Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai hari kedua, perdebatan masih soal lama: siapa ketua SNC. Masalah pokok belum disentuh benar. "PERTUNJUKAN terbesar di dunia dimulai kembali," beginilah Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyebut upaya mendamaikan keempat faksi Kamboja. Mulai Akad kemarin, untuk selama tiga hari, dibuka kembali Sidang Dewan Nasional Tertinggi (SNC) Kamboja di Jakarta. Sampai Senin malam pekan ini, tak banyak yang terjadi di Bali Room Hotel Indonesia, yang disiapkan menjadi ajang persidangan. Sekali waktu Perdana Menteri Hun Sen masuk ke ruang Ali Alatas, yang bersama Wakil Menteri Luar Negeri Prancis Alain Vivien bertindak sebagai co-chairman. Setelah tiga setengah jam berkutat di dalam, ganti Son Sann. Lalu yang lain. Berbeda dengan suasana sidang tahun lalu di tempat yang sama, kali ini para wartawan bersikap adem. Tak ada lagi yang mengejar-ngejar tokoh-tokoh yang lagi berunding, sampai pot-pot bunga bergelimpangan dan pintu kaca pecah. Kali ini, wartawan dalam dan luar negeri lebih suka menunggu. Pertanda kegagalan? Tampaknya, sidang memang sangat alot. Alain Vivien, yang mewakili Menlu Prancis Roland Dumas -- lagilagi tak bisa hadir di Jakarta -- -samar-samar sudah menyatakan keraguannya. "Hari ini kami masih jauh dari harapan bersama," tuturnya dalam bahasa diplomatis yang sangat halus. Sehari sebelumnya orang memang seperti terlonjak ketika melihat foto Hun Sen dan Pangeran Sihanouk berpeluk-pelukan. Keduanya bersepakat, Sihanouk menjadi Ketua SNC, sementara Hun Sen wakilnya. Tetapi keriaan itu tak berumur panjang. Senin siang, muncul kabar bahwa Khieu Samphan, bos Khmer Merah, tak bersedia mengakui komposisi itu. "Khmer Merah menolak Hun Sen sebagai wakil ketua," kata Pangeran Sihanouk setelah diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Buntu lagi. Hubungan antara Hun Sen dan Khmer Merah memang jauh dari harmonis. Perdana Menteri Hun Sen adalah kepala rezim dukungan Vietnam yang mendongkrak Khmer Merah dari Kamboja, 1979 lalu. Ketika itu Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot memang sangat kejam, membantai rakyat Kamboja seperti yang bisa disaksikan dalam film The Killing Fields. Itu sebabnya salah satu pendirian pokok Hun Sen yang sulit ditawar adalah: Jangan sampai rezim yang melakukan pembantaian bangsa itu ikut berkuasa. Tentang ini, Khieu Samphan menolak memberikan komentar. "Belum ada yang bisa dikatakan," katanya pada TEMPO dengan senyum yang khas. Untuk sementara persoalan memang kembali lagi pada akarnya, pertentangan soal Khmer Merah. Padahal, pertemuan di Jakarta kali ini sebenarnya bermaksud membahas lebih lanjut masalah-masalah kedaulatan Kamboja selama masa transisi, yang sebagian sudah dibahas di Paris, November tahun lalu. Maka, masalah-masalah pokok tak sempat lagi dibicarakan. Misalnya, bagaimana kedaulatan Kamboja selama masa transisi. Atau soal pembubaran angkatan bersenjata Kamboja yang disebut-sebut dalam rencana, tapi yang ditolak Hun Sen dengan keras. Menteri Ali Alatas mengakui, soal-soal yang dianggap pokok malah terasa disisihkan. "Memang sekarang ini berkembang segi lain. Tapi kami selalu siap menengahi," katanya. Misalnya, soal ketua SNC itu. Memang betul, soal ketua itu penting, tapi bukan yang utama. Bila perundingan buntu karena soal itu, pertemuan yang memakan ongkos besar di Jakarta ini bisa jadi mubazir. Rancangan Paris yang mestinya bisa selesai jadi telantar. Jangan-jangan, memang penyelesaian Kamboja mesti lewat medan perang, seperti kata seorang pengamat. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo