Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mencari Akar Hingga ke Nongkojajar

Belanda menangguhkan adopsi anak internasional setelah menemukan banyak kasus dugaan perdagangan manusia. Banyak anak asal Indonesia tak menemukan ibu kandung mereka.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Belanda menemukan banyak kasus dugaan perdagangan manusia dalam proses adopsi anak lintas negara.

  • Pemerintah Belanda dianggap lalai dalam menangani masalah ini.

  • Sejumlah anak melacak asal-usulnya dengan bantuan yayasan Mijn Roots.

RUMAH di Jalan Mohammad Toha Kilometer 18 Nomor 9, Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang, Banten, itu tampak sepi dari luar. Panti Asuhan Loka Kasih, yang membantu keluarga Belanda mengadopsi anak Indonesia, dulu berada di sini. Pada Kamis, 18 Februari lalu, rumah di tepi jalan raya Jakarta-Bogor itu tampak sunyi dengan gerbang tertutup rapat dan tumbuhan rimbun di pagar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Mujianto, veteran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, hanya unit bengkel koperasi Angkatan Laut, yang menempati salah satu bagian rumah, yang kini masih aktif. “Loka Kasih dulu memang ada di sini. Tempatnya di bagian belakang. Tapi sudah lama tak ada lagi anak-anak (panti asuhan),” kata veteran yang bekerja di koperasi Angkatan Laut sejak pensiun pada 1996 itu. Dia lupa sejak kapan persisnya panti itu tidak aktif dan hanya bisa memperkirakan sekitar sepuluh tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi Deijle, anak adopsi asal Indonesia, pernah ke sana pada 2010 saat mencari ibu kandungnya. Dia mengaku bertemu dengan pengelola panti. “Begitu melihat dokumen saya, dia langsung mengatakan tidak bisa membantu saya karena kebanyakan informasi di dalamnya palsu,” tutur Deijle, yang kini menjadi pengacara di Negeri Kincir Angin.

Rustijam dan Raymond Blauw (kanan) pada pertemuan pertama mereka di rumah Rustijam di Nongkojajar, Jawa Timur, juni 2016. Dokumentasi Raymond Blauw

Masalah anak adopsi kini mencuat setelah Komisi Penyelidik Adopsi Antarnegara pimpinan Tjibbe H. J. Joustra merilis laporan hasil investigasinya mengenai anak-anak adopsi di Belanda pada 8 Februari lalu. Komisi yang dibentuk pada 2018 atas perintah Menteri Perlindungan Hukum Sander Dekker itu menemukan “penyelewengan-penyelewengan serius terjadi dalam proses adopsi dari luar negeri”, terutama dari Bangladesh, Brasil, Kolombia, Indonesia, dan Sri Lanka, selama 1967-1998.

Komisi itu mengkritik pemerintah Belanda, yang “sudah mengetahui pelanggaran-pelanggaran ini sejak akhir 1960-an” tapi “mengabaikan tanggung jawab dan kewajibannya turun tangan”. Komisi menyatakan “banyak anak adopsi yang tidak bisa melacak asal-usul mereka”.

Menteri Dekker menyatakan penyesalannya atas hal tersebut. “Saya, atas nama kabinet, meminta maaf kepada mereka yang diadopsi,” ujarnya. Pemerintah kemudian memutuskan menangguhkan semua adopsi antarnegara.

Laporan itu juga menyoroti kasus anak adopsi dari Indonesia. Komisi mencatat, selama 1973-1984, 3.100 anak Indonesia telah diadopsi oleh keluarga Belanda. Mereka menemukan penyelewengan berskala besar dalam proses adopsi ini. “Terdapat petunjuk konkret adanya perdagangan anak, penculikan, dan pencurian. Juga banyak pemalsuan dokumen, penggelapan, penipuan, dan korupsi oleh perantara dan panti yang tidak tepercaya,” demikian bunyi laporan tersebut.

Komisi mencontohkan kasus dugaan perdagangan 300 anak dari Biak pada 1979 yang melibatkan Flash, perantara adopsi dari Belanda. Pemerintah, menurut Komisi, mulai mengetahui dugaan penyelewengan ini paling tidak pada November 1977.

Komisi Joustra dibentuk setelah banyak aduan dari anak-anak adopsi yang kini sudah dewasa dan gagal menemukan orang tua kandung mereka. Akta kelahiran mereka ternyata palsu atau orang tua mereka tak lagi bisa dilacak karena panti atau perantara yang dulu mengurus adopsi sudah tak ada.

Salah satu penggugatnya adalah Mijn Roots, yayasan yang membantu anak adopsi di Belanda mencari orang tua kandung mereka. Lembaga ini didirikan oleh Christine Verhaagen, dosen pembimbing di akademi manajemen KPZ di Zwolle, dan Ana Maria van Valen, yang bermukim di Surabaya sejak 2015. Verhaagen berkenalan dengan Van Valen ketika sedang mencari orang tua kandungnya, yang sampai sekarang belum dapat ditemukan. “Akhirnya saya dan Ana bersepakat untuk bekerja sama dan mendirikan Mijn Roots,” ucap Verhaagen. Dalam lima tahun sejak berdiri pada 2016, lembaga itu telah menangani 117 kasus dan 77 di antaranya belum tuntas karena informasi yang tidak memadai atau palsu.

Pencarian “akar” para anak adopsi ini berbelit dan banyak mendapati jalan buntu. Rosmini van Schie, misalnya, disebut lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 1980 dan diadopsi lewat sebuah panti asuhan di Jakarta. Pada 2009, dia mencoba mencari alamat yang tertera dalam dokumennya dan akhirnya bertemu dengan anak dari perantara adopsinya. Upaya pelacakan asal-usulnya terhambat di sini karena, “Orang tuanya sudah meninggal dan tidak meninggalkan informasi apa-apa,” katanya. “Seakan-akan saya kehilangan identitas. Apakah betul nama saya Rosmini?”

Begitu pula Jolanda Sumiati dan Jeroen Beijering, yang masing-masing lahir di Jakarta pada 1981 dan 1978. Mereka diadopsi melalui dua yayasan di Jakarta. Keduanya berusaha melacak asal-usul mereka melalui Mijn Roots, tapi hingga kini belum menemukan titik terang. Mereka dan orang tua angkatnya merasa terpukul ketika mengetahui bahwa dokumen adopsi mereka palsu. Hal ini membuat keduanya ragu akan masa lalu mereka. “Apakah benar ibu saya menyerahkan saya dengan sukarela?” tutur Beijering.

Beberapa anak adopsi memang berhasil menemukan orang tua kandung mereka. Misalnya Tim van Wijk, yang lahir di Semarang pada 1975 dan diadopsi lewat sebuah panti asuhan saat berusia enam bulan. Mijn Roots membantunya mencari Ellya Rosani, ibu kandungnya. Setelah mencari selama satu setengah tahun, lembaga itu akhirnya menemukan Ellya tahun lalu di Desa Susukan, dekat Semarang. “Ibu melahirkan di sebuah klinik bersalin di Semarang, tapi tiga hari kemudian saya hilang,” ucap Van Wijk, yang belum sempat bersemuka dengan ibunya karena terhalang pandemi Covid-19.

Raymond Blauw, yang diadopsi oleh keluarga Leeuwaarden ketika berumur dua tahun, juga menemukan orang tua kandungnya dengan bantuan Mijn Roots. Dia akhirnya bertemu dengan Rustijam, ibunya, di Desa Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur, pada Juni 2016. “Ibu bercerita bahwa saya berusia enam bulan ketika dia menitipkan saya kepada perawat di rumah sakit setempat karena kondisi kesehatan dan keuangan yang buruk. Berpuluh tahun dia menyimpan foto bayi saya di bawah bantalnya,” ujarnya.

René Hoksbergen, guru besar emeritus bidang adopsi di Universiteit Utrecht, menilai pemerintah seharusnya sudah lama turun tangan. “Sudah puluhan tahun saya berulang kali memperingatkan, lewat media dan bahkan langsung beberapa kali ke Kementerian Perlindungan Hukum, tentang berbagai masalah dalam adopsi,” kata Hoksbergen, yang juga dimintai masukan oleh Komisi Joustra.

Pertemuan antara anak-anak adopsi asal Indonesia yang diselenggarakan Mijn Roots di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, November, 2019. Mijn Roots

Salah satu pemicu pembentukan komisi tersebut, kata dia, adalah desakan dari anak-anak adopsi yang kini telah dewasa. “Beberapa dari mereka berupaya menuntut pemerintah atas kelalaiannya menangani masalah adopsi,” tutur Hoksbergen.

Tuntutan itu antara lain dilayangkan Dewi Deijle bersama Mijn Roots pada 2017. Walaupun tuntutan tersebut ditolak, mereka tetap gigih melobi parlemen untuk mengangkat masalah ini. Hal ini diakui oleh Michiel van Nispen, anggota parlemen dari Partai Sosialis (SP). “Menurut saya, mereka turut berperan dalam realisasi investigasi adopsi antarnegara ini. Mereka terus mengangkat topik ini dan meminta perhatian politikus,” ujar Van Nispen.

Christine Verhaagen dan Deijle bertemu dengan Menteri Sander Dekker pada Rabu, 10 Februari lalu, untuk membicarakan langkah pemerintah selanjutnya. Dalam jangka pendek, kata Verhaagen, pemerintah perlu memberikan dukungan finansial kepada anak-anak adopsi yang berupaya mencari orang tua kandung mereka karena proses pencarian dan tes DNA memerlukan biaya. “Waktunya mendesak karena banyak orang tua kami di Indonesia sudah lanjut usia. Sekarang sudah waktunya pemerintah mendukung kami.”

LINAWATI SIDARTO (AMSTERDAM), IWAN KURNIAWAN (JAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus