ADA sesuatu yang tak biasa setelah sembahyang Jumat di Masjid
Washington, Amerika Serikat, pertengahan November yang lalu.
Begitu Imam selesai mengucapkan salam tanda akhir sembahyang,
seorang hitam tinggi besar berdiri.
Dengan Qur'an di tangan, ia berseru: "Brother, brother, saya
minta perhatian sebentar. Kita tadi telah mendengar khotbah yang
baik dari khatib yang baru saja jadi imam kita juga. Tadi malam
kita lihat juga khatib ini berkhotbah di gereja . . . Marilah
kita minta dia memberi penjelasan mengapa ia di sana dan apa
yang ia katakan."
Sang khatib, Abdul Rahman Osman, wakil direktur Islamic Centre
yang berpusat di masjid itu, berdiri. Ia pun memberi penjelasan
tentang kunungannya ke gereja besar Washington, Kamis 15
November. Hari itu ada upacara doa bersama antar-agama yang
dihadiri Presiden Carter, Wakil Presiden Mondale, Menlu Cyrus
Vance dan para keluarga orang Amerika yang disandera di Teheran.
Di samping wakil agama Kristen dan Yahudi, Abdul Rahman Osman
mewakili umat Islam mendoakan keselamatan para sandera.
Dalam upacara itu Osman antara lain mengatakan bahwa Islam tak
membenarkan penyanderaan. Ia menunjukkan ayat tentang orang
Muslim yang tak boleh memasuki rumah orang tanpa izin yang
empunya. "Islam juga mengajarkan kasih, mengajarkan
pengampunan," kata Osman yang memulai pidatonya dengan ucapan
Bismillah.
Dalam keadaan normal, tindakan Osman mungkin akan dipuji banyak
orang Islam. Tapi dalam situasi permusuhan antara AS dan Iran
kini, reaksi tak urung timbul. Ia dituduh oleh sebagian
masyarakat Islam di Washington sebagai "memberi senjata" kepada
"musuh". Ia dituduh memihak Amerika, dan Osman, seorang Mesir,
juga dituduh meletakkan diri segaris pemerintah Mesir.
Presiden Sadat memang mengecam Khomeini dengan kasar, dan
seorang ahli hukum Islam di Universitas Al Azhar di Kairo juga
menyebut tuntutan Khomeini, agar bekas Syah yang sakit dikirim
kembali ke Iran, sebagai "bukan Islam". Sebab "Islam
memperlakukan orang sakit atau yang hampir mati dengan sangat
ramah."
Osman membantah bahwa ia menyerang Khomeini. Ia hanya mendoakan
keselamatan dan segera dibebaskannya para sandera. Tapi ia
dikecam juga karena ia tak menyebut bahwa Islam juga "menentang
orang yang melindungi pembunuh dan perampok harta negara." Dan
di luar masjid, selebaran pun menuduh bahwa Islamic Centre
dikendalikan CIA. Dalam kenyataannya, Pusat Islam itu
dikendalikan oleh kedutaan besar negara-negara Muslim, termasuk
Indonesia.
Tapi emosi memang sedang naik di AS. Pusat Islam yang terletak
di deretan gedung kedutaan itu selama beberapa hari secara tak
langsung jadi sasaran demonstrasi anak muda AS yang murah
kepada Iran. Mereka membawa poster-poster yang antara lain
meminta agar mobil yang lalu-lalang di situ membunyikan klakson
jika mereka setuju dengan demonstrasi anti Iran. Hampir tiap
mobil rupanya akur, dan suara klakson pun mendobret-dobret - tak
peduli dalam masjid sedang ada sembahyang atau khotbah.
Memang letak masjid itu hanya kira-kira lima rumah dari kedutaan
Iran. Dan menurut peraturan setempat, demonstrasi tak boleh
dilakukan lebih dekat dari 200 meter dari kedutaan. Karena itu
anak-anak muda itu berhenti di depan masjid. Sebenarnya mereka
bisa juga berhenti di ujung jalan lainnya, jauh dari masjid.
Tapi baik bagi orang-orangnya Khomeini maupun bagi orang Amerika
yang anti Khomeini, pencampur-adukan rupanya telah terjadi
antara "Iran-Khomeini" dengan "Islam". Seakan-akan, apa saja
yang dilakukan Khomeini adalah "Islam".
Dalam keadaan itu sikap anti-penyanderaan cenderung disebut
sebagai sikap "anti-lslam". Sebuah selebaran dari "The Muslim
Students of District of Columbia" menyebut tindakan Osman dalam
doa bersama dengan Carter sebagai "pelanggaran terhadap
solidaritas Islam". Mereka menuntut kepada Dewan Direktur
Islamic Centre, yang terdiri dari para wakil kedutaan besar
negeri Muslim, agar menunjuk pengurus yang disetujui umat Islam
setempat.
Belum diketahui langkah yang akan diambil Dewan Direktur.
Sementara ini mereka melarang staf Islamic Centre memberikan
wawancara atau melakukan kegiatan yang "mengandung politik".
Kata seorang anggota Dewan Direktur: "Biarlah Centre ini tetap
jadi pusat kebudayaan."
Bagaimana dengan sikap orang Amerika Islam? Kareem Abdul Jabbar
dan Jamal Wilkes, dua pemain basketball Amerika Muslim yang
namanya bagi orang Amerika seperti nama Rudy Hartono bagi orang
Indonesia, boleh dikata mencerminkan sikap umat Islam Amerika
pada umumnya mereka menghendaki agar sandera dibebaskan, tapi
tentang Syah Iran mereka berdiri di belakang Khomeini.
"Orang-orang Amerika di Iran itu menderita oleh suatu perbuatan
yang bukan perbuatan mereka," kata Kareem. Tapi "Syah sebaiknya
dikembalikan ke Iran, untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya."