Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gugatan Kosong Trump

Tim kampanye Donald Trump mengklaim ada kecurangan dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat. Beberapa pengadilan menolak gugatan mereka karena tak punya bukti kuat.

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para pendukung Presiden Donald Trump meyakini hasil pilpres tak sesuai karena dicurangi.

  • Gugatan kubu Presiden Donald Trump di sejumlah negara bagian, antara lain Michigan dan Pennsylvania, mental karena tak ada buktinya.

  • Lembaga pemerintah menyatakan pilpres pada 3 November paling aman dalam sejarah Amerika.

RATUSAN pendukung Presiden Donald Trump berkumpul di depan kantor Gubernur Negara Bagian Michigan di Kota Lansing pada Rabu siang, 11 November lalu. Mereka memprotes hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat yang diduga curang, seperti yang dutuduhkan oleh Trump, pada 3 November lalu. Mereka juga menuntut Kongres menginvestigasi proses pemilihan. “Kami menang di pemilihan minggu lalu,” kata Nick Fuentes, orator aksi massa di Lansing. Dia menyebut tim kampanye Trump juga memiliki bukti bahwa kecurangan terjadi di mana-mana. “Jangan percaya laporan media.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil penghitungan suara sementara menunjukkan kandidat presiden inkumben dari Partai Republik, Donald Trump, kalah sekitar 150 ribu suara dibanding perolehan sang penantang, Joe Biden, di wilayah Michigan. Biden meraup 2.795.975 suara atau sekitar 50,5 persen dari total pemilih. Trump akan sulit mengejar selisih suara sebanyak itu, mengingat surat suara yang dihitung sudah mencapai 99 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Michigan merupakan salah satu negara bagian kunci dalam pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini. Negara bagian ini kerap berubah pilihan atau swing state. Kandidat presiden dari Partai Republik atau Demokrat sama-sama pernah menang di sini. Barack Obama pernah menang dalam pemilihan presiden 2008 dan 2012. Empat tahun berselang, meski menjadi basis partai Demokrat yang mendukung kandidat Hillary Clinton, mayoritas penduduk Michigan justru memilih pasangan Trump dan Mike Pence. Kemenangan Biden tahun ini mengembalikan dominasi Demokrat di sana.

Dalam pidato pertamanya di hadapan publik sejak kalah dalam pemilihan, Trump tetap tak mengakui kekalahannya. Dalam pidatonya pada Jumat, 13 November lalu, dia tak menyentuh isu pemilihan dan berkonsentrasi pada penanganan kasus pandemi Covid-19 yang berpotensi meningkat menjelang musim dingin. Menurutnya, pemerintahan Amerika tidak akan menjalani karantina alias lockdown. “Apa pun yang terjadi di masa mendatang, entah di pemerintahan siapa, saya menyatakan pemerintahan tidak akan berhenti,” kata Trump, yang langsung meninggalkan podium setelah menyelesaikan pidatonya dan tidak menanggapi pertanyaan para jurnalis.

Akhir pekan lalu, pasangan calon presiden dan wakil presiden Joe Biden dan Kamala Harris mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilihan. Alih-alih mengakui kekalahan dan memberi selamat kepada lawannya, Trump malah berulah. Sejak hari pemilihan, Trump terus melontarkan klaim kemenangan dan menuntut proses penghitungan suara dihentikan karena menilai ada kecurangan dalam pemilihan. Tapi tim kampanye Trump tak pernah menyodorkan bukti-bukti atas klaim tersebut.

Kubu Trump juga mengajukan gugatan di sejumlah negara bagian. Sehari setelah penghitungan suara, tim menggugat Sekretaris Negara Bagian Michigan ke Court of Claims, pengadilan yang mengurus gugatan terhadap pemerintah federal di Michigan. Dalam dokumen gugatan yang diperoleh Tempo, tim Trump mengklaim proses penghitungan suara yang masuk melalui jalur pos dilakukan tanpa kehadiran saksi. Berbeda dengan di Indonesia, yang memiliki Komisi Pemilihan Umum, proses pemilihan di sana digelar oleh sekretaris negara bagian masing-masing.

Kantor Sekretaris Negara Bagian Michigan mengirimkan pernyataan resmi ke pengadilan yang membantah tudingan Trump. “Penggugat tidak menjelaskan di lokasi mana, kapan, bagaimana, dan bahkan siapa saksi yang tidak hadir dalam proses penghitungan yang mereka gugat tersebut,” kata Jonathan Brater, pengacara Sekretaris Negara Bagian Michigan. Pada Kamis, 12 November lalu, hakim Cynthia Stephens menolak gugatan itu karena tak berdasar dan bukti-bukti yang diajukan pun hanya “kabar angin”.

Gugatan tim kampanye Trump membuat para pendukungnya terbelah. Ketika Fuentes dan kawan-kawannya terus berunjuk rasa, Kate Williams, yang sebelumnya mendukung Trump, malah berharap Trump bisa menerima kekalahan dan gugatan soal hasil pemilihan segera berakhir. “Saya tidak tahu ada bukti kecurangan atau tidak,” kata Williams kepada Tempo. “Kalau memang ada kecurangan, buktikan saja ke pengadilan. Tapi, kalau hakim sudah bilang tidak ada kecurangan, sebaiknya menerima kekalahan.”

Kekalahan di Court of Claims tak menyurutkan langkah kubu Trump. Mereka kini menggugat Sekretaris Negara Bagian Michigan di Pengadilan Distrik Michigan Barat. Dalam salinan dokumen sebanyak 31 halaman, gugatan itu diajukan atas nama tujuh pemilih Trump di Michigan. Isi gugatan tersebut, antara lain, mengenai klaim adanya penyimpangan dalam pemilihan dan proses penghitungan suara.

Penggugat menyebut ada surat suara yang dihitung dua kali, saksi Partai Republik dihadang saat berusaha memantau proses penghitungan, dan ada surat suara yang tanggalnya tidak sesuai. Selain itu, penggugat menyebut petugas tempat pemilihan suara yang mengenakan kaus bertulisan “Biden” dan ada kesalahan pada perangkat lunak penghitung suara. Gugatan itu juga berisi lampiran testimoni sejumlah orang yang diwawancarai tim kampanye Trump. Meski demikian, laporan media-media lokal Michigan menyebut klaim kubu Trump tersebut tak memiliki bukti kuat.

Kubu Trump mengajukan hampir 20 gugatan ke pengadilan Michigan dalam tempo kurang dari sepekan. Jaksa Agung Negara Bagian Michigan Dana Nessel menyebut langkah itu sekadar untuk mencari informasi. Gugatan yang disampaikan pun minim bukti atau malah berisi fakta yang tidak benar. Nessel, seperti dilaporkan ABC 7 Chicago, menduga motif gugatan itu adalah untuk memperlambat proses pengesahan hasil pemilihan untuk Biden. “Tugas saya adalah melindungi negara dan kepentingan rakyat,” tuturnya.

Gugatan kubu Trump di Pengadilan Pennsylvania, seperti dilaporkan Reuters pada Jumat, 13 November lalu, juga terancam kandas. Tim pengacara Sekretaris Negara Bagian Pennsylvania dan tujuh county (setara kabupaten) di Pennsylvania menyatakan gugatan dari tim kampanye Trump tak punya bukti dan hanya didasari teori yang sudah banyak dibantah. “Pengadilan seharusnya bisa melihat sasaran gugatan ini, yaitu serangan terencana terhadap sistem pemilihan di Pennsylvania dan mengambil hak para pemilih yang sudah memberikan suaranya dengan sah,” kata tim itu dalam dokumen yang dikirim ke pengadilan.

Biden meraup suara mayoritas pemilih di tujuh county di Pennsylvania yang disebutkan dalam gugatan tim Trump. Dengan sekitar 97 persen surat suara yang sudah dihitung, Biden berhasil mengungguli Trump lebih dari 53 ribu suara. Otoritas Pennsylvania dijadwalkan mengesahkan hasil pemilihan pada 23 November nanti.

Kisruh klaim Trump mempengaruhi proses serah-terima urusan administrasi dan dokumen kepada tim transisi pemerintahan Biden. Trump masih belum menyerahkan surat yang memungkinkan tim Biden mengakses administrasi dan kantor federal. Biasanya, kedua tim kandidat sudah menyelesaikan urusan transisi hanya dalam waktu beberapa jam setelah proyeksi pemenang pemilihan diumumkan. Tim Obama, misalnya, sudah memberikan surat penyerahan transisi sehari setelah Trump diumumkan menang pada 2016. Pada pemilihan 2008, urusan ini bahkan langsung selesai pada malam hari pemilihan. Hanya pada pemilihan 2000, ketika terjadi sengketa pemilihan antara George W. Bush dan Al Gore, urusan transisi tersendat hingga 37 hari.

Aksi protes di sejumlah negara bagian tempat kubu Trump yakin bisa meraup suara mayoritas, seperti di Georgia, Pennsylvania, Arizona, Minnesota, dan Wisconsin, juga terjadi. Kubu Trump juga mengklaim ada kecurangan dalam proses pemilihan di Kansas dan Ohio, yang justru dimenangi Trump. “Di Kansas tidak ada isu sistematis menyangkut kecurangan pemilih, intimidasi, atau masalah pemilihan lainnya,” kata Scott Schwab, Sekretaris Negara Bagian Kansas yang juga anggota Partai Republik, seperti dilaporkan The New York Times, 11 November lalu.

Dalam pidato menyambut kemenangannya di Wilmington, Delaware, pada 10 November lalu, Biden mengajak semua warga Amerika untuk kembali bersatu dan menanggalkan perbedaan yang muncul selama kampanye hingga pemilihan. Dia juga menyindir aksi Trump yang tak mau mengakui kekalahannya sebagai warisan yang memalukan sebagai seorang presiden.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, INDRI MAULIDAR (MICHIGAN)


Harapan Baru dari Orang Lama

Joe Biden adalah orang lama di Gedung Putih. Selama delapan tahun dia menjadi wakil presiden pendamping Barrack Obama setelah mereka menang dalam pemilihan umum 2008 dan 2016. Kembalinya Biden ke Gedung Putih pada Januari mendatang, kali ini sebagai presiden, membuka harapan baru bagi Amerika Serikat, yang kerap diwarnai kontroversi selama empat tahun di bawah pimpinan Donald Trump.

Dalam pidato perdananya menyambut hasil pemilihan presiden 2020, Biden sudah menyinggung soal keberlanjutan program asuransi kesehatan masyarakat yang diprakarsai Obama tapi dipandang sebelah mata oleh Trump. Biden juga menyatakan akan meningkatkan pajak korporasi hingga 28 persen. Pada era Trump, pajak itu hanya sebesar 21 persen. Adapun penduduk dengan penghasilan kurang dari US$ 400 ribu setahun, menurut Biden, tidak perlu membayar berbagai pajak lagi.

Biden juga berjanji untuk langsung berfokus menangani pandemi Covid-19 yang makin merajalela dengan membentuk badan khusus. Salah satu penyebab meluasnya infeksi penyakit ini diduga adalah retorika dan perilaku Trump yang kerap meremehkan protokol kesehatan dan diikuti para pendukungnya. “Badan ini juga akan menjamin vaksin aman dan efektif serta didistribusikan secara efisien dan gratis,” kata Biden, seperti dilaporkan NPR pada Senin, 9 November lalu.

Presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden dan Wakil Presiden Amerika Serikat terpilih Kamala Harris, menggelar pertemuan bersama Dewan Penasehat Transisi Covid 19, di Washington, Amerika Serikat, 9 November 2020. Reuteras/Jonathan Ernst

Sektor lain yang disasar Biden adalah urusan imigrasi. Dia berjanji membuat aturan imigrasi komprehensif yang dapat membantu 11 juta imigran ilegal mendapatkan kewarganegaraan. Biden juga berencana membuat keputusan untuk menghentikan pemisahan keluarga imigran dari Meksiko yang sebelumnya kerap terjadi pada era Trump.

Biden juga memasukkan urusan reformasi polisi, isu lingkungan hidup, serta urusan relasi dan kerja sama Amerika dengan negara lain dalam program kerjanya. Dalam kampanyenya sebelum pemilihan umum, Biden menyatakan Amerika membutuhkan pemimpin yang bisa memperbaiki kebijakan luar negeri Trump yang berantakan dan kerusakan yang dibuatnya di dunia.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (NPR, CNBC, WASHINGTON POST)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus