Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal November poster raksasa Kevin Rudd, calon Perdana Menteri Australia terpampang di Jalan Camero, Hong Kong. Poster dengan warna dasar biru tua itu bersanding dengan neon box lainnya berhiaskan aksara Mandarin berwarna kuning dan merah. Di atas foto Rudd yang tampil formal itu ada tulisan dalam bahasa Inggris yang menganjurkan sekitar 55 ribu rakyat Australia yang bermukim di Hong Kong—sebagian besar berdarah campuran Australia-Cina—mencoblos Partai Buruh dalam pemilu 24 November lalu.
Kehadiran poster pemimpin Partai Buruh Australia yang fasih berbahasa Mandarin di Hong Kong menunjukkan pentingnya pemilu kali ini setelah hampir 12 tahun Australia dikendalikan konservatisme Partai Liberal di bawah pimpinan Perdana Menteri John Howard. ”Kami secara agresif berkampanye dengan sasaran rakyat Australia di luar negeri,” ujar Michael Morgan, direktur proyek internasional Partai Buruh.
Di dalam negeri, John Howard, 68 tahun, yang sudah berpengalaman, dan Kevin Rudd, 50 tahun, yang membawa harapan baru, habis-habisan membujuk hati rakyat Australia. Howard memfokuskan kampanyenya pada keberhasilan ekonomi selama pemerintahannya: angka pengangguran rendah, dunia usaha bagus, keuntungan meningkat, dan pajak cenderung turun. ”Saya sudah berkecimpung dalam politik sangat lama, saya sangat paham masalah (rakyat Australia),” ujar Howard di depan pengusaha di Sydney, Rabu pekan lalu.
Howard mengutip pernyataan bekas perdana menteri Paul Keating dari Partai Buruh beberapa hari sebelum dikalahkan Howard dari Partai Buruh pada pemilu 1996: ”Jika Anda (pemilih) mengganti pemerintah, Anda juga mengganti negeri ini,” ujar Howard memperingatkan pemilih yang akan lari dari Partai Liberal.
Jadi, kata Howard, jika terjadi perubahan akibat pemilu—Howard kalah—maka semua kemajuan yang selama ini dinikmati rakyat Australia akan berubah. ”Anda tak akan lagi memiliki pemerintah yang bertanggung jawab secara ekonomi, pemerintah yang selama 11 setengah tahun belakangan ini telah bekerja keras membangun kemakmuran yang kita miliki sekarang,” kata Howard. Tak mengherankan, jajak pendapat yang digelar koran The Australian masih menunjukkan apresiasi rakyat Australia terhadap Howard sebagai manajer ekonomi yang lebih baik, 51 persen, tinimbang pesaingnya, Rudd, yang hanya memperoleh 32 persen kepercayaan.
Namun, berhasil sebagai bos saja rupanya belum cukup. Howard boleh saja berbusa-busa membanggakan keberhasilan kebijakan ekonominya di depan pengusaha, tapi di jalanan Andrew Pidgeon mencibir. Penduduk kawasan tepi pantai Kingston, Adelaide, ini salah satu korban kebijakan bank sentral yang menaikkan suku bunga pinjaman menjadi 6,75 persen pada 7 November lalu, satu tingkat suku bunga yang tak pernah terjadi sejak Howard berkuasa pada 1996. Akibatnya, bagi Pidgeon, angsuran utang pembelian rumahnya membengkak. ”Ini saatnya untuk perubahan, karena segala sesuatunya tak lagi berjalan sebagaimana biasa,” ujar Pidgeon.
Celakanya, satu dari tiga pemilih adalah penduduk semacam Pidgeon yang harus membayar cicilan pinjaman. Tingkat suku bunga adalah isu politik yang sensitif di Australia karena, Pidgeon, misalnya, selain harus menanggung biaya hidup bersama istrinya, Fiona, dan bayi mereka yang berusia satu bulan, juga harus menyisakan 31 persen penghasilan untuk mencicil utang.
Kenaikan tingkat suku bunga ini tentu pil pahit bagi Howard menjelang pemilu ini. Maka, Howard pun buru-buru minta maaf. ”Saya sampaikan permohonan maaf kepada para peminjam yang kena dampak perubahan (suku bunga pinjaman), dan saya menyesalkan tambahan beban mereka sebagai akibatnya,” ujar Howard.
Menteri Keuangan Peter Costello berusaha menyelamatkan bosnya yang sedang terpojok. Menurut Costello, jika Partai Buruh menang pemilu, tingkat suku bunga justru akan lebih menggila, inflasi dan pengangguran tak terkendali. ”Hal yang paling penting sekarang adalah memiliki tim ekonomi yang dapat mengelola tantangan di masa depan. Kalau tidak, (pemerintah di bawah Partai Buruh) dapat menimbulkan penderitaan yang lebih parah lagi,” ujar calon pengganti Howard ini.
Toh, sebagian rakyat Australia paham bahwa kaum politisi biasa jualan ”kecap nomor satu”. Buktinya, meski mayoritas responden dalam jajak pendapat masih percaya pada kemampuan manajerial Perdana Menteri Howard, sebanyak 56 persen responden tetap memilih Rudd untuk duduk di kursi perdana menteri, sedang Howard hanya dipilih 46 persen responden. Mungkin inilah yang membuat pendukung Partai Liberal kalap dengan menyebar selebaran yang berisi pernyataan terima kasih Islamic Australia Federation, organisasi Islam fiktif, kepada Partai Buruh atas dukungannya terhadap pelaku bom Bali 2002 yang menewaskan 88 warga Australia.
Selebaran ini justru muncul dua hari menjelang pemilu. Tudingan pun dialamatkan ke kubu Partai Liberal, tapi Howard membantah keterlibatan partainya. ”Itu bukan bagian dari kampanye saya,” katanya. Selebaran itu merupakan kampanye hitam bagi Partai Buruh. Sasarannya tentu untuk menggembosi Partai Buruh dengan membangkitkan kembali sentimen antiterorisme yang selama ini dikobarkan pemerintah Howard. Presiden George W. Bush menjulukinya ”pria berkepala baja” sebagai apresiasi atas dukungan penuh Howard pada paket perang global Amerika Serikat terhadap terorisme, termasuk mengirim 1.575 personel militer Australia ke Irak.
Kini, Partai Buruh memutuskan tak lagi mengekor Presiden Bush, antara lain dengan rencana menarik 1.575 pasukan Australia dari Irak jika mereka menang pemilu. Bagi Partai Buruh, keterlibatan Australia dalam perang di Irak adalah kesalahan. ”Ini malapetaka kemanusiaan, malapetaka strategi,” ujar Robert McClelland, juru bicara Partai Buruh untuk urusan luar negeri. Selain itu, jika menang, Kevin Rudd akan berangkat memimpin delegasi Australia ke pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Bali untuk menandatangani Protokol Kyoto, Desember mendatang.
Selama ini Presiden Bush dan Perdana Menteri Howard ogah menandatangani Protokol Kyoto yang mewajibkan negara, khususnya negara industri, mengurangi emisi gas karbon. Pasalnya, pengurangan emisi gas karbon hanya akan merusak ekonomi mereka. Padahal, Amerika dan Australia adalah negara penghasil polutan terbesar di dunia. ”Saya ingin menunjukkan secara sederhana bahwa kita telah hengkang dari satu kubu pindah ke kubu lainnya,” ujar Rudd.
Perbedaan tegas pemerintahannya dengan pemerintahan Howardlah yang dijual Rudd kepada 13,6 juta pemilih Australia, termasuk mencerca keputusan Howard bahwa jika menang pemilu ia akan pensiun di tengah jalan. Howard berencana akan menyerahkan kursi perdana menteri kepada Peter Costello yang kini menjabat Menteri Keuangan dalam waktu 18 bulan hingga dua tahun dalam tiga tahun periode pemerintahannya. Bagi Kevin Rudd, ini sikap pongah Howard yang berharap rakyat Australia memilihnya kembali justru ketika ia berencana pensiun. ”Situasi ini tak hanya absurd, tapi juga pongah,” kata Ruud.
Tak mengherankan jika satu merek bir baru, ”Howard’s End”, kini laris manis seharga Aus$ 10 sebotol. Pada labelnya tertulis: ”Howard’s End sempurna untuk segala situasi. Apakah dengan teman-teman, John bersulang dengan (istri) Janette saat hengkang dari Kirribili (tempat tinggal resmi perdana menteri), atau suntuk memikirkan sendiri selama 11 tahun kesempatan yang hilang.”
Raihul Fadjri (The Australian, SM Herald, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo