komunis pimpinan Joseph Stalin di Uni Soviet membunuh sekitar 13 ribu rakyatnya pada 1934-1939.
Tentara Jepang menghabisi sekitar 320 warga Nanking, Cina, terjadi pada 1937.
Pemerintahan Katolik Roma di Kroasia pada 1941-1945 menghabisi sekitar 1 juta warga Yahudi, Kristen Orthodox Serbia, dan Anti-Fasis Kroasia.
Mao Ze-Dong di Cina memerintahkan pembunuhan massal pada tahun 1958-1961 dan 1966-1969. Korbannya sekitar 49 ribu orang.
Idi Amin di Uganda merancang pembunuhan sekitar 300 ribu korban, 1969-1979.
t Pembunuhan massal terhadap lebih dari satu juta rakyat Kamboja oleh pemerintahan komunis Khmer Merah pada 1970-an.
Pembunuhan massal orang-orang Islam oleh tentara Kristen Orthodox Serbia di Bosnia dan Herzegovina pada 1991-1999. Termasuk pembunuhan massal sekitar 8.000 orang di kawasan Srebrenica pada Juli 1995 di bawah pimpinan Ratko Mladic.
Di Rwanda, lebih dari 800 ribu warga suku Tutsi dan Hutu dibunuh sepanjang 1994.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo