Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM Hashim Yeop Sani berkata: ". . . kamu akan mati di tiang
gantungan." Itulah vonis Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur, setelah
bersidang 75 hari, terpanjang dalam sejarah peradilan Malaysia.
Datuk Mokhtar Hashim, menteri kebudayaan, olah raga, dan pemuda
Sabtu lalu terbukti bersalah membunuh Ketua Parlemen Negri
Sembilan, Datuk Mohamed Taha Talib.
Bersama Datuk Mokhtar, juga Rahmat Satiman, kepala desa
Gemenchih, Negri Sembilan, dihukum mati. Ia membantu Mokhtar
dalam pembunuhan itu.
Datuk Taha dijumpai tewas 14 April, satu minggu sebelum
pemilihan umum 1982. Dia dan Mokhtar sama-sama bersaing dari
daerah Tampin untuk jadi anggota Parlemen. Adalah Mokhtar
akhirnya yang terpilih.
Rahmat Satiman semula mengungkapkan kepada polisi bagaimana
mulut Datuk Taha disumbat dan matanya ditutup, sebelum ia
kemudian ditembak oleh Datuk Mokhtar. Tapi di pengadilan Rahmat
menyangkal. Pengakuan itu, katanya, dibuatnya di bawah ancaman
pohsi yang memperlakukannya sccara kelam.
Bukti utama agaknya pernyataan Gee Hock Eng, ahli kimia yang
bertindak sebagai ahli identifikasi senjata api. Menurut saksi
ahli Gee, dua dari tiga peluru yang ditemukan pada jenasah Datuk
Taha, berasal dari pistol milik Datuk Mokhtar, sebuah
Walther-32. Peluru ketiga tidak dikeluarkan dari paha Datuk
Taha.
Pernyataan Gee itu ditentang George Fassnacht, ahli identifikasi
senjata api dari AS, yang diundang Jagjit Singh, pembela
Mokhtar. Menurut Fassnacht, metoda menentukan ciri peluru itu
oleh Gee, tidak betul. Gee bukan pula ahli identifikasi senjata
api, katanya. Sayangnya, ahli dari AS itu tidak diperkenankan
muncul dalam sidang pengadilan itu untuk memberikan
kesaksiannya.
Mokhtar sendiri juga menolak tuduhan menggunakan pistol itu
"Mungkin dipergunakan orang lain," ujarnya Januari lalu. Pada
malam pembunuhan itu (14 April), katanya, ia tidak di kampung
itu, tapi menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan di lain
kota. Selama itu, katanya, ia selalu ditemani pengawal
pribadinya, anggota polisi Mohamed Sani Shariff.
Tapi juga kesaksian Sani Shariff ditolak sidang pengadilan yang
mencurigai kebenarannya. "Menurut pendapat saya, anggota polisi
Sani, merupakan contoh menyedihkan tentang kesetiaan yang
sesat," ujar Hakim Hashim. Tentang keterangan Mokhtar bahwa ia
berkunjung ke tempat teman di Johor Baru, Hashim juga punya
komentar. "Patut ditolak sebagai sangat tidak mungkin," ujarnya.
Juga kesaksian Mohamed Ajib bin Haji Ahmad dan istrinya, Puan
Maspupah binti Masan, bahwa Mokhtar berada di rumah mereka malam
naas itu, ditolak pengadilan. Seluruh alibi Mokhtar dinilai
"sama sekali palsu dan dibikin-bikin".
Penilaian itu agaknya didasarkan satu-satunya keterangan yang
menyatakan Mokhtar terlihat dekat kejadian malam itu. Keterangan
itu berasal dari Atun bin Ali, pekerja dan dukun di kampung
Datuk Taha. Menurut Atun, malam itu ia melihat Datuk Mokhtar
bersama Noordin Johan, Aziz Tumpuk, Aziz Abdullah dan Abdullah
Ambek di perkebunan Karet Gan Kee.
Waktu pulang dan memotong jalan melalui perkebunan itu, dan
dalam cahaya bulan terang, kata Atun, ia jelas mengenali kelima
orang itu. Perkebunan Gan Kee terletak sekitar 4,8 km dari
tempat terbunuhnya Datuk Taha. Atun mengaku, semula ia takut
bicara karena melibatkan seorang menteri. Pembela gagal
menyatakan keterangan Atun itu palsu.
Seluruh pembuktian dalam perkara itu tersurat dalam naskah
setebal 40 halaman selama lebih satu jam dibacakan Hakim Hashim.
Pembela Mokhtar, Jagjit Singh dan pembela Rahmat, Manjeet Singh,
segera mendaftarkan maksud kedua klien mereka untuk naik banding
ke Mahkamah Federal, pengadilan tertinggi di Malaysia.
Proses peradilan Mokhtar itu agak berbeda dengan yang lazim
berlaku dalam surat kasus pembunuhan Menurut Kode Prosedur
Kriminal, dalam kasus pembunuhan harus ada pemeriksaan
pendahuluan. Bila didukung pembuktian yang cukup, baru ia
diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Tapi Jaksa Agung, Tan Sn Abu Talib Othman, memakai alasan bahwa
kasus ini khusus sifatnya. Permintaannya diluluskan agar ini
diajukan langsung ke Pengadilan Tinggi, meski ditentang para
pembela.
Sekarang kedua terhukum kembali ke penjara Pundu, menunggu
keputusan naik banding. Jika kelak Mahkamah Federal mengukuhkan
keputusan Pengadilan Tinggi itu, mereka masih punya satu
kesempatan, yaitu mengajukan grasi kepada Yang Dipertuan Agung,
raja Malaysia. Jika keputusan itu dibatalkan, ada kemungkinan
mereka dibebaskan atau paling tidak hukumannya diperingan.
Tidak hanya Mokhtar dan Rahmat menunggu keputusan Mahkamah
Federal. Jaksa Agung Tan Sri Abu Talib juga naik banding atas
keputusan Pengadilan Tinggi Desember lalu, yang membebaskan dua
terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu Noordin Johan dan Aziz
Abdullah. Kini mereka pun ditahan kembali di penjara Pundu.
Terdakwa Aziz Tumpuk, Agustus lalu, meninggal akibat menderita
penyakit.
Meski vonis sudah jatuh, Datuk Mokhtar masih menjabat sebagai
menteri, bahkan masih menerima gajinya. Dan honornya sebagai
anggota parlemen - M$ 3.000 sebulan - masih ia terima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo