MIKHAIL Gorbachev tak menjawab dengan kata. Baik tentang kesediaan Lithuania untuk menunda sementara waktu kemerdekaannya -- bukannya mencabut -- maupun tentang tawaran berunding dari Latvia yang "mengaktifkan kembali" kemerdekaannya yang "dibekukan" Soviet. Moskow kepada Lithuania tetap membisu, sementara pada Latvia dikirimkannya tank dan kendaraan lapis baja. Padahal, bukan saja wakol perdana menteri, dan kemudian Perdana Menteri Kazimiera Prunskiene yang sedang di Washington yang bersedia berunding dengan Gorbachev. Bahkan Presiden Vytautas Landsbergis sendiri pun bersedia "membicarakan lagi undang-undang Lithuania merdeka" yang menyinggung Kremlin. Itu semua dimaksudkan agar cara diplomasi lebih dihargai daripada tindakan tak terpuji. Lithuania tentu berani bertahan. Tapi, kata Prunskiene dalam wawancara di TV Washington, pekan lalu, "Itu berarti bertahan dengan sangat menderita." Memang, Kamis pekan lalu menteri kesehatan Lithuania sudah meramalkan negeri ini bakal kekurangan obat. Pertama, karena blokade ekonomi Soviet, kedua karena meningkatnya penderita inveksi. Para dokter sudah sepakat hanya mengobati mereka yang dalam keadaan gawat. Awal pekan lalu para dokter Lithuania sudah menyatakan kritisnya persediaan insulin dan antibiotik. Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Algirdas Brazauskas memperhitungkan, sekitar 8 hari lagi, persisnya 20 Mei nanti, persediaan bahan bakar minyak bakal sama sekali kering. Pemimpin partai minoritas, Kazimieras Antanavicius, mengakui bahwa "tanpa berani mengambil risiko tentu tak akan lahir pahlawan bangsa." Tapi, katanya lebih lanjut, "kita tak bisa mempertahankan seluruh bangsa." Kata-kata Antanavicius mengingatkan pada Stanislovas Zhemaitis, lelaki Lithuania berusia 52 tahun yang membakar diri sampai mati di dekat Gedung Teater Bolshoi di Moskow, 26 April lalu. Ia memprotes sanksi ekonomi Moskow pada Lithuania. Bapak dua anak perempuan dan seorang anak lak-laki angkat serta kakek seorang cucu itu sebenarnya tak tertarik politik. Pekerja sederhana itu, suatu malam, ketika sanksi Moskow mulai terasa di rumah-rumah di Lithuania, ia bilang -- seperti dituturkan oleh istrinya -- "Kiamat sudah. Tak ada minyak, tak ada kerja, dan sebentar lagi tak ada uang." Keesokan harinya istrinya menemukan cincin kawin yang dipakai Zhemaitis tergeletak pada selembar surat. "Stasele, sayangku, aku tak bisa hidup lebih lama lagi. Pengusaha telah memutar padam sumbu lampu, mengirimkan pasukan para, dan orang-orang kehilangan pekerjaan. Saya pergi ke Moskow untuk membakar diriku," demikian bunyi surat itu. Lalu ia hangus, mati. Di kuburnya ditulis: "Putra Lithuania. Bunuh dirimu demi kemerdekaan akan selalu diingat di hati setiap warga Lithuania." Para pemimpin Lithuania rupanya tak ingin ada lagi Zhemaitis-Zhemaitis yang lain. Tapi, di saat yang menentukan maju-mundurnya perjuangan itu, republik tetangga pun menyatakan merdeka juga. Latvia mengambil risiko sebagaimana Lithuania. Belum ada komentar dari Vytautas Landsbergis dan rekan-rekannya. Cuma, tindakan Latvia tentunya lebih dari sekadar pernyataan solidaritas. Api yang tampaknya mulai redup kembali menyala tinggi di Lithuania. Itulah suatu dukungan moral yang luar biasa, setelah Perdana Menteri Prunskiene gagal memperoleh pengakuan kemerdekaan Lithuania dari Amerika Serikat. Presiden George Bush lebih setuju dengan saran dari Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl dan Presiden Prancis Mitterrand, sebaiknya Lithuania selangkah mundur dengan menunda kemerdekaannya. Problem yang rumit buat Gorbachev. Sampai kapan ia bertahan? Sampai kapan "'kekaisaran" Uni Soviet tetap utuh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini