Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Korea Selatan Minta Maaf atas Kasus Pemerkosaan oleh Militer

Permintaan maaf tidak berarti apa-apa, kecuali pelakunya dihukum.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEOUL - Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengakui adanya tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh militer saat menindak aksi pemberontakan pro-demokrasi pada 1980. Kementerian Pertahanan meminta maaf kepada para korban perempuan, termasuk gadis remaja yang menjadi sasaran kekejaman militer dalam tragedi di barat daya Kota Gwangju tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hasil penyelidikan telah mengkonfirmasi adanya pemerkosaan, serangan, dan kekerasan serta penyiksaan secara seksual yang dilakukan oleh pasukan darurat militer," ujar Menteri Pertahanan Jeong Kyeong-doo dalam pernyataannya, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi demonstrasi pro-demokrasi di Kota Gwangju bermula dari protes warga Kota Gwangju karena Jenderal Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo mengambil alih kekuasaan setelah Presiden Park Chung-hee terbunuh pada 1979. Rakyat kecewa dan menginginkan transisi yang demokratis. Pada 18 Mei 1980, penduduk Kota Gwangju menggelar aksi unjuk rasa.

Tentara melakukan aksi brutal, bahkan melepas tembakan, untuk meredam aksi demonstrasi. Para pengunjuk rasa dipukul dan disiksa hingga tewas. Beberapa korban termasuk perempuan dan gadis remaja yang tidak ikut dalam aksi demonstrasi. "Atas nama pemerintah dan militer, saya membungkuk dalam-dalam dan meminta maaf atas luka-luka mendalam serta rasa sakit terhadap para korban yang tidak bersalah," ujar Jeong.

Kalangan konservatif Korea Selatan mengutuk aksi demonstrasi tersebut dan menyebutnya sebagai pemberontakan yang terinspirasi oleh kelompok komunis. Menurut data resmi, lebih dari 200 orang dilaporkan tewas atau hilang, sementara para aktivis mengatakan jumlah korban mungkin tiga kali lipat.

Pasukan Jenderal Chun diyakini juga telah melancarkan serangan seksual terhadap perempuan. Namun masalah ini telah lama dibiarkan karena korban yang trauma enggan bersaksi. Suasana berubah setelah Presiden Moon Jae-in terpilih pada pemilihan pada 2017 dan berupaya mengungkap kembali tragedi Gwangju. Kasus lawas ini menguat setelah Kim Sun-ok, salah seorang pengunjuk rasa, dalam wawancara dengan stasiun televisi pada Mei lalu mengaku diperkosa oleh seorang interogator pada 1980.

Pengakuan Kim itu mendorong otoritas Korea Selatan memulai penyelidikan, yang hasilnya mengkonfirmasi adanya 17 kasus. Menteri Jeong mengatakan akan berupaya sekuatnya untuk menghibur para korban dan mengembalikan kehormatan mereka, serta mencegah peristiwa serupa terulang.

Meski pemerintah dan militer meminta maaf, Kim Sun-ok menolaknya. "Saya tidak mau mendengarkannya karena pengalaman traumatis yang saya alami," ujar dia kepada AFP. "Sejuta permintaan maaf tidak berarti apa-apa, kecuali mereka yang bertanggung jawab dibawa ke pengadilan dan dihukum."

CHANNEL NEWS ASIA | NDTV.COM | KBS | SUKMA LOPPIES


36 Bulan Wajib Militer Alternatif

Kelompok aktivis masyarakat Korea Selatan mengkritik rencana Kementerian Pertahanan yang akan menyiapkan waktu lebih lama dalam sistem wajib militer alternatif. Mereka menilai sistem wajib militer alternatif selama 36 bulan-dua kali lebih lama dari wajib militer sesungguhnya-bagi mereka yang menolak wajib militer terlalu lama.

"Kami meminta pemerintah menetapkan waktu selama 1,5 kali dari jangka waktu saat ini dan memiliki lebih banyak tempat untuk dilayani dalam periode tersebut," ujar Lim Jae-seong, anggota Kelompok Masyarakat Demokratis-organisasi nirlaba dari pengacara liberal-kepada Chosun Ilbo.

Kementerian Pertahanan Korea Selatan sedang menyiapkan sistem wajib militer alternatif sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi agar membuat Undang-Undang Sistem Wajib Militer Alternatif. Hal ini bermula dari adanya 2.699 pria yang menolak ikut wajib militer sejak 2013 hingga 2017 dengan alasan agama.

Walhasil Kementerian Pertahanan menyediakan rancangan alternatif, yakni selama 36 bulan-dua kali lebih lama dari masa wajib militer. Mereka dianjurkan bekerja di rumah sakit rehabilitasi, rumah sakit jiwa, atau panti jompo dan berkewajiban menginap. Pemerintah juga akan lebih teliti menentukan calon yang akan melakukan pekerjaan alternatif pengganti wajib militer.

Lee Yong-seok, aktivis di World Without War yang berbasis di Seoul, menilai waktu 36 bulan terlalu lama. Dalam wawancara radio di CPBC, pekan lalu, Lee menyebut rencana itu merupakan regresi hak asasi manusia. Lagi pula lembaga hak asasi manusia Korea Selatan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menurut pernyataan bersama oleh Amnesty International dan empat lembaga swadaya Korea Selatan, telah merekomendasikan bahwa pemerintah Korea Selatan menetapkan layanan alternatif wajib militer kurang dari 27 bulan. GEPHARDT DAILY | KBS | SUKMA LOPPIES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus