Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Utak-atik Data demi Cina

Mantan CEO Bank Dunia, Kristalina Georgieva, terlibat dalam manipulasi data laporan kemudahan berusaha. Terjadi di tengah upaya menambah modal.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Laporan kemudahan berusaha Bank Dunia ternyata dimanipulasi.

  • Data Cina diubah agar peringkatnya lebih baik.

  • Mantan CEO Bank Dunia Kristalina Georgieva berperan dalam mengubah data.

KANTOR Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, DC, Amerika Serikat menjadi tegang sejak munculnya laporan investigasi yang membongkar manipulasi data Doing Business Bank Dunia tahun 2018 dan 2020. Manipulasi laporan tentang kemudahan berusaha di berbagai negara itu melibatkan Kristalina Georgieva, yang saat itu Chief Executive Officer Bank Dunia dan kini Direktur Pelaksana IMF.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMF menyatakan dewan eksekutif telah menggelar rapat untuk membahasnya. “Dewan telah mendiskusikan pertimbangan-pertimbangan Komite Etik dan telah bertukar pandangan awal tentang laporan itu dan pernyataan Direktur Pelaksana yang meresponsnya,” tutur juru bicara IMF pada Rabu, 22 September lalu, seperti dikutip Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam rapat Dewan Eksekutif IMF, Georgieva menegaskan sikapnya. “Izinkan saya menjelaskan secara sangat sederhana kepada Anda. Tidak benar. Tidak dalam kasus ini, tidak sebelum atau sesudahnya, saya telah menekan staf untuk memanipulasi data,” ujarnya, seperti dikutip Reuters. Dewan akan segera mengadakan rapat lagi untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut.

Laporan itu telah digunakan banyak negara untuk menarik perhatian investor. Beberapa negara bahkan menggunakannya sebagai ukuran kemajuan ekonomi. Uni Emirat Arab, misalnya, menargetkan menduduki peringkat teratas dari posisi 2020 di peringkat ke-16. Presiden Rusia Vladimir Putin menantang pemerintahnya memecahkan rekor dengan masuk posisi 20 besar dari posisi ke-28 pada 2020.

Laporan Doing Business menunjukkan posisi Cina melonjak sejak 2018 dari selama ini berada di peringkat 70-an ke bawah. Pada 2018, Cina berada di posisi ke-78 lalu naik menjadi ke posisi ke-46 pada 2019 dan ke-31 pada 2020. Sejak 2006, peringkat tertinggi diduduki secara bergantian oleh Selandia Baru, Singapura, dan Hong Kong.

Pemerintah Cina tak mengomentari perubahan itu. “Kami berharap Bank Dunia akan melakukan investigasi yang komprehensif atas isu yang relevan secara ketat sesuai dengan prinsip-prinsip peninjauan internal yang profesional, obyektif, adil, dan transparan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, dalam konferensi pers pada Jumat, 17 September lalu.

Logo Bank Dunia dalam pertemuan Tahunan IMF dan Wordl Bank 2018 di Nusa Dua, Bali, Indonesia, Oktober 2018. REUTERS/Johannes P. Christo/File Foto



Campur tangan Georgieva dalam manipulasi laporan itu mengejutkan. Perjalanan kariernya selama ini mulus saja. Perempuan kelahiran Sofia, Bulgaria, pada 13 Agustus 1953 tersebut meraih gelar doktor dari Karl Marx Higher Institute of Economics pada 1986. Pada mulanya dia menjadi dosen di almamaternya sebelum menjadi konsultan Bank Dunia pada 1992. Sejak saat itu, dia malang melintang di berbagai posisi di lembaga itu sebelum kembali ke Benua Biru untuk menjadi pejabat di Komisi Eropa pada 2014. Tiga tahun kemudian, dia menjabat CEO Bank Dunia. Dia menggantikan peran Direktur Pelaksana Bank Dunia 2010-2016, Sri Mulyani Indrawati, yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Keuangan. (Baca: Sri Mulyani Indrawati: Saya Ingin Membangun Kepercayaan)

Georgieva bahkan dinilai berhasil membenahi Bank Dunia. Dia memangkas separuh jumlah rapat dan mengurangi panjang dokumen. Dia juga mendorong kolaborasi antarbagian di lembaga raksasa itu. Keadaan berubah setelah Wilmer Cutler Pickering Hale and Dorr, yang dikenal sebagai WilmerHale, merilis hasil investigasinya mengenai laporan Doing Business 2018 dan 2020 pada pertengahan September lalu.

Firma hukum ternama Amerika itu diminta oleh Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, bagian dari Bank Dunia, untuk memeriksa keeganjilan data dalam laporan tersebut. Mereka diminta menyelidiki seberapa pantas perubahan data untuk Cina, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Azerbaijan serta siapa yang bertanggung jawab. WilmerHale lalu memeriksa 80 ribu dokumen dan mewawancarai lebih dari tiga lusin pegawai dan mantan pegawai Bank Dunia.

Dalam laporannya, WilmerHale menyatakan perilisan Doing Business 2018 pada Oktober 2017 adalah momen penting bagi Bank Dunia dan pemimpinnya. Selama pertengahan 2017-April 2018, manajemen bank tersebut sedang sibuk bernegosiasi untuk meningkatkan modal. Keadaan agak rumit karena sekurang-kurangnya satu pemegang saham kunci ingin mengurangi komitmennya. Adapun negara penting lain, termasuk Cina, khawatir tentang bagaimana kepemilikan saham nanti akan dihitung kembali.

Jim Yong-kim, Presiden Bank Dunia saat itu, dan Kristalina Georgieva mengawasi kampanye penambahan modal ini. Seorang manajer menyatakan Georgieva berusaha keras agar target ini tercapai. Dalam wawancara dengan WilmerHale, Georgieva mengakui partisipasi banyak negara dipertaruhkan dan Bank Dunia “sangat bermasalah” jika gagal mencapai targetnya. Pada 2018, Bank Dunia mengumumkan kenaikan modal disetor senilai US$ 13 miliar yang mendorong kepemilikan saham Cina di bank itu naik dari 4,68 persen menjadi 6,01 persen.

Di tengah situasi itu, pejabat teras Cina berulang kali menyampaikan keluhan kepada Yong-kim dan pejabat lain bahwa posisi Negeri Panda di peringkat ke-78 dalam Doing Business 2017 tidak akurat mencerminkan reformasi ekonominya. Yong-kim menjawab bahwa metodologi laporan mungkin perlu diperbarui, tapi juga mendorong pejabat Cina untuk berfokus dalam menjalankan reformasi ekonomi yang akan mendongkrak peringkatnya. Yong-kim menyatakan kepada WilmerHale bahwa tanggapan yang sama dia sampaikan kepada negara yang mengeluh soal peringkat mereka.

Menjelang Doing Business 2018 terbit, tim penyusun menemukan hasil akhir menunjukkan posisi Cina turun ke peringkat ke-85. Beberapa rapat dan diskusi para pejabat senior digelar untuk membahas kemungkinan memperbaikinya. Beberapa simulasi dilakukan, seperti memasukkan data Taiwan, Makao, dan Hong Kong ke Cina. Bila data Hong Kong dimasukkan, peringkat Cina akan naik.

Pada titik inilah Georgieva turun tangan langsung. Dia menggelar rapat dengan para pemimpin tim penyusun laporan. Dia menjelaskan bahwa mereka tak bisa memasukkan data Hong Kong ke Cina karena alasan politik sehingga solusi lain diperlukan. Simeon Djankov, salah seorang perancang Doing Business dan penasihat Georgieva, diminta memandu penyusunan laporan ini. Djankov bersama manajemen Doing Business lalu mengidentifikasi perubahan data mana yang akan menaikkan peringkat Cina.

Suatu tim kecil menemukan kemungkinan mengubah beberapa komponen tanpa menimbulkan pertanyaan dan sedikit merusak data lain. Misalnya, pada indikator hukum, tim pada awalnya tidak memberikan nilai tinggi terhadap hukum Cina dalam mengamankan transaksi. Bagian ini ideal untuk diubah karena membenarkan perbedaan para pakar dan hukum Cina yang unik.

Data pun diubah sehingga mendongkrak posisi Cina kembali ke peringkat ke-78, sama dengan tahun sebelumnya. Georgieva meminta laporan ini “dibungkus”. Dia kemudian bertemu beberapa pihak untuk berterima kasih. Ia bahkan menyambangi rumah seorang manajer untuk menyerahkan laporan itu dan berterima kasih karena telah membantu memecahkan masalah tersebut. Ini pertama kalinya Georgieva bertamu ke rumah pegawainya.

WilmerHale menyimpulkan manipulasi data Cina terjadi karena tekanan anggota staf senior Yong-kim serta tekanan Georgieva dan Djankov. Firma itu menyimpulkan Georgieva berperan penting dalam perubahan data. Laporan itu juga menyebut “budaya beracun” dan “takut akan pembalasan” mewarnai laporan Doing Business dan anggota tim tidak dapat menentang perintah dari presiden atau CEO tanpa berisiko terhadap pekerjaan mereka.

Bank Dunia telah membatalkan semua laporan Doing Business. Mereka menyatakan audit internal dan investigasi WilmerHale telah mencuatkan “masalah etik, termasuk kelakuan mantan pejabat Dewan, juga anggota staf dan mantan staf Bank”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus