TIGA menit sebelum pukul dua siang waktu Korea, Kamis pekan
lalu, sebuah pesawat udara CAAC (Administrasi Penerbangan Sipil
Cina) menyeberangi daerah demiliterisasi. Sirene udara meraung
ketika pesawat yang datang dari arah Korea Utara (Korut) itu
melintasi garis lintang 38ø menuju Korea Selatan (Korsel).
Pesawat Trident 2E, buatan Inggris, dengan nomor penerbangan
6501 itu memberikan kode sebagai isyarat minta izin mendarat.
Permintaan itu dikabulkan penguasa Korsel.
Sebuah pesawat patroL Korsel segera menuntun pesawat sipil RRC
itu ke pangkalan militer di Chunchon -- 70 km di timur laut
Seoul. Televisi Korsel melaporkan pesawat meluncur di landasan
Camp Page dan baru berhenti sesudah menabrak pagar kawat
berduri. Babak pertama drama "pembajakan" pesawat sipil RRC
berakhir. Dan berhasil.
Siapakah para pembajak itu? Semuanya ada enam orang -- lima pria
dan seorang wanita. Tim penyelidik Korsel mengidentifikasi Tjou
Chang-jen, 36 tahun, pejabat pemerintah daerah, sebagai
pemimpinnya. Dia merencanakan pelarian ini sejak Januari lalu
dan baru mendapat peluang dengan pesawat CAAC 650 yang berangkat
dari Shenyang, 650 km timur laut Beijing, menuju Shanghai.
Drama pembajakan diawali para pembajak, yang bersenjatakan dua
revolver, dengan menerjang masuk cockpit dan menyarangkan peluru
ke kaki dua awak pesawat. Setelah itu baru mereka menguasai
keadaan. Semula pembajak memerintahkan penerbangan menuju
Taiwan. Tapi, entah kenapa, kemudian haluan berubah ke ibukota
Korut, Pyongyang.
Setelah pesawat sempat berputar tiga kali di atas kota itu dalam
usaha untuk mendarat, para pembajak rupanya sadar akan
kekeliruan mereka dan langsung memerintahkan agar tujuan
dialihkan ke selatan. Menara udara Pyongyang bukan tidak
mengetahui adanya pesawat "asing" itu. Tapi Angkatan Udara Korut
tidak melakukan tindakan apa pun. Sehingga pesawat itu lepas
dengan aman menuju Seoul.
Begitu mendarat di Chunchon, pembajak menyatakan ingin mengontak
Duta Besar Taiwan. Kemudian diketahui mereka meminta suaka. Dari
Taipeh segera datang sambutan. Seorang pejabat Deplu Taiwan
menyatakan semua orang yang mencari kemerdekaan akan mereka
sambut baik.
Para penumpang, jumlahnya 97 orang, yang mendekam di pesawat
sibuk berkipas menghalau panas sementara pembajak berunding.
Mereka umumnya berseragam biru atau putih. Baru sembilan jam
sesudah pesawat mendarat, mereka diperbolehkan turun dan
ditampung di sebuah hotel di Chunchon.
Deplu Cina mengimbau pemerintah Korsel agar segera mengembalikan
pesawat bersama penumpangnya -- termasuk para pembajak. Dalam
rangka pengembalian itu, Ahad lalu, Direktur Penerbangan RRC
Jenderal Shen Tu mengadakan pembicaraan dengan Deputi Menlu
Korsel Gong Ro Myong di Seoul. Sesudah putaran ketiga diperoleh
kesepakatan yang bisa dianggap menguntungkan pembajak. Korsel
setuju mengembalikan pesawat berikut penumpang dan kelima
awaknya. Tapi menolak ekstradisi keenam pembajak. Alasannya:
mereka akan diadili di Korsel berdasarkan hukum pidana yang
berlaku di negeri itu.
Shen Tu, pejabat Cina pertama yang berkunjung ke Seoul sejak
Perang Korea, mencoba mendesak agar semua pembajak dikembalikan
saja ke Cina. Tapi Korsel tetap pada pendirian mereka. Dan Shen
Tu akhirnya menyerah.
Sementara itu Taiwan menyatakan para pembajak bukanlah pembajak
biasa. Tapi lebih tepat disebut pembangkang politik. Secara
terbuka mereka mengimbau Korsel mengabulkan suaka politik yang
diminta diduga akan disetujui Seoul.
Tapi agar urusan pembajakan ini tidak menimbulkan ketegangan
antara Korsel dan RRC, yang tidak punya hubungan diplomatik,
maka pengadilan adalah satu jalan keluar yang sopan dan aman --
baik bagi Korsel maupun para pembajak. Sebab jika mereka
diserahkan begitu saja kepada Taiwan, maka usaha Korsel untuk
meningkatkan hubungan dengan Beijing akan rusak. Demi hubungan
itu pula itikad baik mereka tunjukkan. Para penumpang dan awak
pesawat, setelah perundingan berakhir, mereka kasih waktu untuk
pesiar ke kampus Universitas Seoul dan tempat hiburan lainnya
selama dua hari secara gratis. Dua yang terluka akan dikirim
pulang kemudian manakala kesehatan mereka mengizinkan.
Sejak 1961, sudah tiga kapal terbang Cina, dua di antaranya
pesawat militer Cina yang diterbangkan ke Korsel. Militer
terakhir yang membelot adalah Wu Yungkeng, penerbang Angkatan
Udara Cina, yang mendaratkan pesawat tempur jetnya di Korsel, 16
Oktober 1982. Kini Wu menetap di Taipeh dan bekerja untuk
Angkatan Udara Taiwan.
Pembajakan Trident 2E, menurut siaran resmi, tercatat sebagai
pembajakan pesawat sipil ketiga dalam sejarah penerbangan Cina.
Tapi dua usaha pembajakan sebelumnya berhasil digagalkan awak
pesawat. Tujuh pembajak dalam dua peristiwa terdahulu telah
dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Cina -- lima dilaksanakan
Agustus silam dan dua lagi menjalaninya awal tahun ini. "Demi
perikemanusiaan, jangan pulangkan Tjou Chang-jen dan kawan-kawan
ke Cina," pesan seorang pejabat Taiwan kepada pemerintah Korsel.
"Kalau mereka dikembalikan hukuman mati yang akan mereka temui."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini