Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menjaga Getar <font color=#FF0000>Bendera Revolusi</font>

Satu per satu, permintaan rakyat Mesir dipenuhi penguasa transisi. Warisan kediktatoran masih bercokol, perubahan baru dimulai di atas kertas. Oposisi terus pasang mata, agar cita-cita revolusi terpenuhi.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertengahan bulan lalu, di Midan Tahrir mereka menyusun strategi berdemo, menembus barikade yang mengelilingi gedung-gedung pemerintah, berkelahi melawan polisi, kelompok pro-Mubarak, dan dinginnya malam. Kini perubahan itu seolah-olah di tangan mereka.

Ahad pekan lalu, mereka, delapan perwakilan pemuda yang mengorganisasi revolusi 25 Januari, bertemu dengan petinggi militer yang mewakili Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata. Ada Wael Ghonim dan Amr Salama, aktivis pengelola halaman Facebook ”We Are All Khalid Said” yang getol mengobarkan revolusi melalui dunia maya; Ahmed Maher, koordinator Gerakan Pemuda 6 April; dan Abdel-Rahman Samir, koordinator media Kampanye Publik Independen untuk Mendukung El-Baradei.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar tiga jam itu, menurut Amr Salama, dua jenderal yang menemui mereka menyimak apa pun omongan orang-orang muda. Bahkan mereka mencatat apa saja keinginan tamunya. ”Mereka benar-benar memperhatikan setiap kata yang kami ucapkan,” kata pembuat film independen ini.

Kedua jenderal pun memaparkan rencana Dewan Angkatan Bersenjata Tertinggi yang diserahi kekuasaan setelah Husni Mubarak mundur pada Jumat dua pekan lalu. Dalam sepuluh hari, sebuah komite yang beranggotakan orang-orang yang tidak memiliki afiliasi politik akan dibentuk untuk menyelesaikan amendemen konstitusi. Referendum untuk amendemen konstitusi akan digelar dalam dua bulan.

Tak hanya para aktivis muda yang merasakan angin segar, tapi juga partai-partai oposisi, termasuk organisasi yang selama ini dilarang, Ikhwanul Muslimin atau Al-Ikhwan. ”Ada banyak aspek positif pada pernyataan militer merespons tuntutan rakyat seperti membubarkan parlemen dan mengamendemen konstitusi,” kata mantan anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin, Mohamed el-Beltagi.

Namun tiada yang berani percaya seratus persen pada angin segar ini. Pemimpin Partai Al-Ghad, Ayman Nour, yang mendesak lebih jauh: jangan hanya diamendemen, tapi buat konstitusi baru. Orang-orang yang tidak memiliki afiliasi politik, seperti Refaat al-Saeid, Ketua Partai Tagammu, juga menyatakan ada banyak tuntutan yang belum dijawab, seperti undang-undang darurat, upah minimum, dan perlindungan hak rakyat.

Sedangkan Ikhwanul Muslimin menegaskan tuntutan lain: pembebasan semua tahanan yang ditangkap selama revolusi, juga tahanan politik yang dihukum dengan pengadilan khusus, pembentukan kabinet baru yang diterima oleh rakyat, dan investigasi secepatnya atas kematian para syuhada.

Setelah mundurnya Mubarak, berbagai demonstrasi dengan beragam isu mewarnai hampir seluruh kawasan Mesir. Di Gedung Federasi Serikat Buruh Mesir di Kairo, ratusan orang meminta para pemimpin lembaga tersebut dibubarkan karena dianggap tidak sah. Di sepanjang Sungai Nil di Distrik Giza, ratusan pengemudi ambulans juga menuntut kenaikan gaji dan diangkat menjadi pegawai tetap.

Pegawai bandara juga menuntut gaji lebih tinggi. Demikian pula pekerja di industri tekstil di Kota Mahallah al-Koubra, di Delta Nil. Mereka menuntut investigasi korupsi di perusahaan. Bahkan, di kota Terusan Suez, warga menutup pabrik kimia yang menurut mereka membuang limbah ke danau.

Di tengah Kota Kairo, ratusan polisi tak mau kalah. Selama beberapa hari, mereka menggelar demonstrasi di Kementerian Dalam Negeri. Selain menuntut gaji lebih tinggi, mereka menuntut dibersihkannya reputasi mereka, yang hancur lebur akibat kekerasan yang menewaskan lebih dari 350 demonstran selama revolusi 18 hari. ”Sangat susah bagi kami untuk kembali bekerja, karena rakyat membenci kami,” kata seorang kapten polisi.

Saat beraksi, mereka juga membawa poster bergambar rekan-rekan mereka yang tewas selama bertugas menangani demonstrasi terbesar di Mesir lalu. ”Mereka ini juga korban rezim.”

Memang masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah transisi untuk memenuhi seluruh tuntutan rakyat. Juga butuh pengawasan yang ketat dari masyarakat untuk tercapainya cita-cita revolusi.

Semua dicatat, tapi tidak semua tuntutan terpenuhi. Alaa Abd el-Fattah, seorang aktivis muda, merasa kecewa karena kejadian-kejadian penting itu—termasuk soal pertemuan Ahad dengan para aktivis—tak disiarkan secara transparan. ”Kami ingin militer mengakui bahwa ini revolusi, dan mereka tidak bisa mengimplementasikan semua perubahan sendiri,” katanya.

Sebenarnya, kelompok oposisi mencoba bersatu dan mencoba bersama Dewan Angkatan Bersenjata Tertinggi untuk menyelesaikan masalah Mesir, satu per satu. Pekan lalu, partai oposisi formal, termasuk Partai Wafd dan Tagammu, bersama dengan anggota Al-Ikhwan dan kelompok gerakan pemuda memulai pembicaraan untuk memilih komite yang bisa menjadi juru bicara. Komite ini akan menegosiasikan pembentukan pemerintah transisi dan dewan kepresidenan. Namun langkah itu ternyata menjadi basi karena militer telah mendahului dengan mengumumkan paket reformasi, termasuk pembubaran parlemen dan amendemen konstitusi.

Oposisi mulai melupakan semangat persatuan, dan mendahulukan kepentingan golongannya. Partai-partai oposisi sibuk mereposisi diri untuk menjadi gerakan populis. Sementara para aktivis muda yang tadinya tak dekat dengan politik mulai berencana membentuk partai sendiri.

Adapun upaya pembentukan front bersatu hingga pekan lalu belum membuahkan hasil. ”Tidak ada hasil apa pun sampai saat ini, hanya banyak divisi,” kata Shadi Hamid, pengamat masalah Mesir di Brooking Doha Center. ”Ada banyak kelompok, banyak koalisi, dan semuanya bertemu dengan orang lain. Ada perasaan kekacauan organisasional. Semuanya ingin mendapatkan sepotong bagian dari revolusi.”

Satu lagi yang tak kalah galak didengungkan adalah seruan untuk mengabaikan ajakan penguasa militer buat menghentikan demonstrasi lewat pesan pendek telepon seluler. ”Pemogokan dan protes jangan dihentikan,” seru sebuah kelompok pemuda lewat Twitter. Mereka, bersama Al-Ikhwan, Gerakan Pemuda 6 April, dan gerakan Kefaya, menyerukan pawai sejuta umat pada Jumat pekan lalu.

Purwani Diyah Prabandari (The Daily News Egypt, The New York Times, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus