Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Adow Sheikh Aden, 32 tahun, menjadi bahan pergunjingan ketika ia mulai mengumpulkan botol-botol plastik air minum, ember plastik bocor dan jeriken tua di kamp pengungsian Dadaab, Kenya. Sebab bagi masyarakat Kenya, mengumpulkan sampah-sampah plastik bukan hal normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua orang awalnya mencemooh dan mengatakan saya gila karena mengumpulkan sampah. Di sini mengumpulkan sampah bukan hal yang lazim dilakukan. Kemudian saya menjelaskan bahwa saya mendaur ulang sampah untuk membantu kebersihan lingkungan dan kesehatan komunitas kami. Saya juga menjual plastik supaya menghasilkan uang sehingga saya dapat menafkahi hidup saya dan keluarga lebih baik”, kata Adow yang dikutip dari Reuters, Selasa, 5 Juni 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampah-sampah plastik yang telah dikumpulkan, diproses melalui mesin penghancur plastik dan kompresor. Adow dan beberapa pengungsi yang ikut mendaur ulang sampah sudah berhasil mendaur sebanyak enam ton sampah plastik. Keuntungan yang didapat pun fantastis, mencapai 160 ribu Shilling Kenya atau sekitar Rp.22 juta.
Sekarung pecahan jerigen plastik yang didaur ulang oleh pengungsi yang dipekerjakan dalam proyek oleh Masyarakat Palang Merah Kenya dekat kamp pengungsi Dabaab di Garissa County, Kenya pada 30 Mei 2018. Thomson Reuters Foundation/Nita Bhalla
Proyek daur ulang sampah di kampung Dadaab atau DWRP saat ini dikoordinir oleh organisasi Kenya Red Cross Society atau KRCS. Penanggung jawab proyek KRCS, Nelly Saiti, mengatakan mendaur ulang sampah plastik telah berdampak besar pada bisnis berkelanjutan para pengungsi. Potensi ini dapat dicontoh oleh kamp pengungsi besar lainnya seperti Bidi Bidi di Uganda, Kakuma di Kenya, dan kamp pengungsi Nyarugusu di Tanzania.
Seorang pengungsi lain, Abtidon Ali Mahat, 45 tahun, merasakan keuntungan setelah ikut dalam proyek daur ulang sampah plastik ini. Ia mendapat upah delapan ribu shilling Kenya atau sekitar Rp.1,1 juta dan dapat membiayai pernikahannya pada 2011 dari uang daur ulang sampah plastik ini. Pada 2017, ia mampu menabung hingga 12 ribu shilling Kenya atau sekitar Rp.1,7 juta.
Daur ulang sampah plastik telah membuka peluang baru bagi para pengungsi Somalia di Kenya. Larangan pemerintah Kenya untuk para pengungsi mencari pekerja di luar area kampung, membuat keterbatasan lahan pekerjaan. Pengungsi mencari nafkah dari sektor ternak, tata busana, pangan, dan pemanfaatan generator listrik dari sinar matahari.
Proyek daur ulang sampah di kamp pengungsian Dadaab ini sempat mendapat pandangan pekerjaan rendah di mata masyarakat. Namun dampak baik yang dihasilkan membuat pandangan tersebut berubah. Upaya Adow dalam mengatasi permasalahan plastik ini masuk dalam kampanye Hari Lingkungan Sedunia 5 Juni.
Sementara itu, Nelly mengatakan bahwa proyek daur ulang sampah plastik di kampung pengungsi Dadaab ini dapat mengubah stereotip masyarakat tentang pengungsi. Pengungsi dapat berkontribusi bagi kehidupan sosial dan membantu sesama dalam menjaga kelestarian alam.
REUTERS | THE STAR | AUDREY ANGELICA LOHO