Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Macron Tak Akan Tunjuk Pemerintahan Baru Prancis Sampai Olimpiade Selesai

Presiden Macron menolak langkah koalisi sayap kiri yang mengusulkan kandidat PM baru. Ia menunggu hingga Olimpiade selesai.

24 Juli 2024 | 15.10 WIB

Presiden Prancis Emmanuel Macron melihat ke bawah di samping Menteri Luar Negeri dan Eropa Prancis Catherine Colonna selama konferensi kemanusiaan internasional untuk warga sipil di Gaza, di Istana Kepresidenan Elysee, di Paris, Prancis, pada 9 November 2023. Reuters
Perbesar
Presiden Prancis Emmanuel Macron melihat ke bawah di samping Menteri Luar Negeri dan Eropa Prancis Catherine Colonna selama konferensi kemanusiaan internasional untuk warga sipil di Gaza, di Istana Kepresidenan Elysee, di Paris, Prancis, pada 9 November 2023. Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Selasa, 23 Juli 2024 menolak langkah koalisi sayap kiri untuk menunjuk perdana menteri baru Prancis setelah pemilu sela. Macron, yang merupakan bagian dari koalisi sentris Ensemble, mengatakan pemerintahannya akan tetap berkuasa hingga pertengahan Agustus 2024 selagi Prancis menjadi tuan rumah Olimpiade.
 
Koalisi sayap kiri Front Populer Baru (NFP), yang memenangkan jumlah kursi terbesar di parlemen dalam pemilu bulan ini, mengusulkan seorang calon perdana menteri hanya satu jam sebelum Macron berbicara dalam sebuah wawancara televisi.
 
“Tentu saja kami perlu berkonsentrasi pada Olimpiade hingga pertengahan Agustus,” kata Macron kepada stasiun televisi France 2. “Setelah itu… saya bertanggung jawab untuk menunjuk seorang perdana menteri dan mempercayakan kepada mereka tugas membentuk pemerintahan, dengan dukungan seluas mungkin.”
 
Olimpiade di Paris, yang akan berlangsung dari 26 Juli hingga 11 Agustus 2024, merupakan tantangan logistik dan keamanan besar bagi Prancis, yang perlu mengurus 35 lokasi dan sekitar 10.500 atlet.
 
Ketika ditanya tentang kandidat perdana menteri yang diusulkan NFP, Macron mengatakan kepada France 2: “Ini bukan masalahnya. Nama (calon)nya bukan masalah. Masalahnya adalah: Mayoritas mana yang bisa muncul di Majelis (Nasional)?”
 
Prancis tengah mengalami kebuntuan parlemen sejak pemilu. Setelah Macron membubarkan parlemen dan menyerukan pemilu sela, tidak ada partai yang memenangkan mayoritas kursi di majelis rendah parlemen, sehingga parlemen kini terpecah menjadi tiga blok.
 
Aliansi NFP meraup suara terbesar dengan 193 kursi, dibandingkan dengan 164 kursi yang diraih oleh kubu sayap tengah Macron dan 143 kursi yang diraih oleh Barisan Nasional (RN) dan sekutunya yang berhaluan sayap kanan.
 
Menilai diri mereka sendiri sebagai pemenang dengan kursi terbanyak, partai-partai sayap kiri di dalam NFP telah bertengkar selama berminggu-minggu mengenai siapa yang akan menjadi calon perdana menteri.
 
Mereka akhirnya mencapai konsensus untuk mengusulkan Lucie Castets, seorang ekonom dan spesialis kejahatan keuangan, tepat sebelum penampilan Macron di TV kemarin. Bekerja sebagai pegawai negeri senior untuk pemerintah kota Paris, nama Castets sama sekali tidak dikenal masyarakat luas.
 
Jabatan Castets adalah direktur keuangan dan pembelian di balai kota Paris. Dia lulus dari sekolah elit Ecole Nationale d'Administration di Prancis untuk pegawai negeri pada 2013, namun dia tidak memiliki latar belakang politik partai.
 
Perempuan berusia 37 tahun itu mengatakan kepada AFP bahwa dia telah menerima nominasi tersebut “dengan penuh kerendahan hati namun juga keyakinan yang besar”, dan percaya bahwa dirinya adalah “kandidat yang serius dan kredibel” untuk posisi perdana menteri.
 
Castets menambahkan bahwa salah satu prioritasnya adalah “mencabut reformasi pensiun” yang dilakukan Macron tahun lalu, yang memicu protes meluas dari masyarakat, serta “reformasi pajak besar-besaran sehingga semua orang membayar bagiannya secara adil”.
 
Berdasarkan konstitusi Prancis, presiden berhak menentukan perdana menteri, sehingga koalisi sayap kiri tidak bisa memaksakan kehendak Macron. Sejauh ini, Macron justru mendesak partai-partai politik untuk berupaya membentuk koalisi yang lebih luas.
 
Pemerintahan Macron yang akan segera digantikan saat ini hanya bertindak sebagai pemerintahan sementara, menjalankan urusan sehari-hari tanpa bisa mengeluarkan undang-undang baru.
 
REUTERS | FRANCE24

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nabiila Azzahra

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menjadi reporter Tempo sejak 2023 dengan liputan isu internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus