Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH polisi mendatangi kantor Malaysiakini, sebuah media online yang bermarkas di Kuala Lumpur, pekan lalu. Polisi menanyakan identitas penulis surat pembaca di koran internet itu yang dianggap bernada menghasut. Isi surat yang ditulis Petrof itu, nama samaran, menyamakan Pemuda UMNO dengan Ku Klux Klan, kelompok rasis di Amerika Serikat. Namun, karena tetap tidak diberi tahu, polisi langsung menggotong 15 komputer dan empat server dari kantor itu dengan dalih untuk proses investigasi lebih lanjut.
Malaysiakini sempat tidak online selama 10 jam akibat penggerebekan itu. Beberapa hari kemudian, sepuluh komputer memang telah dikembalikan. Tapi proses pemeriksaan terus berjalan.
Tindakan keras polisi itu berawal dari laporan organisasi sayap pemuda di bawah partai yang berkuasa, United Malay National Organization (UMNO). Pemuda UMNO mengatakan surat pembaca itu telah melanggar Undang-Undang Penghasutan (Sedition Act) 1948yang tak kalah represifnya dengan ISA (Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri) atau UU Anti-Subversif di Indonesia dulu.
Menurut Azimi Daim, Ketua Bidang Informasi Pemuda UMNO, surat pembaca itu, yang berjudul Kemiripan antara Orang Amerika Baru dan Bumiputera, jelas mengandung hasutan. Selain menyamakan organisasi pemuda itu dengan gerakan rasis Amerika, penulis surat mempertanyakan hak istimewa warga pribumi Melayu. "Ini bisa menciptakan kekacauan di Malaysia," ujar Azimi seperti dikutip Malaysiakini juga.
Pemimpin Redaksi Malaysiakini, Steven Gan, menyangkal tuduhan tersebut. "Kami yakin bahwa surat tersebut tidak mengandung unsur penghasutan yang bisa memicu kekerasan rasial," ujarnya. Surat tersebut, kata Steven, berdasar pada studi perbandingan yang faktual. Dia juga menolak medianya dituduh melanggar pasal penghasutan.
Undang-Undang Penghasutan yang merupakan warisan penjajah Inggris itu memang mendefinisikan tindakan penghasutan terlalu lentur, yakni meliputi ucapan, tindakan, atau publikasi yang menimbulkan kebencian terhadap pemerintah, memprovokasi perasaan tidak nyaman antar-ras, serta mempertanyakan status, posisi, dan hak istimewa yang telah ditetapkan konstitusi federal.
Kalau terbukti melanggar, seseorang diancam hukuman denda 5.000 ringgit (sekitar Rp 11,7 juta) atau masuk penjara maksimal tiga tahun atau keduanya. Sedangkan mereka yang terbukti memiliki sesuatu yang menghasut bisa dikenai hukuman maksimum 18 bulan penjara dan/atau denda 2.000 ringgit.
Steven Gan berkeras medianya tidak bisa dianggap melanggar Undang-Undang Penghasutan. "Meski kami memuat, tidak berarti kami sependapat dengan surat tersebut," ujarnya kepada TEMPO. Dia juga menyatakan tidak bisa menolak pemuatan surat tersebut karena surat itu merupakan bentuk hak berekspresi warga.
Menurut Steven, pihaknya telah meminta Pemuda UMNO membuat surat balasan di Malaysiakini. Pemuda UMNO menolak, tapi siap melakukan dialog dengan para redaktur media online itu.
Malaysiakini bukanlah korban pertama undang-undang itu. Dalam dua tahun terakhir ini saja ada setidaknya lima kasus pelanggaran Sedition Act yang dibawa ke pengadilan. Salah satunya adalah pengadilan terhadap pemimpin Harakah, sebuah koran milik Partai Islam se-Malaysia (PAS). Tokoh oposisi Marina Yusof juga harus membayar denda 5.000 ringgit akibat undang-undang itu.
Menurut Steven, kebanyakan korban adalah politikus karena undang-undang itu memang banyak digunakan untuk represi politik. Berkali-kali aktivis Partai Aksi Demokratik (DAP), yang mayoritas anggotanya keturunan Cina, ditahan polisi dengan undang-undang itu. Tahun lalu, misalnya, Lim Kit Siang, pemimpin DAP, beberapa kali ditahan polisi karena tuduhan yang sama. Lim antara lain menyebarkan pamflet memprotes pernyataan Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang mengatakan bahwa "Malaysia adalah negara Islam."
"Kami tahu bahwa sekarang ini merupakan tahun pemilu," kata Premesh Chandran, Direktur Utama Malaysiakini, "sehingga UMNO dan pemerintah merasa Malaysiakini sebagai ancaman." Tak aneh, ujar Premesh, semua undang-undang yang represif kini digunakan untuk memuluskan jalan kemenangan di pemilu.
Melihat hal tersebut, Malaysiakini dan para aktivis oposisi Malaysia kian gencar menuntut pencabutan semua aturan represif, termasuk ISA dan Sedition Act. Namun pendukung pemerintah menolaknya.
Datuk Nur Jazlan, anggota Komite Eksekutif Pemuda UMNO, menyatakan Sedition Act masih relevan. "Kami tidak ingin kerusuhan seperti pada 1969 terulang," ujar Nur Jazlan kepada TEMPO. Sekitar 34 tahun lalu itu Malaysia terbakar oleh kerusuhan rasial yang melibatkan warga Melayu dan Cina, yang menewaskan 200 orang. Berbeda dengan di Indonesia, kaum Cina di Malaysia relatif berimbang jumlahnya dengan orang Melayu.
Selama UMNO dan kawan aliansinya dalam Barisan Nasional masih berkuasa, tampaknya sulit mengenyahkan undang-undang warisan kolonial yang menindas itu.
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo