Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mati Untuk Mokhtar

Menteri kebudayaan, olah raga & pemuda, Datuk Mokhtar Hashim, dijatuhi hukuman mati gantung, terbukti bersalah membunuh ketua parlemen negeri sembilan, Datuk Mohamed Toha Talib. (ln)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Hashim Yeop Sani berkata: ". . . kamu akan mati di tiang gantungan." Itulah vonis Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur, setelah bersidang 75 hari, terpanjang dalam sejarah peradilan Malaysia. Datuk Mokhtar Hashim, menteri kebudayaan, olah raga, dan pemuda Sabtu lalu terbukti bersalah membunuh Ketua Parlemen Negri Sembilan, Datuk Mohamed Taha Talib. Bersama Datuk Mokhtar, juga Rahmat Satiman, kepala desa Gemenchih, Negri Sembilan, dihukum mati. Ia membantu Mokhtar dalam pembunuhan itu. Datuk Taha dijumpai tewas 14 April, satu minggu sebelum pemilihan umum 1982. Dia dan Mokhtar sama-sama bersaing dari daerah Tampin untuk jadi anggota Parlemen. Adalah Mokhtar akhirnya yang terpilih. Rahmat Satiman semula mengungkapkan kepada polisi bagaimana mulut Datuk Taha disumbat dan matanya ditutup, sebelum ia kemudian ditembak oleh Datuk Mokhtar. Tapi di pengadilan Rahmat menyangkal. Pengakuan itu, katanya, dibuatnya di bawah ancaman pohsi yang memperlakukannya sccara kelam. Bukti utama agaknya pernyataan Gee Hock Eng, ahli kimia yang bertindak sebagai ahli identifikasi senjata api. Menurut saksi ahli Gee, dua dari tiga peluru yang ditemukan pada jenasah Datuk Taha, berasal dari pistol milik Datuk Mokhtar, sebuah Walther-32. Peluru ketiga tidak dikeluarkan dari paha Datuk Taha. Pernyataan Gee itu ditentang George Fassnacht, ahli identifikasi senjata api dari AS, yang diundang Jagjit Singh, pembela Mokhtar. Menurut Fassnacht, metoda menentukan ciri peluru itu oleh Gee, tidak betul. Gee bukan pula ahli identifikasi senjata api, katanya. Sayangnya, ahli dari AS itu tidak diperkenankan muncul dalam sidang pengadilan itu untuk memberikan kesaksiannya. Mokhtar sendiri juga menolak tuduhan menggunakan pistol itu "Mungkin dipergunakan orang lain," ujarnya Januari lalu. Pada malam pembunuhan itu (14 April), katanya, ia tidak di kampung itu, tapi menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan di lain kota. Selama itu, katanya, ia selalu ditemani pengawal pribadinya, anggota polisi Mohamed Sani Shariff. Tapi juga kesaksian Sani Shariff ditolak sidang pengadilan yang mencurigai kebenarannya. "Menurut pendapat saya, anggota polisi Sani, merupakan contoh menyedihkan tentang kesetiaan yang sesat," ujar Hakim Hashim. Tentang keterangan Mokhtar bahwa ia berkunjung ke tempat teman di Johor Baru, Hashim juga punya komentar. "Patut ditolak sebagai sangat tidak mungkin," ujarnya. Juga kesaksian Mohamed Ajib bin Haji Ahmad dan istrinya, Puan Maspupah binti Masan, bahwa Mokhtar berada di rumah mereka malam naas itu, ditolak pengadilan. Seluruh alibi Mokhtar dinilai "sama sekali palsu dan dibikin-bikin". Penilaian itu agaknya didasarkan satu-satunya keterangan yang menyatakan Mokhtar terlihat dekat kejadian malam itu. Keterangan itu berasal dari Atun bin Ali, pekerja dan dukun di kampung Datuk Taha. Menurut Atun, malam itu ia melihat Datuk Mokhtar bersama Noordin Johan, Aziz Tumpuk, Aziz Abdullah dan Abdullah Ambek di perkebunan Karet Gan Kee. Waktu pulang dan memotong jalan melalui perkebunan itu, dan dalam cahaya bulan terang, kata Atun, ia jelas mengenali kelima orang itu. Perkebunan Gan Kee terletak sekitar 4,8 km dari tempat terbunuhnya Datuk Taha. Atun mengaku, semula ia takut bicara karena melibatkan seorang menteri. Pembela gagal menyatakan keterangan Atun itu palsu. Seluruh pembuktian dalam perkara itu tersurat dalam naskah setebal 40 halaman selama lebih satu jam dibacakan Hakim Hashim. Pembela Mokhtar, Jagjit Singh dan pembela Rahmat, Manjeet Singh, segera mendaftarkan maksud kedua klien mereka untuk naik banding ke Mahkamah Federal, pengadilan tertinggi di Malaysia. Proses peradilan Mokhtar itu agak berbeda dengan yang lazim berlaku dalam surat kasus pembunuhan Menurut Kode Prosedur Kriminal, dalam kasus pembunuhan harus ada pemeriksaan pendahuluan. Bila didukung pembuktian yang cukup, baru ia diajukan ke Pengadilan Tinggi. Tapi Jaksa Agung, Tan Sn Abu Talib Othman, memakai alasan bahwa kasus ini khusus sifatnya. Permintaannya diluluskan agar ini diajukan langsung ke Pengadilan Tinggi, meski ditentang para pembela. Sekarang kedua terhukum kembali ke penjara Pundu, menunggu keputusan naik banding. Jika kelak Mahkamah Federal mengukuhkan keputusan Pengadilan Tinggi itu, mereka masih punya satu kesempatan, yaitu mengajukan grasi kepada Yang Dipertuan Agung, raja Malaysia. Jika keputusan itu dibatalkan, ada kemungkinan mereka dibebaskan atau paling tidak hukumannya diperingan. Tidak hanya Mokhtar dan Rahmat menunggu keputusan Mahkamah Federal. Jaksa Agung Tan Sri Abu Talib juga naik banding atas keputusan Pengadilan Tinggi Desember lalu, yang membebaskan dua terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu Noordin Johan dan Aziz Abdullah. Kini mereka pun ditahan kembali di penjara Pundu. Terdakwa Aziz Tumpuk, Agustus lalu, meninggal akibat menderita penyakit. Meski vonis sudah jatuh, Datuk Mokhtar masih menjabat sebagai menteri, bahkan masih menerima gajinya. Dan honornya sebagai anggota parlemen - M$ 3.000 sebulan - masih ia terima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus