Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Kilas Balik 69 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Dampaknya bagi Dunia

Hari ini, 69 tahun silam atau tepatnya 18 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat.

18 April 2024 | 12.45 WIB

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (ketujuh kanan), Ketua MPR Bambang Soesatyo (delapan kanan) dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (keenam kanan) dan puluhan delegasi pimpinan MPR negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) foto bersama seusai pembukaan Konferensi Internasional secara resmi di Gedung Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, Selasa 25 Oktober 2022. Konferensi Pimpinan MPR Negara-negara OKI tersebut merupakan pertemuan Internasional untuk membahas forum MPR dalam mewujudkan perdamaian dunia dan penguatan parlemen dari negara-negara Islam. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Perbesar
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (ketujuh kanan), Ketua MPR Bambang Soesatyo (delapan kanan) dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (keenam kanan) dan puluhan delegasi pimpinan MPR negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) foto bersama seusai pembukaan Konferensi Internasional secara resmi di Gedung Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, Selasa 25 Oktober 2022. Konferensi Pimpinan MPR Negara-negara OKI tersebut merupakan pertemuan Internasional untuk membahas forum MPR dalam mewujudkan perdamaian dunia dan penguatan parlemen dari negara-negara Islam. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 69 tahun silam atau tepatnya 18 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika atau disingkat Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat. Persamuhan besar ini jadi ajang temu negara-negara dua benua yang tak berpihak kepada Amerika Serikat maupun Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kilas balik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KTT Asia Afrika atau kadang juga disebut Konferensi Bandung merupakan konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang dominan baru memperoleh kemerdekaan. Konferensi ini diinisiasi Indonesia, Burma (kini Myanmar), Ceylon (kini Sri Lanka), India dan Pakistan. Koordinatornya adalah Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.

Konferensi ini bermula ketika Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo, pada 23 Agustus 1953 mengusulkan di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara terkait perlunya kerja sama antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia.

Kemudian, pada 25 April–2 Mei 1954, berlangsung Persidangan Kolombo di Sri Lanka. Hadir dalam pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma, dan Indonesia. Dalam konferensi ini, Indonesia memberikan usulan perlunya adanya Konferensi Asia-Afrika.

Selanjutnya, pada 28–29 Desember 1954, untuk mematangkan gagasan masalah Persidangan Asia-Afrika, diadakan Persidangan Bogor. Dalam persidangan tersebut dirumuskan lebih rinci tentang tujuan persidangan serta siapa saja yang akan diundang.

Konferensi Asia-Afrika akhirnya digelar pada 18–24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Persamuhan ditujukan untuk mempromosikan kerja sama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika serta melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Cowie, H.R. dalam Australia and Asia. A changing Relationship (1993) mengungkapkan, sebanyak 29 wakil negara hadir mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia. Konferensi tersebut merefleksikan pandangan mereka mengenai sikap terhadap konfrontasi antara Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok Timur) dalam Perang Dingin.

Pandangan negara Asia-Afrika dalam konferensi ini antara lain:

1. Ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin.

2. Kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.

3. Kinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat.

4. Penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair.

5. Keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Hasil KTT Asia-Afrika

Dilansir dari Antara, KTT Asia-Afrika merupakan pertemuan besar pertama antara bangsa-bangsa korban kolonialisme 10 tahun setelah Perang Dunia II berakhir dan juga 10 tahun setelah Indonesia merdeka. Bangsa-bangsa baru merdeka itu meneguhkan sikapnya di tengah Perang Dingin yang acap memaksa mereka harus memilih antara dengan Blok Timur atau Blok Barat.

Konferensi yang kemudian hanya diadakan sekali sepanjang sejarah itu juga diadakan ketika banyak negara di Asia dan Afrika masih dijajah dan mengalami diskriminasi, di saat bagian dunia yang menjadi pelaku kolonialisme malah mengklaim kolonialisme sudah berakhir. Padahal, kata Presiden ke-1 RI Sukarno, salah satu penggagas konferensi, kolonialisme masih hidup dalam wajah lain.

“Kita kerap diberi tahu bahwa kolonialisme itu sudah mati. Kita tak boleh tertipu atau terlena oleh itu. Saya katakan kepada Anda semua, kolonialisme belumlah mati. Kolonialisme juga memiliki baju modern, dalam bentuk pengendalian ekonomi, kendali intelektual, kendali fisik oleh sebuah komunitas kecil nan asing di dalam sebuah negara,” kata Bung Karno dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung itu.

Faktanya, waktu itu, memang banyak negara-negara di Asia dan Afrika yang masih belum lepas dari penjajahan. Di lain pihak, kendati sudah kehilangan beberapa negara jajahannya, para penguasa kolonial kenyataannya masih melanggengkan pengaruhnya dengan cara lain, termasuk lewat korporasi-korporasi dan modal mereka.

Bung Karno berusaha merengkuh kawasan-kawasan lain di luar Asia dan Afrika, khususnya Amerika Latin yang sudah merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia-Afrika merdeka, tapi tetap terjajah oleh kekuatan modal dan korporasi asing. Bung Karno berusaha menggugah bahwa kolonialisme masih hidup lewat korporasi-korporasi asing dan sejenisnya, yang di Amerika Latin memang sangat mempengaruhi lahir dan matinya satu rezim.

Resminya, 29 negara menghadiri Konferensi Asia Afrika, tapi sejumlah utusan dari Amerika Latin, juga hadir di sana. Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri sama-sama menyaksikan dengan cermat konferensi itu. Blok Barat dan Blok Timur memastikan KTT Asia-Afrika tidak menjadi arena menggalang keberpihakan kepada salah satu di antara mereka. Bung Karno dan para pemimpin Asia-Afrika pun menegaskan bahwa Asia-Afrika tak ingin ditarik ke sana ke mari, oleh, baik Soviet maupun AS.

Dampak KTT Asia-Afrika bagi dunia

Konferensi Asia-Afrika tak saja menginspirasi ke-29 negara, tapi juga negara-negara, yang oleh Bung Karno disebut “new emerging forces”, untuk membangun solidaritas, kolaborasi, dan kerja sama lintas benua. Konferensi juga menghasilkan piagam yang menjadi rujukan moral dan kebijakan negara-negara baru, yang merepresentasikan kemandirian mereka dan sikap mereka yang anti-imperialisme serta anti-kolonialisme.

“Piagam itu disebut dengan Dasasila Bandung, yang di antaranya memuat komitmen Asia-Afrika dalam menjunjung hak asasi manusia, penyelesaian damai untuk segala konflik, dan penghormatan atas kedaulatan serta integritas teritorial sebuah negara,” tulis Jafar M Sidik dalam Semangat Bandung (KAA) yang Tetap Relevan seperti dikutip dari Antara.

Selian Dasasila Bandung, KAA 1955 juga mengeluarkan komunike yang mengecam rasisme dan kolonialisme, termasuk dukungan kepada rakyat Palestina dalam mendapatkan kembali hak di tanah airnya sendiri. Komunike dan 10 prinsip itu mewujudkan independensi Asia-Afrika yang bagi Indonesia sendiri, sejalan dengan amanat politik luar negeri bebas dan aktif.

Negara Asia-Afrika tak ingin dipaksa memilih antara Soviet atau AS yang pada dasarnya sama-sama merepresentasikan kolonialisme dan imperialisme. Soviet di mata negara-negara Eropa Timur, Asia Tengah, dan Trans-Kaukasia adalah sama imperialis dan kolonialisnya dengan Barat. Keduanya dinilai menghambat hak menentukan nasib sendiri di banyak wilayah dunia.

Sejak Perang Dunia II berakhir, negara-negara Asia dan Afrika berusaha keras memasukkan hak menentukan sendiri dalam prinsip PBB. Namun terus ditentang negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, yang meminta klausul kolonial dicabut dalam setiap resolusi PBB. Pada 1952, AS bahkan memveto resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari hak asasi manusia.

“AS juga menolak kewajiban negara-negara kolonial melaporkan kemajuan wilayah jajahannya dalam membentuk pemerintahan sendiri,” tulis Jafar.

Tapi, berkat Deklarasi Bandung, beberapa bulan setelah KAA, tepatnya pada November 1955, PBB menyepakati formulasi hak menentukan nasib sendiri yang kemudian diadopsi dalam Resolusi PBB 1960 dan Kovenan PBB 1966. Semangat Bandung yang dihasilkan KAA juga menjadi fondasi untuk solidaritas dan aliansi antara negara di Asia dan Afrika dalam menentang imperialisme sejumlah negara yang umumnya menjadi eks penjajah mereka.

Aliansi bahkan kemudian mengkristal menjadi gerakan global besar yang independen dari kekuatan-kekuatan global, yakni Gerakan Non Blok pada 1 September 1961, yang salah seorang penggagasnya adalah juga Bung Karno. Dari Konferensi Asia-Afrika juga lahir terminologi-terminologi global yang merepresentasikan sikap, posisi dan independensi negara-negara baru, termasuk istilah “Dunia Ketiga”.

“Istilah itu merujuk kepada negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak berpihak selama Perang Dingin, selain melukiskan masyarakat negara berkembang yang sama-sama mengalami pahitnya kolonialisme,” tulis Jafar.

Gerakan ini semakin jauh melangka, dengan cara menolak tunduk kepada arsitektur politik dan ekonomi global yang diciptakan oleh bekas-bekas penjajah, yang pada dasarnya bisa melanggengkan diktasi mereka terhadap negara-negara yang pernah dijajah, persis disinggung Bung Karno pada Konferensi Asia Afrika 1955 itu.

Pada 1974, negara-negara baru merdeka yang jumlahnya semakin banyak turut mengadopsi sebuah piagam yang mengakui pentingnya restrukturisasi perekonomian global, yang memberi ruang partisipasi lebih luas kepada negara-negara berkembang. Hal ini lalu menjadi fondasi untuk sistem baru di antara negara-negara berkembang yang disebut dengan Kerjasama Selatan-Selatan.

“Banyak hal yang belum tercapai dari Semangat Bandung 1955, tapi ide-ide besar mengenai perjuangan melawan eksploitasi dari mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah, tetap hidup sampai kini,” ungkap Jafar.

Ambruknya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin membuat gerakan Asia-Afrika agak kehilangan konteks dan relevansinya, seperti juga yang dihadapi oleh Gerakan Non Blok. Kendati demikian, menurut Jafar, jika dicerna dan diamati lebih dalam lagi, semangat anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang dihidupkan dalam Konferensi Asia Afrika, tetap menyala, bahkan dalam bentuk yang lebih kritis dan kuat.

“Tahun depan, tepat 70 tahun usia KAA 1955, Indonesia dan Dunia Ketiga, perlu bertemu lagi guna memberi pesan kepada semesta bahwa Semangat Bandung abadi terawat,” tulis Jafar.

ANTARA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus